Kontrol Politik Masyarakat dalam Khilafah Vs Demokrasi
16.51
Satu waktu terjadi saling mencaci antara khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan dan Jariah bin Qudama As-Sa`di pendukung Saidina Ali bin Abi Thalib yang disaksikan langsung oleh 3 utusan romawi. Kejadian itu dipicu oleh perkataan muawiyah tentang Ali r.a yang yang menjadikan Jariah tersinggung dan ikut mencaci Muawiyah saat itu. Hingga akhirnya Muawiyah menyuruh Jariyah diam. Namun Jariyah balik menyuruh Muawiyah diam dan mengatakan..”kami pernah memberikan baiat kami padamu untuk mendengar dan mematuhimu, selama engkau memerintah kami dengan dasar firman Allah. Jadi, bila engkau penuhi janjimu, kami akan tetap setia padamu, dan bila engkau langgar janjimu, ingatlah bahwa di belakang kami berdiri banyak kesatria bersenjata yang tidak akan tinggal diam melihat penyimpanganmu. Utusan Romawi yang ikut menyaksikan terheran-heran dan mempertanyakan kejadian itu kepada Muawiyah yang kemudian dijawab oleh Muawiyah bahwa, “Aku memerintah orang-orang yang tak kenal rasa takut dalam menegakkan kebenaran, dan semua rakyatku memiliki sifat orang arab gurun tadi. Tidak satupun diantara mereka yang lemah dalam menegakkan kalimat Allah Swt, tidak ada diantara mereka yang diam melihat ketidakadilan, dan aku pun berada diatas mereka, selain dalam masalah keimanan. Aku telah berkata-kata kasar pada orang tadi dan ia pun berhak menjawab. Aku yang memulai dan aku pula yang layak disalahkan bukan dia”.
Kutipan pendek diatas hanyalah salah satu dari dinamika dalam sejarah system khilafah islam yang pernah jaya selama kurang lebih 13 abad. Cerita di atas memberikan kita gambaran bahwa didalam islam kontrak sosial (bay`at) antara rakyat dengan pemerintah itu adalah standar kepatuhan rakyat terhadap pemerintah adalah penerapan syariah. Artinya, jika penerapan Syariah sudah tidak dilaksanakan lagi oleh pemerintah maka secara otomatis kontrak itu batal dan khalifah harus diturunkan. Karena doktrin yang mendasar yang diyakini oleh seluruh kaum muslimin saat itu bahwa hanya hukum syariah yang wajib untuk diterapkan ditengah-tengah mereka yang akan menjaga aqidah, kesejahteraan dan keamanan kaum mereka.
Kutipan pendek diatas hanyalah salah satu dari dinamika dalam sejarah system khilafah islam yang pernah jaya selama kurang lebih 13 abad. Cerita di atas memberikan kita gambaran bahwa didalam islam kontrak sosial (bay`at) antara rakyat dengan pemerintah itu adalah standar kepatuhan rakyat terhadap pemerintah adalah penerapan syariah. Artinya, jika penerapan Syariah sudah tidak dilaksanakan lagi oleh pemerintah maka secara otomatis kontrak itu batal dan khalifah harus diturunkan. Karena doktrin yang mendasar yang diyakini oleh seluruh kaum muslimin saat itu bahwa hanya hukum syariah yang wajib untuk diterapkan ditengah-tengah mereka yang akan menjaga aqidah, kesejahteraan dan keamanan kaum mereka.
Konflik-konflik yang terjadi pada masa-masa kekhalifahan mulai dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Muawiyah terlepas dari banyaknya stigmatisasi terhadap kejadian itu namun, menurut saya, itu adalah hasil dari kesuksesan pendidikan politik yang diajarkan oleh Islam. Bahwa Islam telah menjadi bagian inheren dari setiap kehidupan umat islam dan umat islam menjadikan islam sebagai tolak ukur benar salahnya sesuatu dan begitupun juga wajib untuk mengubah jika ada kesalahan atau kemunkaran yang terjadi. Daya kritis dan intelektualitas yang kurang lebih setara diantara kaum muslimin yang menjadikan mereka sangat sensitif terhadap kejadian-kejadian “menyimpang” dalam penerapan syariah meski akhirnya pada beberapa kasus terjadi eskalasi konflik yang tak terbendung dan perang pun terjadi. Namun, sekali lagi, pelajaran yang bisa diambil bahwa Penguasa dalam Islam tak bisa berani macam-macam dalam menghadapi rakyatnya karena pedang sangat gampang terhunus jika terjadi penyimpangan. Inilah kesuksesan dari penerapan ideology Islam dalam masyarakat. Hasil kajian politik modern juga telah menemukan teori tersebut.
