ANALISIS MENGENAI KONFLIK TERKINI SURIAH


Beberapa minggu terakhir isu konflik Suriah kembali memanas. Hal tersebut dipicu oleh pengiriman militer Rusia untuk terlibat langsung dalam pertempuran melawan ISIS dan kelompok bersenjata seperti, Jabhat Nusrah dan kelompok-kelompok perlawanan yang lain. Amerika dan sekutu-sekutunya di Barat maupun timur tengah mengecam sikap dari sikap Rusia yang dianggap gegabah tersebut. Dikhawatirkan, aksi Rusia akan memicu gelombang radikalisasi yang semakin menguat di Suriah, proxy war antara Amerika dan Rusia juga dikhawatirkan akan terjadi. Tulisan ini akan menganalisis perkembangan terakhir mengenai intervensi Rusia di Suriah, kemudian posisi Amerika Serikat beserta sekutu-sekutunya dalam konflik Suriah. 

Intervensi Rusia

30 September yang lalu, Rusia memutuskan untuk melakukan penyerangan udara terhadap ISIS dan kelompok-kelompok perlawanan yang lain di wilayah Suriah. Rusia mengirimkan sekitar lebih 30 Jet tempur serta 15 helikopter dan persenjataan-persenjataan canggih lainnya.  Penyerangan ini dilakukan setelah, Bashar Asad meminta Rusia untuk ikut membantu pasukan Suriah melawan gempuran dari kelompok perlawanan Suriah. Presiden Vladimir Putin menyatakan bahwa tujuan dari intervensi tersebut adalah untuk menstablikan pemerintahan dan untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk kompromi politik di Suriah. Putin menegaskan jika para teroris internasional sudah menguasai wilayah sekitaran ibukota Suriah maka hanya akan ada sisa sedikit hasrat bagi pemerintahan suriah untuk bernegosiasi, dan sebagian besar perhatiannya terhadap ancaman pengepungan terhadap ibukota negaranya. Dalam berbagai komentar para pejabat Rusia, tujuan utama penyerangan tersebut adalah menyasar ISIL dan kelompok-kelompok perlawanan lain “teroris” di Suriah. 

Keputusan Rusia untuk terlibat dalam pertempuran di Suriah mendapatkan kecaman dari berbagai negara khususnya Amerika Serikat dan aliansinya di timur tengah. Rusia dianggap tidak ikut membantu peperangan melawan ISIS namun malah memperlihatkan dukungannya terhadap Asad, menurut Obama, aksi Rusia tersebut bisa menjadi sumber bencana besar di Suriah. Serangan-serangan Rusia ternyata tidak memfokuskan kepada ISIS tapi lebih dominan kepada kelompok-kelompok lain termasuk, yang dibackup oleh CIA-Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.

Dalam sebuah joint statement antara AS, Perancis, Qatar, Saudi, Turki dan Inggris, disebutkan tuntutan bagi Rusia untuk menghentikan serangannya terhadap oposisi Suriah dan masyarakat sipil dan untuk fokus memerangi ISIS. Serangan yang membabi buta, tanpa melihat afiliasi para oposisi, radikal atau moderat, dianggap oleh Obama tidak akan efektif untuk menyelesaikan masalah di Suriah, bahkan sebaliknya, akan memicu peningkatan eskaliasi ekstrimisme dan radikalisasi. ISIS akan semakin kuat dan usaha-usaha untuk reformasi politik akan semakin rumit (theguardian, 2015).  John Mc Cain, Senator Amerika, menyatakan kekhawatirannya akan terjadi perang proksi (proxy war) antara AS dan Rusia di Amerika, Amerika dan sekutu2nya menggunakan kelompok-kelompok moderat, sementara Rusia menggunakan pasukan militer Suriah, Iran dan Hizbullah (theguardian, 2015). 

Kecaman terhadap Rusia juga dilakukan oleh ulama-ulama di Arab Saudi, mereka menyerukan melalui media online kepada seluruh Arab dan negara-negara muslim untuk ikut mendukung secara moral, politik dan materi dalam jihad melawan pemerintahan Suriah, dan koalisi Iran dan Suriah.  Jihad harus dilakukan karena ketika kaum muslimin di Suriah kalah, maka akan mengubah negeri Suriah yang sunni menjadi bentuk yang lain. (reuters,2015)

Menteri Luar Negeri Rusia, Sergi Lavrov, mengecam balik sikap dari koalisi Amerika di Suriah yang dianggap tidak ingin bersikap kooperatif terhadap Rusia di Suriah. Padahal Rusia berkeinginan untuk membangun sebuah koordinasi dengan Amerika dan negara-negara Arab dan teluk untuk menghindari gesekan antara dua belah pihak dan agar bisa bekerjasama (AraNews, 2015). Bahkan putin mengolok-olok koalisi AS karena gagak membendung serangan kelompok oposisi di Suriah. 

Analisis Para Analis 

Berbagai analisis diungkapkan oleh para ilmuwan politik Barat dan Rusia mengenai motif keterlibatan Rusia di Suriah. Diantaranya, Andrey Sushentsov (2015), associate professor at Moscow State Institute of International Affairs, menyatakan bahwa alasan keterlibatan Rusia di Suriah untuk menghalau ISIS adalah untuk mencegah bahaya jangka panjang terhadap keamanan domestik Rusia. Terdapat sekitar 5000 anggota ISIS adalah berkebangsaan Rusia dikhawatirkan dikemudian hari mereka itu akan kembali dan mengancam keamanan Rusia. Sushentsov, secara gamblang, menjelaskan mengenai strategi militer Rusia di Suriah dan keuntungan-keuntungan yang didapatkannya. 

Pertama, dengan menggunakan serangan yang terbatas, serangan udara. Serangan tersebut bisa menghancurkan infrastruktur para teroris dan mencegah para teroris tersebut menguasai sebuah tempat-tempat tertentu. Hal tersebut akan melemahkan para teroris tanpa harus memusnahkan mereka. Kedua, tetap menjadi pembela rezim Suriah, dan kepentingan Rusia di Timur Tengah akan tetap terjaga, seperti menjaga proyek ektraksi gas di tataran Israel, Siprus dan Suriah. Rusia juga bisa menempatkan fasilitas militer laut utamanya di laut mediterania. Ketiga, keterlibatan Rusia sebagai show of power, bahwa Rusia sebagai leading middle east power, pemilik kekuatan terdepan di Timur Tengah dengan operasi militer yang efektif serta mempertegas kembali eksistensinya di wilayah tersebut. Terakhir, sebagai promosi militer di wilayah pasar terbesar militer dunia, Timteng. (Russia-Insider, 2015) 

Menurut Jeffrey Mankoff (2015) dari Center for Strategic and International Studies, kehadiran Rusia di Suriah sebenarnya adalah akibat dari kegagalan strategi Amerika untuk menciptakan perdamaian dan menghalau ISIS di suriah. Strategi AS adalah mendukung dan mempersenjatai oposisi moderat di darat dan menghancurkan kelompok-kelompok perlawanan melalui udara. Kegagalan Amerika menciptakan ruang bagi Rusia untuk bertindak, jelas untuk kepentingan dan agendanya sendirinya. Steven Pifer (2015) mengatakan AS dan Rusia sebenarnya memiliki kesamaan kepentingan (common interest) yakni mengalahkan ISIS namun, perbedaan mereka adalah masa depan Asad. AS memandang Asad harus dijatuhkan dari kursi kepemimpinannya sementara Rusia bersikap sebaliknya, bahkan serangan Rusia menyasar semua oposisi, kelompok militan dan moderat pro Amerika (carnegie, 2015). 

Melihat dari Panggung Belakang

Untuk mengetahui motif dari keributan soal Suriah sebenarnya tidak cukup ketika hanya melihat apa yang terjadi dipanggung depan pertunjukan, melihat gerak dan nyanyian yang dilantunkan oleh Rusia vs Amerika beserta sekutu masing-masing. Panggung belakang ternyata lebih menarik untuk disimak untuk menarik kesimpulan yang lebih jitu. 

Sebelum intervensi Rusia ke Suriah, ketika ditelusuri, ada banyak fakta yang terbuka lebar yang mengungkapkan hal berbeda dengan kejadian-kejadian yang terjadi saat ini antara AS dan Rusia. Berikut catatannya: 

Pertama, Los Angeles Time pada 25 September melaporkan,  sebelum serangan 30 September, Intelijen AS telah mengetahui dan telah menyampaikan ke gedung putih bahwa Kremlin akan melakukan serangan militer ke Suriah untuk membantu Asad mempertahankan posisinya dan untuk menahan laju ISIS dan kelompok-kelompok pemberontak yang lain.  Pemerintahan Obama juga telah mengetahui bahwa Rusia telah jauh hari mempersiapkan penyerangan dengan mengirim pesawat-pesawat mereka ke Suriah secara rahasia. Juga mengetahui aktifitas mata-mata Rusia dengan menggunakan pesawat drone. Amerika mengetahui semua aktifitas militer Rusia di Suriah. Agar tidak terjadi bentrokan antara pesawat militer AS dan Rusia dilapangan, Sekretaris pertahanan AS, Ashton Carter berbicara dengan Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu, untuk memastikan tidak terjadinya kekhawatiran tersebut (latimes, 2015). 

Kedua, tindakan Rusia untuk terlibat di Suriah juga telah mendapatkan ijin oleh Amerika Serikat. 23 September, penasehat senior pemerintah Suriah, Bouthaina Shaaban, dalam sebuah wawancara TV mengungkap hal tersebut. Menurut Shaaban, telah tercipta sebuah kesepakatan tidak tertulis (tacit agreement) antara AS-Rusia untuk sebuah solusi akhir bagi Suriah. Koalisi Barat juga, kata Shaaban, telah merubah pendiriannya terhadap Asad "change in the West's positions". Barat mulai melunak terhadap Asad. Mulai muncul usulan agar Asad akan dilibatkan dalam proses dialog untuk menciptakan perdamaian di Suriah, diantara pendukung ide tersebut adalah Angela Merkel, PM Jerman dan David Cameron, PM Inggris (news-yahoo.com, 2015). 

Dalam pertemuan 28 September di sela-sela sidang umum PBB, United Nations General Assembly, 2 hari sebelum intervensi Rusia, Obama telah menyetujui serangan Rusia ke Suriah dengan syarat memerangi ISIS. Serta keberadaan Rusia di Suriah dianggap tidak berbahaya, necessarily destructive. Obama dan Putin juga bersepakat untuk mengadakan koordinasi militer agar tidak terjadi friksi dilapangan antara militer kedua negara (alaraby, 2015). 

Jelas dari fakta-fakta yang ditunjukkan memperlihatkan bahwa keberadaan Rusia di Suriah adalah bagian dari sebuah skenario politik besar. Skenario tersebut untuk mempertahankan Suriah sebagai kekuatan yang mendukung kepentingan-kepentingan barat dan Rusia di Timur Tengah, dan menghalangi munculnya kekuatan-kekuatan politik lain (Islam) untuk menjadi kekuatan di Timur Tengah. Meskipun AS dan Rusia berbeda dalam memandang teknis penyelesaian konflik Suriah tapi mereka bersepakat bahwa, masa depan Suriah adalah negara sekuler yang pro terhadap kepentingan mereka. 

Asad bukanlah kepentingan utama Rusia, begitupun Amerika, Asad bukanlah musuh utama. Buktinya sejak serangan AS bersama 60 negara koalisinya, Asad tidak menjadi target utama, pesawat-pesawat Amerika tidak menyasar kekuatan militer Asad. Seandainya koalisi menginginkan kejatuhan Asad  maka, pesawat sekutu akan menjadikan penghancuran kekuatan militer Asad sebagai bagian dari prioritas, seperti di Libya, Iraq dan Afghanistan yang tidak butuh waktu berbulan untuk melumpuhkan negara-negara tersebut. Amerika memang mendukung oposisi moderat, seperti Free  Syrian Army, yang fokus didarat melakukan perlawanan terhadap rezim Asad dan ISIS. Tapi, bantuan yang diberikan ke kelompok tersebut terkesan hanya simbol atau formalitas belaka. Sekitar 682 juta dollar yang dijanjikan oleh AS untuk melatih dan membantu perlengkapan militer kelompok oposisi moderat untuk melawan ISIS, kemudian menjanjikan akan melatih 5.000 pasukan oposisi Suriah, faktanya hanya 50 orang bahkan menyusut menjadi 4 atau 5 orang saja. Akhirnya AS memutuskan untuk menghentikan program bantuan pelatihannya kepada kelompok moderat awal Oktober (news.com, 2015).  

Motif utama intervensi Rusia adalah kegagalan koalisi Amerika Serikat, Koalisi Asad, Hizbullah dan Iran dalam membendung gerak laju dari kelompok-kelompok militan Islam yang semakin menguasai sebagian besar wilayah Suriah. Columb Strack, dalam IHS Jane`s Intelligence Review (2015) menyebutkan, Asad untuk saat ini hanya mengontrol tidak lebih dari 18 % atau sekitar 29, 797 km2 antara bulan Januari-Agustus 2015, 82 % dikuasai oleh kelompok oposisi. Sementara angkatan bersenjata Suriah telah berkurang 50% dari yang sebelum perang Suriah berjumlah 300.000 orang (janes, 2015).  Obama sendiri telah mengakui kekalahan AS dalam pertempuran di Suriah,  “There’s no doubt that it did not work,” pernyataan obama sebagai bentuk kekecewaan mendalam terhadap kegagalan strateginya di Suriah, judul di media online news.com memberitakan hal tersebut, Barack Obama admits failure in Syria as Islamic State runs riot, but denies Vladimir Putin is the stronger man (news.com, 2015). 

Perang Suriah untuk Siapa

Saat ini sebagian besar wilayah Suriah dikontrol oleh ISIS dan kelompok-kelompok oposisi yang lain. Ratusan faksi militer yang bertempur di Suriah, namun yang paling banyak disorot adalah ISIS. Komentar-komentar AS dan Rusia di media-media kebanyakan membesar-besarkan ancaman ISIS, padahal bukan hanya ISIS yang seharusnya menjadi ancaman. Keberadaan ISIS di Suriah pun menimbulkan kontroversi ditengah-tengah kelompok-kelompok oposisi, bahkan ISIS cenderung menghambat perjuangan melawan rezim Asad sehingga ada kesimpulan yang muncul bahwa ISIS adalah bagian dari proyek AS di Timur Tengah. Kecurigaan tersebut semakin terbukti saat banyak laporan yang menunjukkan bahwa, terkadang AS & Israel menjatuhkan senjata melalui udara dan yang menikmatinya adalah ISIS (21stcenturywire, 2015). 

Berkaitan dengan kiprah ISIS di Suriah, ISIS dianggap tidak serius memerangi pemerintah Suriah,   Laporan IHS Jane`s Terrorism and insurgency center (JTIC) (2014) melaporkan, 64% serangan militer ISIS diarahkan kepada kelompok-kelompok bersenjata non pemerintah dan hanya 13% yang menargetkan angkatan militer Suriah. Sebaliknya, serangan Asad kepada para pejuang bersenjata lebih banyak ditujukan kepada kelompok-kelompok non-ISIS. Dari 982 serangan tahun 2014, menurut Laporan JTIC, hanya 6 persen yang menarget ISIS. Hal ini menimbulkan kecurigaan bagi kelompok-kelompok pejuang yang lain yang selama ini berjuang melawan Asad, seperti kelompok, Pasukan Mujahidin (Al-Mujahidin Army) yang melihat sendiri dilapangan, bahwa di garis depan perbatasan wilayah pasukan ISIS dan pemerintah cenderung tenang tanpa kontak senjata, berbeda jika pasukan pemerintah berbatasan dengan pasukan oposisi yang lain, kontak senjata bisa 24 jam (nbcnews, 2015). 

Sebelum masuknya ISIS di Suriah dan perjuangan perlawanan terhadap pemerintahan Suriah baru saja dikobarkan. Para pejuang telah memperlihatkan visi besar mereka dalam perjuangan meruntuhkan Asad dengan cita-cita penegakan Khilafah di tanah Syam. Setelah masuknya ISIS, konsentrasi perang para mujahidin menjadi terpecah antara berhadapan dengan ISIS yang haus darah kepada mujahidin non-ISIS, dan pasukan Asad yang didukung oleh AS beserta Rusia. Dengan keberadaan ISIS, yang paling diuntungkan adalah Bashar Asad dan seluruh negara yang mendukungnya. Dengan adanya ISIS, istilah Khilafah menjadi sangat berdarah-darah. Majelis Shura Mujahidin, dalam sebuah pernyataannya menyampaikan bahwa, deklarasi Khilafah oleh ISIS adalah bagian dari kampanye sistematis untuk mendistorsi istilah-istilah syariah, seperti Jihad, Syariah, hudud dan Khilafah (longwarjournal, 2014).

Jika benar bahwa ISIS adalah bagian dari agenda AS, Rusia dan sekutu-sekutunya maka, Amerika telah sukses menerapkan strategi devide et impera antar sesama muslim di Suriah. ISIS dan para mujahidin di adu domba, kemudian Amerika, Rusia, Iran, Hizbullah dan beserta sekutu-sekutunya akan memukul mujahidin dari semua penjuru. Setelah mujahidin kalah, ISIS akan dihancurkan, kemudian Suriah akan tetap menjadi negara sekuler (siapapun pemimpinnya) yang memiliki posisi strategis di Timur Tengah bagi kepentingan AS, Rusia dan negara-negara barat lainnya.  

Strategi ini diambil karena AS, Rusia dan sekutu-sekutunya sadar betul bahwa satu-satunya aspirasi perjuangan rakyat melawan Asad di Suriah adalah Islam, Hisham Al-Baba (2012), anggota Hizbut Tahrir Suriah,  telah mempertegas hal tersebut, bahwa revolusi yang terjadi di Suriah adalah revolusi Islam, dan seruan-seruan serta bendera yang selalu dikibarkan rakyat Suriah adalah Islam sementara semua pemikiran sekuler bahkan komunis tidak memiliki tempat di Suriah. ISIS diciptakan untuk merubah visi rakyat Suriah tentang Khilafah sehingga mereka menjadi tunduk kepada cita-cita yang ditawarkan barat. 

Kesimpulan

Peristiwa terakhir yang memperlihatkan memanasnya konflik Suriah dengan kehadiran Rusia ternyata menjadi bagian dari strategi Barat beserta sekutu-sekutu mereka untuk memenangkan perang melawan kekuatan Islam di Suriah. ISIS menjadi bagian dari strategi perlawanan terhadap perjuangan Islam di Suriah. Perjuangan Islam di Suriah tidak hanya milik para pejuang atau mujahidin tapi juga menjadi aspirasi dominan  rakyat Suriah. Deklarasi khilafah ISIS yang prematur semakin hari semakin membuktikan kebenaran dari Majelis Shura Mujahidin Suriah, bahwa Khilafah ISIS bagian dari kampanye negatif terhadap Khilafah. Disaat pasukan mujahidin kalah oleh koalisi Rusia, Iran, Hizbullah, Arab, dan Barat, kemudian visi Khilafah yang diimpikan rakyat Suriah telah berhasil dikotori oleh Khilafah ISIS maka, sekulerisme dan kepentingan Barat-Rusia akan tetap berjaya di sana.

BIBLIOGRAFI:
Aranews. 2015. Russia says U.S.-led coalition not ready for cooperation on anti-ISIS campaign in Syria http://aranews.net/2015/10/russia-says-u-s-led-coalition-not-ready-for-cooperation-on-anti-isis-campaign-in-syria/   diakses 17/10/2015
Alaraby. 2015. US agrees to conditional Russian deployment in Syria Joe Macaron.http://www.alaraby.co.uk/english/News/2015/9/30/US-agrees-to-conditional-Russian-deployment-in-Syria diakses 17/10/2015
Bennett, Brian & W.J. Hennigan. 2015. U.S. intelligence: Russia will launch attacks in Syria. http://www.latimes.com/world/middleeast/la-fg-russia-syria-20150925-story.html diakses 17/10/2015
Choufi, Firas. 2012.Hizb ut-Tahrir in Syria: The Regime Will Cede to the Islamic Caliphate. http://islam.ru/en/content/story/hizb-ut-tahrir-syria-regime-will-cede-islamic-caliphate  
Joscelyn, Thomas. 2014. The Islamic State’s rivals in Syria reject announced Caliphate. http://www.longwarjournal.org/archives/2014/07/the_islamic_states_r.php diakses 17/10/2015
McDowall, Angus .2015. Saudi opposition clerics make sectarian call to jihad in Syria http://www.reuters.com/article/2015/10/05/us-mideast-crisis-saudi-clerics-idUSKCN0RZ1IW20151005 diakses 17/10/2015
Multiple Contributors. 2015. Should the U.S. Cooperate with Russia on Syria and ISIS?. https://www.carnegie.org/news/articles/carnegie-forum-us-russia-and-syria/ diakses 17/10/2015
News-Yahoo. 2015.'Tacit' deal between US, Russia to end Syria war: Asad adviser. http://news.yahoo.com/tacit-deal-between-us-russia-end-syria-war-133934478.html diakses 17/10/2015
News. 2015. Barack Obama admits failure in Syria as Islamic State runs riot, but denies Vladimir Putin is the stronger man. http://www.news.com.au/finance/work/barack-obama-admits-failure-in-syria-as-islamic-state-runs-riot-but-denies-vladimir-putin-is-the-stronger-man/story-fn5tas5k-1227565910610 diakses 17/10/2015
Sushentsov, Andrey. 2015. A Great Explanation of Russian Strategy in Syria by a Top Russian Scholar. http://russia-insider.com/en/politics/great-explanation-russian-strategy-syria-top-russian-scholar/ri10404 diakses 17/10/2015
Pengelly, Martin. 2015. John McCain says US is engaged in proxy war with Russia in Syria. http://www.theguardian.com/us-news/2015/oct/04/john-mccain-russia-us-proxy-war-syria-obama-putin diakses 17/10/2015
Strack, Columb. 2015. Syrian government no longer controls 83% of the country. http://www.janes.com/article/53771/syrian-government-no-longer-controls-83-of-the-country diakses 17/10/2015
Walker, Shaun, & Lauren Gambino, Ian Black, Kareem Shaheen. 2015. Obama says Russian strategy in Syria is ‘recipe for disaster’ http://www.theguardian.com/world/2015/oct/02/us-coalition-warns-russia-putin-extremism-syria-isis diakses 17/10/2015
21stcenturywire. 2015.In Plain Sight: Coalition Forces Routinely Air-Drop Military Supplies to ISIS Fighters In Syria http://21stcenturywire.com/2015/02/18/in-plain-sight-coalition-forces-routinely-air-drop-military-supplies-to-isis-fighters-in-syria/ diakses 17/10/2015

1 komentar:

KRITIK TERHADAP PERSPEKTIF MUSLIM YANG MENOLAK KHILAFAH

Merespon besarnya opini khilafah dan gerak aktif dari gerakan pendukung Khilafah memicu berbagai kalangan kaum muslim untuk mengkaji mengenai legalitas Khilafah sebagai sebuah ajaran Islam dan relevansi penerapan sistem khilafah di era kekinian. Di level internasional terminologi Khilafah dipersepsi sebagai sebuah visi dunia yang mengancam dunia, berbahaya, anti kemanusiaan, diktator dsb.  Setelah peristiwa 9/11 President Amerika, Bush berulang-ulang mengungkapkan hal tersebut mengenai Khilafah.

Senada dengan para politisi anti Khilafah, diantara intelektual-intelektual barat juga banyak menulis dan memperbincangkan soal Khilafah dan gerakan-gerakan pendukung Khilafah. Diantaranya, Ariel Cohen, dari Heritage Foundation (2003), mengungkapkan ancaman yang dimunculkan oleh Hizbut Tahrir melalui pemikiran dan visi besarnya terhadap kepentingan Amerika Serikat. Cohen mengatakan, ”Melalui propaganda Anti Amerika, usaha meruntuhkan rezim yang berkuasa, dan melakukan kaderisasi untuk memperluas jaringan organisasi radikal Islam, Hizb menjadi sebuah ancaman terhadap Amerika di Asia Tengah dan di seluruh dunia islam yang moderat”.

Dalam tulisan  Zeyno Baran, editor, (2004:48) khusus membahas Hizbut Tahrir, dia menuliskan bahaya dari pemikiran Hizbut Tahrir bagi kepentingan Amerika Serikat. Pemikiran idelogis dan teologis dari Hizbut Tahrir dianggap bisa menjadi justifikasi tindakan terorisme. Dan jika Hizbut Tahrir mencapai cita-citanya, yakni mendirikan Khilafah maka hal itu akan menjadi bencana besar kepentingan Amerika Serikat.

Sebenarnya, tidak semua intelektual barat memandang sinis terhadap ide Khilafah dan gerakan yang memperjuangkan khilafah. Beberapa diantaranya memandang berbeda, seperti John Esposito, seorang islamolog yang dikenal apresiatif atau toleran terhadap Islam. Esposito memandang organisasi atau partai politik yang memperjuangkan Islam adalah reaksi dari kekecewaan umat Islam terhadap kegagalan penerapan sekulerisme dan demokrasi di dunia Islam. Gerakan politik Islam, menurutnya, seharusnya tidak boleh dianggap sebagai ancaman tapi harus diberikan ruang dalam perpolitikan negara. Disaat Gerakan politik Islam dilihat sebagai bahaya maka peluang konflik, kekerasan serta otoritarianisme akan terus terjadi (Esposito, 2010).

Kedua cara berbeda pandang diatas menurut Michael E Salla (1997), mewakili dua metodologi yang berbeda dalam mendiskusikan politik Islam yaitu essentialist-orientalist dan contingencies-reductionist. Kelompok essensialis menganggap bahwa Politik Islam adalah ancaman (monolithic threat) terhadap demokrasi, anti barat, dan agresif oleh karenanya gerakan politik Islam harus dibendung. Kelompok ini diwakili oleh tokoh-tokoh antara lain Bernard Lewis, Daniel Pipes, Martin Indyk dan Samuel Huntington. Di sisi yang lain, kelompok contigencies, beranggapan bahwa munculnya gerakan politik Islam adalah bagian dari respon terhadap kondisi politik, sosial dan ekonomi yang terjadi di negeri-negeri muslim sehingga mereka tidak boleh dipersepsi sebagai lawan atau musuh tapi harus diberi ruang dalam politik apalagi Islam secara esensial tidak anti terhadap demokrasi. Kelompok ini diwakili oleh John Esposito, Edward Said  dan James Piscatori.

Kritik E. Salla terhadap kedua cara pandang tersebut diatas adalah meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam memandang gerakan politik Islam, disatu sisi konfrontatif dan disisi lain akomodatif, namun pada dasarnya kedua sudut pandang ini hanya memandang gerakan politik Islam beserta visi politik Islam sebagai sebuah masalah yang dihadapi oleh peradaban barat dan demokrasi. Diskusi mengenai Politik Islam dan Demokrasi hanya dibatasi pada kesesuaian atau ketidaksesuaian antara Islam dan demokrasi. Politik Islam menurutnya harus dipandang sebagai sebuah paradigma yang memiliki keunikan sendiri dan tidak bisa dikompromikan dengan demokrasi. Seharusnya, menurut E. Salla, politik Islam harus dilihat sebagai kritik terhadap demokrasi liberal barat dan bisa jadi politik Islam diadopsi untuk mengisi defisiensi atau kekurangan dari politik Liberal Barat (teori konvergensi) (E. Salla, 1997: 738-740).

Muslim Memandang Politik Islam/Khilafah

Tulisan Michael E. Salla mengenai Politik Islam sangat cocok untuk melihat reaksi umat Islam terhadap maraknya opini tentang perjuangan penegakan syariat Islam di dunia khususya di Indonesia. Sebagian kalangan muslim di Indonesia memiliki persepsi yang sama dengan pemikiran para esensialis-orientalis yang memandang politik Islam dan Khilafah sebagai ancaman. Burhanuddin Muhtadi (2009), misalnya, dalam sebuah tulisannya yang menyoal pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir menyimpulkan bahwa penolakan Hizbut Tahrir terhadap demokrasi, nasionalisme serta cara-cara dakwah revolusioner HT secara jelas mengancam Indonesia.

“Looking at HTI’s grand narrative of the global Islamic caliphate and its refutation of the notion of democracy and nation-state, it is clear that HTI has taken a number of negative steps in the direction of democratic consolidation in the country”.

Kesimpulan Muhtadi terhadap bahaya Khilafah dan gerakan Hizbut Tahrir sayangnya tidak diiringi oleh penjelasan yang logis mengenai bahaya Khilafah itu sendiri ketika diperjuangkan atau diterapkan di Indonesia. Sederhananya, karena Indonesia negara Demokrasi, Pancasila dan nation-state sehingga aspirasi selain itu adalah berbahaya termasuk syariat Islam dan Khilafah. Muhtadi juga dalam mengutip referensi-referensinya banyak mengambil dari tulisan-tulisan penulis barat yang anti terhadap Khilafah dan Hizbut Tahrir, seperti Zeyno Baran, Samuel Huntington dan Ariel Cohen.

Problem yang sama muncul dalam buku Komaruddin Hidayat, editor. (2014) yang berjudul Kontroversi Khilafah: Islam Negara dan Pancasila, isinya selain menolak khilafah, juga berusaha untuk mengalihkan pemahaman mengenai Khilafah sebagai sebuah hal yang tidak esensial dalam Islam dan menjadikan demokrasi sebagai sebuah frame atau cara pandang untuk menilai keabsahan Khilafah. Komaruddin Hidayat Menulis, beberapa alasan kenapa gagasan Khilafah sebagai alternatif muncul ditengah-tengah rakyat Indonesia:

1.       Sebagai implikasi dari kebebasan yang terbuka luas, dan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan akhirnya mendapatkan ruang untuk berteriak dan meluapkan emosi.

2.       Slogan agama dianggap paling menarik untuk menarik massa disaat slogan-slogan rasional sekuler atau praktis dianggap gagal.

3.       Pemahaman umat Islam yang meyakini kesatuan Islam dan Negara.

4.       Sejarah dan Agenda Kekhilafahan adalah agenda arab yang kental dengan semangat kesukuan, persaingan ekonomi dan promisi mazhab.

5.       Konsep Khilafah berkembang dari waktu ke waktu, semakin jauh dari rasul maka semakin hilang semangat keislamannya.

6.       Kegagalan umat Islam di Indonesia dalam membedakan Islamisme dan Arabisme. Khilafah adalah bagian dari Arabisme dan bukan Islamisme.

Problem juga muncul dalam buku Jalan Tengah Demokrasi, Tohir Bawazir (2015) sebagaimana kalangan liberal memandang para pejuang Khilafah, Bawazir menganggap bahwa pejuang Khilafah adalah fundamentalis dan fanatik dalam memahami teks-teks al-Quran dan Sunnah tanpa mau membuka diri terhadap ide-ide baru dari luar. Khilafah dikritik karena tidak realistis, penyatuan kaum muslimin 40 negara sangat berat, masalah manusia pun tidak terjamin dengan tegaknya khilafah. Kewajiban menegakkan khilafah dengan pemimpin tunggal juga sudah dibantah oleh sejarah Islam sendiri yang banyak terpecah belah dengan dinasti-dinasti. Penyatuan negeri kaum muslim juga akan berpotensi menimbulkan konflik karena masing-masing saling berebut kekuasaan, dan siapa yang legitimate menjadi khalifah di era modern ini. Poin-poin diatas menjadi kritik dan pertanyaan-pertanyaan Bawazir terhadap khilafah.

Tulisan Bawazir tersebut diapresiasi oleh Dr. Adian Husaini melalui kata pengantarnya dalam buku itu. Husaini menuliskan berbagai polemik kaum muslimin terhadap Demokrasi dan sebagai penutup dia mengungkapkan, bahwa umat Islam mau tidak mau telah berada di dalam alam demokrasi, yang paling penting saat ini adalah kaum muslimin harus berjuang untuk semakin menjadikan Islam menjadi bagian dari rakyat Indonesia dan menghadapi musuh-musuh Islam.  Umat Islam tidak seharusnya hanya mengutuk dan membiarkan kemusyrikan dan kezaliman merajalela karena hanya akan menjadikan musuh-musuh Islam akan semakin berkuasa di Indonesia (Bawazir, 2015: xxii).

Kritik yang paling kejam terhadap penolakan gerakan Islam (Hizbut Tahrir) terhadap Demokrasi ditulis oleh Ainur Rofiq Al-Amin (Al-Amin,tt), pemahaman Hizbut Tahrir disebut sebagai kaku atau rijid dalam memahami demokrasi. Demokrasi menurutnya, bukanlah paham yang monolitik atau tunggal tapi berkembang sesuai zaman, Hizbut Tahrir gagal dalam memahami hal tersebut.

Tulisan Al-Amin juga sebenarnya gagal karena setelah panjang lebar, sekitar 80% menjelaskan alasan secara faktual Hizbut Tahrir dalam menolak demokrasi dari semua aspek, kemudian menjelaskan secara normatif kenapa HT menolak demokrasi. Namun, Al-Amin tidak mendiskusikan ide-ide Hizb tersebut[2]. Hanya tiba-tiba mengambil kesimpulan bahwa HT rijid dan kaku dan realitas demokrasi dinamis. Logika Al-Amin ini dalam bukunya sendiri Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di Indonesia (2012), disebut sebagai Logical Jumping, Logika yang melompat. Penyakit yang sama yang menimpa para intelektual dan aktifis anti Khilafah. Mereka yang mengkompromikan antara demokrasi dan Islam serta menolak khilafah terjebak dalam metode berpikir contigencies atau reduksionis.

Pemikir Muslim tapi Krisis Metodologi

Problem yang muncul dalam cara pandang muslim yang menolak khilafah dan bagi yang mengkompromikan Islam dan Demokrasi, adalah sangat jelas sekali menjadikan demokrasi sebagai framework untuk menganalisis relevansi dan legalitas penerapan khilafah di era kekinian. Akhirnya, semua kritik dengan argumentasi historis, normative (dalil-dalil) ataupun faktual pada intinya hanyalah untuk memastikan bahwa demokrasi lebih baik daripada Khilafah atau Islam tidak bertentangan dengan demokrasi. Penyakit yang sama yang diderita kalangan barat yang esensialis atau kontingensis.

Metodologi berpikir seperti diatas telah dikritik oleh Syekh Taqiuddin An-Nabhani, dalam kitab Pembentukan Partai Politik, (2008) bahwa cara pandang menjadikan realitas sebagai instrumen untuk menyelesaikan persoalan dan Islam hanya dijadikan sebagai legitimasi atau justifikasi maka, pasti usaha untuk membangkitkan umat Islam akan selalu gagal.

Yang seharusnya menjadi metode berpikir umat Islam, an-Nabhani menjelaskan,  adalah disaat kaum muslim beriman kepada Allah, Rasulullah Muhammad SAW dan Al-Quran maka konsekuensinya adalah menjadikan Islam sebagai Qiyadah Fiqriyah (kepemimpinan Berfikir) dan Qaidah Fiqriyah (Kaidah Berfikir). Setiap persoalan harus diselesaikan dengan solusi-solusi yang lahir dari sumber-sumber ajaran Islam, termasuk persoalan politik, ekonomi, sosial pendidikan dan persoalan-persoalan yang lain. Islam bukan hanya sebagai sebuah ritual semata tapi juga ideologi atau pandangan hidup yang akan menyelesaikan persoalan umat manusia (an-Nabhani, 2001b).

Dalam politik atau bernegara, Ideologi dipandang sebagai sebuah hal yang paling menentukan gerak dan aktifitas sebuah negara, Lyman Tower Sargent (2009: 2) menyebutkan:

An ideology is a system of values and beliefs regarding the various institutions and processes of society that is accepted as fact or truth by a group of people. An ideology provides the believer with a picture of the world both as it is and as it should be, and, in doing so, it organizes the tremendous complexity of the world into something fairly simple and understandable”.

sebuah ideologi adalah sebuah sistem nilai dan keyakinan yang berkaitan dengan berbagai institusi dan proses dalam masyarakat yang diterima sebagai sebuah  fakta atau kebenaran bagi sekelompok orang. Sebuah ideologi memberikan bagi para pengikutnya sebuah gambaran tentang dunia sebagaimana adanya, dan yang seharusnya.  Untuk mencapai hal tersebut, ideologi membantu mengolah dunia yang sangat kompleks menjadi sesuatu yang sederhana dan bisa dipahami.

Islam merupakan sebuah ideologi, wordview, paradigma, yang memiliki pandangan khas mengenai dunia dan telah memberikan aturan main mengenai bagaimana dunia seharusnya dijalankan. Disaat aturan tersebut dijalankan maka mustahil akan dicampur adukkan dengan ideologi-ideologi yang lain karena masing-masing memiliki prinsip atau keyakinan yang berbeda mengenai cara pandang melihat dunia.

Poin ini yang gagal dipahami oleh sebagian pemikir diantara kaum muslimin. Mereka tidak bisa memahami realitas politik dan negara secara utuh khususnya kedudukan sebuah ideologi dalam sebuah negara. Sehingga tidak bisa memahami problem politik di negeri muslim dan memahami solusi yang tepat terhadap persoalan tersebut.

Secara Normatif dan Historis, Khilafah seharusnya tidak diperdebatkan lagi legalitasnya diinternal kaum muslimin. Para ulama Sunni, Syiah, Muktazilah, Murjiah, Khawarij telah bersepakat bahwa Khilafah atau Imamah adalah fardhu kifayah bagi kaum muslimin. Khilafah wajib diantara alasannya, karena hanya dengan khilafah seluruh pelaksanaan syariat bisa diaplikasikan, aqidah ummat terjaga dan kaum muslimin bersatu dalam satu kekuasaan serta, dakwah islam bisa terorganisir di level negara baik dalam maupun luar negeri. Contoh bagaimana Islam seharusnya diterapkan telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para khalifahnya (Khulafa Rasyidin).

Bagi kalangan muslim yang meragukan Khilafah dengan menganggap khilafah berbahaya, cukup meminta bukti normatif dan historis dibagian mana ajaran Islam berpotensi membahayakan dan di sejarah mana disaat ajaran Islam diajarkan akan menindas manusia. Ketika dalam sejarah peradaban Islam terdapat kecacatan-kecacatan, seharusnya menjadi peluang bagi kaum muslimin untuk melakukan investigasi terhadap kecacatan tersebut dan memberikan solusi bagaimana seharusnya negara menghindari kecacatan serupa dimasa yang akan datang. Sayangnya kecacatan penerapan Khilafah masa lalu dijadikan dalil oleh sebagian umat Islam untuk menolak khilafah.

Menarik kata-kata Dhiauddin Rais (2001:xii) dalam pengantar bukunya Teori Politik Islam,

“Kesimpulannya, klaim dan pernyataan yang mengatakan terpisahnya agama dari negara, Islam dari tatanan masyarakat, menyingkirkan syariah Islam untuk digantikan undang-undang produk hawa nafsu, pengingkaran keberadaan konsep negara dan khilafah dalam Islam, serta pemalsuan fakta-fakta sejarah Islam, semua itu adalah klaim serta pernyataan dusta dan tertolak. Semua dalil ilmiah membatalkan klaim dan pernyataan itu.................Jika ada orang yang mengatakan bahwa negara Islam adalah negara sipil yang maksudnya adalah negara nonagama atau bukan islami, maka orang itu harus dicurigai kewarasan akalnya dan kelurusan akhlaknya. Atau dia dapat dikatakan sebagai orang yang mengada-ada dan bodoh”.

Kesimpulan

Khilafah sebagai sebuah ajaran dalam Islam masih dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap negara dan ancaman terhadap eksistensi manusia. Ide ini wajar kalau diungkapkan oleh intelektual non muslim barat, yang disayangkan ketika dilontarkan dari pemikir-pemikir umat Islam. Sebagaimana para intelektual barat, sebagian pemikir muslim menjadikan politik Islam atau Khilafah sebagai bagian dari masalah yang terjadi hari ini sehingga harus diberikan solusi supaya masalah tersebut teratasi.  Solusi yang dipakai adalah demokrasi. Wajar ketika muncul banyak tulisan yang mengeritik Khilafah baik dari kalangan muslim “liberal”, “moderat” atau “tradisional” ujungnya-ujungnya hanya meneguhkan posisi demokrasi ditengah-tengah kaum muslim dengan menggunakan berbagai dalil. Padahal demokrasi jelas-jelas bertentangan dengan Aqidah Islam. Dan Khilafah telah jelas kewajibannya seterang sinar matahari.

Referensi:

Al-Amin, Ainur Rofiq. Demokrasi Perspektif HTI Versus Religious Mardom Salari. http://eprints.uinsby.ac.id/131/1/Executive%20Summary%20Ainur%20Rofik.pdf. Diakses 07 Oktober 2015

An-Nabhani, Taqiuddin. 2008. Pembentukan Partai Politik. Jakarta: HTI Press

An-Nabhani, Taqiuddin. 2007. Peraturan hidup dalam Islam. Jakarta:  HTI Press

Baran, Zeyno, edt. 2004. Hizb ut-Tahrir Islam’s Political Insurgency. Washington: The Nixon Center

Bawazir, Tohir. 2015. Jalan Tengah Demokrasi: Antara Fundamentalisme dan Sekulerisme. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar

Cohen, Ariel. 2003. Hizb ut-Tahrir: An Emerging Threat to U.S. Interests in Central Asia. http://www.heritage.org/research/reports/2003/05/hizb-ut-tahrir-an-emerging-threat-to-us-interests-in-central-asia, accessed 26/08/2015

E. Salla, Michael. 1997. Political Islam and the West: A New Cold War or Convergence?. Third World Quarterly, Vol. 18, No. 4 , pp. 729-742

Hidayat, Komaruddin. edt. 2014. Kontroversi Khilafah: Islam, Negara dan Pancasila. Bandung: Mizan

Hizbut Tahrir. Tt. Hizb ut-Tahrir.

http://www.hizb-ut-tahrir.org/PDF/EN/en_books_pdf/12_Hizb_ut_Tahrir.pdf diakses 28 September 2015

Muhtadi, Burhanuddin. 2009.The Quest for Hizbut Tahrir in Indonesia. Asian Journal of Social Science 37. Pp. 623–645

Rais, Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press

Sargent, Lyman Tower. 2009. Contemporary Political Ideologies: A Comparative Analysis. Fourteenth Edition. Belmont: Wadsworth, Cengage Learning

[1] Disampaikan dalam Halqoh Syahriah Hizbut Tahrir Mahaliah UGM, 11/10/2015

[2] Tidak mendiskusikan penolakan Hizb terhadap substansi demokrasi, sekulerisme, liberalisme dan HAM.

1 komentar: