KRITIK TERHADAP PERSPEKTIF MUSLIM YANG MENOLAK KHILAFAH

Merespon besarnya opini khilafah dan gerak aktif dari gerakan pendukung Khilafah memicu berbagai kalangan kaum muslim untuk mengkaji mengenai legalitas Khilafah sebagai sebuah ajaran Islam dan relevansi penerapan sistem khilafah di era kekinian. Di level internasional terminologi Khilafah dipersepsi sebagai sebuah visi dunia yang mengancam dunia, berbahaya, anti kemanusiaan, diktator dsb.  Setelah peristiwa 9/11 President Amerika, Bush berulang-ulang mengungkapkan hal tersebut mengenai Khilafah.

Senada dengan para politisi anti Khilafah, diantara intelektual-intelektual barat juga banyak menulis dan memperbincangkan soal Khilafah dan gerakan-gerakan pendukung Khilafah. Diantaranya, Ariel Cohen, dari Heritage Foundation (2003), mengungkapkan ancaman yang dimunculkan oleh Hizbut Tahrir melalui pemikiran dan visi besarnya terhadap kepentingan Amerika Serikat. Cohen mengatakan, ”Melalui propaganda Anti Amerika, usaha meruntuhkan rezim yang berkuasa, dan melakukan kaderisasi untuk memperluas jaringan organisasi radikal Islam, Hizb menjadi sebuah ancaman terhadap Amerika di Asia Tengah dan di seluruh dunia islam yang moderat”.

Dalam tulisan  Zeyno Baran, editor, (2004:48) khusus membahas Hizbut Tahrir, dia menuliskan bahaya dari pemikiran Hizbut Tahrir bagi kepentingan Amerika Serikat. Pemikiran idelogis dan teologis dari Hizbut Tahrir dianggap bisa menjadi justifikasi tindakan terorisme. Dan jika Hizbut Tahrir mencapai cita-citanya, yakni mendirikan Khilafah maka hal itu akan menjadi bencana besar kepentingan Amerika Serikat.

Sebenarnya, tidak semua intelektual barat memandang sinis terhadap ide Khilafah dan gerakan yang memperjuangkan khilafah. Beberapa diantaranya memandang berbeda, seperti John Esposito, seorang islamolog yang dikenal apresiatif atau toleran terhadap Islam. Esposito memandang organisasi atau partai politik yang memperjuangkan Islam adalah reaksi dari kekecewaan umat Islam terhadap kegagalan penerapan sekulerisme dan demokrasi di dunia Islam. Gerakan politik Islam, menurutnya, seharusnya tidak boleh dianggap sebagai ancaman tapi harus diberikan ruang dalam perpolitikan negara. Disaat Gerakan politik Islam dilihat sebagai bahaya maka peluang konflik, kekerasan serta otoritarianisme akan terus terjadi (Esposito, 2010).

Kedua cara berbeda pandang diatas menurut Michael E Salla (1997), mewakili dua metodologi yang berbeda dalam mendiskusikan politik Islam yaitu essentialist-orientalist dan contingencies-reductionist. Kelompok essensialis menganggap bahwa Politik Islam adalah ancaman (monolithic threat) terhadap demokrasi, anti barat, dan agresif oleh karenanya gerakan politik Islam harus dibendung. Kelompok ini diwakili oleh tokoh-tokoh antara lain Bernard Lewis, Daniel Pipes, Martin Indyk dan Samuel Huntington. Di sisi yang lain, kelompok contigencies, beranggapan bahwa munculnya gerakan politik Islam adalah bagian dari respon terhadap kondisi politik, sosial dan ekonomi yang terjadi di negeri-negeri muslim sehingga mereka tidak boleh dipersepsi sebagai lawan atau musuh tapi harus diberi ruang dalam politik apalagi Islam secara esensial tidak anti terhadap demokrasi. Kelompok ini diwakili oleh John Esposito, Edward Said  dan James Piscatori.

Kritik E. Salla terhadap kedua cara pandang tersebut diatas adalah meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam memandang gerakan politik Islam, disatu sisi konfrontatif dan disisi lain akomodatif, namun pada dasarnya kedua sudut pandang ini hanya memandang gerakan politik Islam beserta visi politik Islam sebagai sebuah masalah yang dihadapi oleh peradaban barat dan demokrasi. Diskusi mengenai Politik Islam dan Demokrasi hanya dibatasi pada kesesuaian atau ketidaksesuaian antara Islam dan demokrasi. Politik Islam menurutnya harus dipandang sebagai sebuah paradigma yang memiliki keunikan sendiri dan tidak bisa dikompromikan dengan demokrasi. Seharusnya, menurut E. Salla, politik Islam harus dilihat sebagai kritik terhadap demokrasi liberal barat dan bisa jadi politik Islam diadopsi untuk mengisi defisiensi atau kekurangan dari politik Liberal Barat (teori konvergensi) (E. Salla, 1997: 738-740).

Muslim Memandang Politik Islam/Khilafah

Tulisan Michael E. Salla mengenai Politik Islam sangat cocok untuk melihat reaksi umat Islam terhadap maraknya opini tentang perjuangan penegakan syariat Islam di dunia khususya di Indonesia. Sebagian kalangan muslim di Indonesia memiliki persepsi yang sama dengan pemikiran para esensialis-orientalis yang memandang politik Islam dan Khilafah sebagai ancaman. Burhanuddin Muhtadi (2009), misalnya, dalam sebuah tulisannya yang menyoal pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir menyimpulkan bahwa penolakan Hizbut Tahrir terhadap demokrasi, nasionalisme serta cara-cara dakwah revolusioner HT secara jelas mengancam Indonesia.

“Looking at HTI’s grand narrative of the global Islamic caliphate and its refutation of the notion of democracy and nation-state, it is clear that HTI has taken a number of negative steps in the direction of democratic consolidation in the country”.

Kesimpulan Muhtadi terhadap bahaya Khilafah dan gerakan Hizbut Tahrir sayangnya tidak diiringi oleh penjelasan yang logis mengenai bahaya Khilafah itu sendiri ketika diperjuangkan atau diterapkan di Indonesia. Sederhananya, karena Indonesia negara Demokrasi, Pancasila dan nation-state sehingga aspirasi selain itu adalah berbahaya termasuk syariat Islam dan Khilafah. Muhtadi juga dalam mengutip referensi-referensinya banyak mengambil dari tulisan-tulisan penulis barat yang anti terhadap Khilafah dan Hizbut Tahrir, seperti Zeyno Baran, Samuel Huntington dan Ariel Cohen.

Problem yang sama muncul dalam buku Komaruddin Hidayat, editor. (2014) yang berjudul Kontroversi Khilafah: Islam Negara dan Pancasila, isinya selain menolak khilafah, juga berusaha untuk mengalihkan pemahaman mengenai Khilafah sebagai sebuah hal yang tidak esensial dalam Islam dan menjadikan demokrasi sebagai sebuah frame atau cara pandang untuk menilai keabsahan Khilafah. Komaruddin Hidayat Menulis, beberapa alasan kenapa gagasan Khilafah sebagai alternatif muncul ditengah-tengah rakyat Indonesia:

1.       Sebagai implikasi dari kebebasan yang terbuka luas, dan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan akhirnya mendapatkan ruang untuk berteriak dan meluapkan emosi.

2.       Slogan agama dianggap paling menarik untuk menarik massa disaat slogan-slogan rasional sekuler atau praktis dianggap gagal.

3.       Pemahaman umat Islam yang meyakini kesatuan Islam dan Negara.

4.       Sejarah dan Agenda Kekhilafahan adalah agenda arab yang kental dengan semangat kesukuan, persaingan ekonomi dan promisi mazhab.

5.       Konsep Khilafah berkembang dari waktu ke waktu, semakin jauh dari rasul maka semakin hilang semangat keislamannya.

6.       Kegagalan umat Islam di Indonesia dalam membedakan Islamisme dan Arabisme. Khilafah adalah bagian dari Arabisme dan bukan Islamisme.

Problem juga muncul dalam buku Jalan Tengah Demokrasi, Tohir Bawazir (2015) sebagaimana kalangan liberal memandang para pejuang Khilafah, Bawazir menganggap bahwa pejuang Khilafah adalah fundamentalis dan fanatik dalam memahami teks-teks al-Quran dan Sunnah tanpa mau membuka diri terhadap ide-ide baru dari luar. Khilafah dikritik karena tidak realistis, penyatuan kaum muslimin 40 negara sangat berat, masalah manusia pun tidak terjamin dengan tegaknya khilafah. Kewajiban menegakkan khilafah dengan pemimpin tunggal juga sudah dibantah oleh sejarah Islam sendiri yang banyak terpecah belah dengan dinasti-dinasti. Penyatuan negeri kaum muslim juga akan berpotensi menimbulkan konflik karena masing-masing saling berebut kekuasaan, dan siapa yang legitimate menjadi khalifah di era modern ini. Poin-poin diatas menjadi kritik dan pertanyaan-pertanyaan Bawazir terhadap khilafah.

Tulisan Bawazir tersebut diapresiasi oleh Dr. Adian Husaini melalui kata pengantarnya dalam buku itu. Husaini menuliskan berbagai polemik kaum muslimin terhadap Demokrasi dan sebagai penutup dia mengungkapkan, bahwa umat Islam mau tidak mau telah berada di dalam alam demokrasi, yang paling penting saat ini adalah kaum muslimin harus berjuang untuk semakin menjadikan Islam menjadi bagian dari rakyat Indonesia dan menghadapi musuh-musuh Islam.  Umat Islam tidak seharusnya hanya mengutuk dan membiarkan kemusyrikan dan kezaliman merajalela karena hanya akan menjadikan musuh-musuh Islam akan semakin berkuasa di Indonesia (Bawazir, 2015: xxii).

Kritik yang paling kejam terhadap penolakan gerakan Islam (Hizbut Tahrir) terhadap Demokrasi ditulis oleh Ainur Rofiq Al-Amin (Al-Amin,tt), pemahaman Hizbut Tahrir disebut sebagai kaku atau rijid dalam memahami demokrasi. Demokrasi menurutnya, bukanlah paham yang monolitik atau tunggal tapi berkembang sesuai zaman, Hizbut Tahrir gagal dalam memahami hal tersebut.

Tulisan Al-Amin juga sebenarnya gagal karena setelah panjang lebar, sekitar 80% menjelaskan alasan secara faktual Hizbut Tahrir dalam menolak demokrasi dari semua aspek, kemudian menjelaskan secara normatif kenapa HT menolak demokrasi. Namun, Al-Amin tidak mendiskusikan ide-ide Hizb tersebut[2]. Hanya tiba-tiba mengambil kesimpulan bahwa HT rijid dan kaku dan realitas demokrasi dinamis. Logika Al-Amin ini dalam bukunya sendiri Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di Indonesia (2012), disebut sebagai Logical Jumping, Logika yang melompat. Penyakit yang sama yang menimpa para intelektual dan aktifis anti Khilafah. Mereka yang mengkompromikan antara demokrasi dan Islam serta menolak khilafah terjebak dalam metode berpikir contigencies atau reduksionis.

Pemikir Muslim tapi Krisis Metodologi

Problem yang muncul dalam cara pandang muslim yang menolak khilafah dan bagi yang mengkompromikan Islam dan Demokrasi, adalah sangat jelas sekali menjadikan demokrasi sebagai framework untuk menganalisis relevansi dan legalitas penerapan khilafah di era kekinian. Akhirnya, semua kritik dengan argumentasi historis, normative (dalil-dalil) ataupun faktual pada intinya hanyalah untuk memastikan bahwa demokrasi lebih baik daripada Khilafah atau Islam tidak bertentangan dengan demokrasi. Penyakit yang sama yang diderita kalangan barat yang esensialis atau kontingensis.

Metodologi berpikir seperti diatas telah dikritik oleh Syekh Taqiuddin An-Nabhani, dalam kitab Pembentukan Partai Politik, (2008) bahwa cara pandang menjadikan realitas sebagai instrumen untuk menyelesaikan persoalan dan Islam hanya dijadikan sebagai legitimasi atau justifikasi maka, pasti usaha untuk membangkitkan umat Islam akan selalu gagal.

Yang seharusnya menjadi metode berpikir umat Islam, an-Nabhani menjelaskan,  adalah disaat kaum muslim beriman kepada Allah, Rasulullah Muhammad SAW dan Al-Quran maka konsekuensinya adalah menjadikan Islam sebagai Qiyadah Fiqriyah (kepemimpinan Berfikir) dan Qaidah Fiqriyah (Kaidah Berfikir). Setiap persoalan harus diselesaikan dengan solusi-solusi yang lahir dari sumber-sumber ajaran Islam, termasuk persoalan politik, ekonomi, sosial pendidikan dan persoalan-persoalan yang lain. Islam bukan hanya sebagai sebuah ritual semata tapi juga ideologi atau pandangan hidup yang akan menyelesaikan persoalan umat manusia (an-Nabhani, 2001b).

Dalam politik atau bernegara, Ideologi dipandang sebagai sebuah hal yang paling menentukan gerak dan aktifitas sebuah negara, Lyman Tower Sargent (2009: 2) menyebutkan:

An ideology is a system of values and beliefs regarding the various institutions and processes of society that is accepted as fact or truth by a group of people. An ideology provides the believer with a picture of the world both as it is and as it should be, and, in doing so, it organizes the tremendous complexity of the world into something fairly simple and understandable”.

sebuah ideologi adalah sebuah sistem nilai dan keyakinan yang berkaitan dengan berbagai institusi dan proses dalam masyarakat yang diterima sebagai sebuah  fakta atau kebenaran bagi sekelompok orang. Sebuah ideologi memberikan bagi para pengikutnya sebuah gambaran tentang dunia sebagaimana adanya, dan yang seharusnya.  Untuk mencapai hal tersebut, ideologi membantu mengolah dunia yang sangat kompleks menjadi sesuatu yang sederhana dan bisa dipahami.

Islam merupakan sebuah ideologi, wordview, paradigma, yang memiliki pandangan khas mengenai dunia dan telah memberikan aturan main mengenai bagaimana dunia seharusnya dijalankan. Disaat aturan tersebut dijalankan maka mustahil akan dicampur adukkan dengan ideologi-ideologi yang lain karena masing-masing memiliki prinsip atau keyakinan yang berbeda mengenai cara pandang melihat dunia.

Poin ini yang gagal dipahami oleh sebagian pemikir diantara kaum muslimin. Mereka tidak bisa memahami realitas politik dan negara secara utuh khususnya kedudukan sebuah ideologi dalam sebuah negara. Sehingga tidak bisa memahami problem politik di negeri muslim dan memahami solusi yang tepat terhadap persoalan tersebut.

Secara Normatif dan Historis, Khilafah seharusnya tidak diperdebatkan lagi legalitasnya diinternal kaum muslimin. Para ulama Sunni, Syiah, Muktazilah, Murjiah, Khawarij telah bersepakat bahwa Khilafah atau Imamah adalah fardhu kifayah bagi kaum muslimin. Khilafah wajib diantara alasannya, karena hanya dengan khilafah seluruh pelaksanaan syariat bisa diaplikasikan, aqidah ummat terjaga dan kaum muslimin bersatu dalam satu kekuasaan serta, dakwah islam bisa terorganisir di level negara baik dalam maupun luar negeri. Contoh bagaimana Islam seharusnya diterapkan telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para khalifahnya (Khulafa Rasyidin).

Bagi kalangan muslim yang meragukan Khilafah dengan menganggap khilafah berbahaya, cukup meminta bukti normatif dan historis dibagian mana ajaran Islam berpotensi membahayakan dan di sejarah mana disaat ajaran Islam diajarkan akan menindas manusia. Ketika dalam sejarah peradaban Islam terdapat kecacatan-kecacatan, seharusnya menjadi peluang bagi kaum muslimin untuk melakukan investigasi terhadap kecacatan tersebut dan memberikan solusi bagaimana seharusnya negara menghindari kecacatan serupa dimasa yang akan datang. Sayangnya kecacatan penerapan Khilafah masa lalu dijadikan dalil oleh sebagian umat Islam untuk menolak khilafah.

Menarik kata-kata Dhiauddin Rais (2001:xii) dalam pengantar bukunya Teori Politik Islam,

“Kesimpulannya, klaim dan pernyataan yang mengatakan terpisahnya agama dari negara, Islam dari tatanan masyarakat, menyingkirkan syariah Islam untuk digantikan undang-undang produk hawa nafsu, pengingkaran keberadaan konsep negara dan khilafah dalam Islam, serta pemalsuan fakta-fakta sejarah Islam, semua itu adalah klaim serta pernyataan dusta dan tertolak. Semua dalil ilmiah membatalkan klaim dan pernyataan itu.................Jika ada orang yang mengatakan bahwa negara Islam adalah negara sipil yang maksudnya adalah negara nonagama atau bukan islami, maka orang itu harus dicurigai kewarasan akalnya dan kelurusan akhlaknya. Atau dia dapat dikatakan sebagai orang yang mengada-ada dan bodoh”.

Kesimpulan

Khilafah sebagai sebuah ajaran dalam Islam masih dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap negara dan ancaman terhadap eksistensi manusia. Ide ini wajar kalau diungkapkan oleh intelektual non muslim barat, yang disayangkan ketika dilontarkan dari pemikir-pemikir umat Islam. Sebagaimana para intelektual barat, sebagian pemikir muslim menjadikan politik Islam atau Khilafah sebagai bagian dari masalah yang terjadi hari ini sehingga harus diberikan solusi supaya masalah tersebut teratasi.  Solusi yang dipakai adalah demokrasi. Wajar ketika muncul banyak tulisan yang mengeritik Khilafah baik dari kalangan muslim “liberal”, “moderat” atau “tradisional” ujungnya-ujungnya hanya meneguhkan posisi demokrasi ditengah-tengah kaum muslim dengan menggunakan berbagai dalil. Padahal demokrasi jelas-jelas bertentangan dengan Aqidah Islam. Dan Khilafah telah jelas kewajibannya seterang sinar matahari.

Referensi:

Al-Amin, Ainur Rofiq. Demokrasi Perspektif HTI Versus Religious Mardom Salari. http://eprints.uinsby.ac.id/131/1/Executive%20Summary%20Ainur%20Rofik.pdf. Diakses 07 Oktober 2015

An-Nabhani, Taqiuddin. 2008. Pembentukan Partai Politik. Jakarta: HTI Press

An-Nabhani, Taqiuddin. 2007. Peraturan hidup dalam Islam. Jakarta:  HTI Press

Baran, Zeyno, edt. 2004. Hizb ut-Tahrir Islam’s Political Insurgency. Washington: The Nixon Center

Bawazir, Tohir. 2015. Jalan Tengah Demokrasi: Antara Fundamentalisme dan Sekulerisme. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar

Cohen, Ariel. 2003. Hizb ut-Tahrir: An Emerging Threat to U.S. Interests in Central Asia. http://www.heritage.org/research/reports/2003/05/hizb-ut-tahrir-an-emerging-threat-to-us-interests-in-central-asia, accessed 26/08/2015

E. Salla, Michael. 1997. Political Islam and the West: A New Cold War or Convergence?. Third World Quarterly, Vol. 18, No. 4 , pp. 729-742

Hidayat, Komaruddin. edt. 2014. Kontroversi Khilafah: Islam, Negara dan Pancasila. Bandung: Mizan

Hizbut Tahrir. Tt. Hizb ut-Tahrir.

http://www.hizb-ut-tahrir.org/PDF/EN/en_books_pdf/12_Hizb_ut_Tahrir.pdf diakses 28 September 2015

Muhtadi, Burhanuddin. 2009.The Quest for Hizbut Tahrir in Indonesia. Asian Journal of Social Science 37. Pp. 623–645

Rais, Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press

Sargent, Lyman Tower. 2009. Contemporary Political Ideologies: A Comparative Analysis. Fourteenth Edition. Belmont: Wadsworth, Cengage Learning

[1] Disampaikan dalam Halqoh Syahriah Hizbut Tahrir Mahaliah UGM, 11/10/2015

[2] Tidak mendiskusikan penolakan Hizb terhadap substansi demokrasi, sekulerisme, liberalisme dan HAM.