Ilmuwan-ilmuwan politik modern bersepakat bahwa negara bisa menjadi baik ketika hubungan antara masyarakat dan pemerintah itu setara. Setiap masyarakat bisa mengkritisi pemerintah secara terbuka jika terjadi penyimpangan atau bahkan masyarakat bisa menurunkan penguasanya jika tak disepakati lagi. Oleh karenanya, Para pemikir tersebut menjadikan Demokrasi sebagai solusi bagi permasalahan semua negara saat ini. karena menurut mereka hanya demokrasi yang menjamin kebebasan dan keterbukaan bagi masyarakat dalam sebuah aspek kehidupan khususnya politik. Namun, Demokrasi dianggap tak bisa berjalan dengan baik jika kesejahteraan masyarakat belum meningkat. Semakin sejahtera masyarakat maka demokrasi pun akan semakin berjalan dengan baik begitupun sebaliknya. Namun fakta berbanding terbalik dengan konsep. Harapan kepada demokrasi untuk menjadikan masyarakat bisa setara dengan pemerintah tak pernah mewujud dalam kehidupan nyata. Malah trend yang terjadi dalam negara-negara demokrasi adalah kesenjangan semakin melebar. Bahkan struktur masyarakat menjadi berbentuk piramida yang dipuncaknya bertahta para penguasa dan pengusaha. Sementara mayoritas masyarakat berada di garis kemiskinan.
Artinya, Jika kesejahteraan diharapkan membantu proses politik supaya bisa lebih kuat/maju maka, demokrasi tak bisa diharapkan. Karena ternyata, Demokrasi sebagai system politik berjalan beriringan dengan Liberalisme Ekonomi, pendidikan, kesehatan dan layanan publik yang lain akhirnya Rakyat menjadi termiskinkan, terbodohkan, dan terpinggirkan. Dengan kondisi seperti itu tak mungkin rakyat diharapkan bisa hirau terhadap proses politik karena mereka telah terlebih dahulu dijatuhkan oleh system Demokrasi Kapitalisme itu sendiri.
Begitupun para politisi, mereka hidup diruang pragmatisme politiknya sendiri, saling menyandera untuk berebut keuntungan ekonomis dari kekuasaan yang dimilikinya. Sehingga sangat kecil kemungkinan atau bahkan mustahil ada perubahan significant dalam demokrasi untuk membantu kesejahteraan rakyat kecuali semuanya hanyalah menjadi alat untuk berebut kekuasaan para politisi. Pemberantasan korupsi, Penaikan dan penurunan harga BBM, bantuan sosial, pendidikan dan kesehatan menjadi instrument untuk menaikkan atau menurunkan citra para politisi. Betul-betul saling menyandera. Terjadi kesenjangan ekonomi berujung pada kesenjangan politik antar warga.
Sistem Islam merupakan konsep yang menyeluruh mengenai kehidupan manusia baik secara ekonomi, politik, pendidikan dsb. Dalam Negara Islam aturan yang diberlakukan hanyalah Islam yang aturannya telah tercatat dalam al-Quran dan ribuan kitab-kitab hadits dan Fiqhi. Dalam Islam kesejahteraan wajib dipenuhi oleh Pemerintah, Khalifah, dengan ukuran tak ada lagi yang kelaparan satu orang pun. Pendidikan diberikan secara gratis dengan tujuan membangun karakter dan kepribadian Islam dan menciptakan manusia-manusia produktif. Sementara khalifah terpilih hanyalah sebagai person yang diberi wewenang untuk menjalankan aturan syariat yang telah jelas sumbernya. Artinya..Islam mampu untuk menyediakan kondisi di mana hubungan pemerintah dan masyarakat bisa setara. Dengan pendidikan dan penanaman ideology Islam begitupun juga jaminan kesejahteraan akan secara otomatis meningkatkan daya kritis masyarakat. Sehingga kelangsungan pelaksanaan syariah bisa tetap terpelihara.
Demokrasi memang menjanjikan kebebasan namun kebebasan yang dihasilkan malah memperlemah negara itu sendiri. Masyarakat dilemahkan dengan liberalisasi ekonomi, pendidikan dan budaya. Dan akhirnya demokrasi hanyalah menjadi topeng totalitarianisme baru, yaitu korporatokrasi (negara korporasi). Sementara Islam sebagai aturan dari pencipta manusia, telah menawarkan perangkat yang jelas untuk menciptakan masyarakat yang maju dan beradab yaitu dengan menerapkan Syariah secara kaffah dalam system khilafah. Wallahua`lam
0 komentar: