Membaca Sastra Alternatif “Sastra Realisme”
20.56
Jika rakyat pergi. Ketika penguasa pidato. Kita harus hati -hati. Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi, Dan berbisik-bisik. Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar.
Bila rakyat berani mengeluh, Itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, kebenaran pasti terancam.
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan! .
(Wiji Thukul, 1986)
Kalau rakyat bersembunyi, Dan berbisik-bisik. Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar.
Bila rakyat berani mengeluh, Itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, kebenaran pasti terancam.
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan! .
(Wiji Thukul, 1986)
SAJAK
Di mana harga karangan sajak, Bukanlah dalam maksud isinya, Dalam bentuk, kata nan rancak
Dicari timbang dengan pilihnya,Tanya pertama keluar di hati.
Setelah sajak dibaca tamat, Sehingga mana tersebut sakti, Mengikat diri di dalam hikmat.
Rasa bujangga waktu menyusun, Kata yang datang berduyun -duyun, Dari dalam, bukan nan dicari,
Harus kembali dalam pembaca, sebagai bayang di muka kaca, harus bergoncang hati nurani.
(Sanusi Pane)
Dicari timbang dengan pilihnya,Tanya pertama keluar di hati.
Setelah sajak dibaca tamat, Sehingga mana tersebut sakti, Mengikat diri di dalam hikmat.
Rasa bujangga waktu menyusun, Kata yang datang berduyun -duyun, Dari dalam, bukan nan dicari,
Harus kembali dalam pembaca, sebagai bayang di muka kaca, harus bergoncang hati nurani.
(Sanusi Pane)
Dua karya sastra diatas merepresentasikan mazhab dalam dunia sastra. Puisi karya Wiji Thukul memperlihatkan kritik langsung terhadap penguasa dan seruan untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa yang menindas. Sementara puisi yang ditulis oleh Pane menggambarkan mengenai sajak, bagaimana ia diramu dan diciptakan. Perbedaan mendasar dari kedua genre sastra tersebut adalah puisi Tukul ditulis dengan bahasa lugas, politis dan berisi kritik sosial. Berbeda dengan karya Sanusi Pane yang menonjolkan keindahan bahasa dan pilihan kata. Puisi Tukul dalam kategorisasi sastra termasuk dalam mazhab sastra realis sementara karya Pane tergolong dalam sastra romantis. Tulisan ini sedikit mendiskusikan tentang realisme sastra.
Realisme sastra adalah sebuah gerakan sastra yang berusaha menggambarkan hidup tanpa melebih-lebihkan atau khayalan (attempts to describe life without idealization or romantic subjectivity). Menurut Encarta Encyclopedia, Sastra dan seni realis berusaha menggambarkan perilaku manusia dan sekitar atau menghadirkan sosok atau objek secara nyata sebagaimana terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Disebutkan dalam writershistory.com terdapat beberapa ciri yang dimiliki oleh sastra realis, antara lain: Setia dalam menghadirkan wajah kehidupan danm menggambarkannya secara apa adanya, Kritik terhadap kondisi sosial, penggambaran karakter sebagai inti yang paling penting dibanding plot atau alur cerita, Jujur, lebih mementingkan pengungkapan fakta, objek dan sosok dihadirkan secara sempurna dan objektif.
Secara historis sastra realis pertama kali ditulis di Eropa dan Amerika Serikat sejak 1840 hingga 1890an. Bermula dari novel Gustave Flaubert dan cerita pendek Guy de Maupassant. Di Rusia, realisme diangkat oleh cerita-cerita pendek Anton Chekhov, George Eliot di Inggris, di Amerika ada Mark Twain dan William Dean Howells. Penulis-penulis tersebut menggambarkan suasana dalam karya-karya mereka dengan gaya tutur yang sederhana. Seperti karya masterpiece Gustave Flaubert L’éducation sentimentale yang menggambarkan sosok-sosok pemeran dalam novelnya tersebut sebagai representasi masyarakat Perancis yang dianggap mediocrity, novel tersebut secara riil mengindera suasana di Perancis serta momen-momen bersejarahnya.
Salah satu jenis karya sastra realisme adalah realisme sosialis yang diperkenalkan pertama kali oleh Maxim Gorki 1868-1936, tulisan-tulisannya menyorot kondisi-kondisi masyarakat kelas bawah di Rusia, para pekerja, gelandangan dan orang-orang tersingkirkan lainnya diantara karyanya, seperti kumpulan cerpen, Sketches and Stories (1898, “Twenty-Six Men and a Girl” (1899; translated 1902), Novel, Ibu (1907), The Life of Klim Samgin (1927-1936), The Lower Depths (1902), tirlogi Childhood (1913-1914, In the World (1915-1916), My University Days (1923; translated as Reminiscences of My Youth, 1952) dsb.
Menurut Gorki, fungsi realisme sastra itu tidak saja melukiskan keadaan manusia yang sebenarnya, tetapi juga bagaimana keadaan yang seharusnya dan bagaimana pula keadaan hari esok. Pendapat Gorki sejalan dengan Lenin kalau sastra itu harus bagian daripada kepentingan umum kaum proletariat dan harus menjadi unsur dari garapan partai gabungan sosial-demokratik yang terorganisasi dan terencana. Kemudian dalam kongres pengarang rusia tahun 1934 dihasilkan rumusan resmi mengenai definisi realisme sosialis bahwa:
“Realisme sosialis adalah metode dasar sastra dan kritik sastra Rusia yang menuntut agar para pengarang memberikan penyajin yang setia, penuh kebenaran dan konkret berdasarkan sejarah, tentang kenyataan dalam perkembangannya yang revolusioner. Realisme sosialis harus menggabungkan kesetiaan yang penuh kebenaran dan sifat konkret berdasarkan sejarah dalam penyajian artistik itu dengan tugas memberikan pendidikan ideology dan latihan bagi para buruh dalam semangat sosialisme” .
Realisme Sosialis di Indonesia
Pioner sastra realisme sosialis di Indonesia adalah Lekra, Lembaga Kebudayaan Rakyat yang didirikan oleh aktifis-aktifis Marxis tahun 1950 seperti, D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S. Dharta dan Nyoto. Secara ideologis gerakan ini sepaham dengan Partai Komunis Indonesia. Isu-isu yang diperjuangkan adalah menjadikan kesenian untuk kepentingan rakyat dan sebagai sarana perjuangan menghancurkan feodalisme dan imperialisme. Rakyat yang dimakusid adalah kelas buruh dan Tani sebagai golongan mayoritas rakyat Indonesia .
Salah satu aktifis Lekra yang terkenal adalah Pramoedya Ananta Toer. Buku-bukunya hingga saat ini masih tetap diburu masyarakat. Seperti tetralogi Bumi Manusia, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Gadis Pantai, Sepoeloeh Kepala Nica, Arok Dedes, Arus Balik dsb. Dalam tetralogi Bumi Manusia, Rumah Kaca, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Pramoedya menggambarkan runtutan perjuangan nusantara di awal abad dua puluh semenjak organisasi perjuangan belum dikenal hingga perjuangan melalui organisasi dan politik di kenal masyarakat Indonesia. Empat buku tersebut berlatar beberapa daerah di Indonesia termasuk beberapa daerah di Jawa Timur khususnya Surabaya, dan Batavia. Dalam rangkaian cerita yang disusun, kita akan dibawa meresapi kondisi masyarakat di bawah kekuasaan kolonial: ketidak adilan hukum, feodalisme, perampasan tanah, tradisi pergundikan, pembentukan kelas-kelas sosial oleh Belanda (pribumi, Indo, Eropa) dsb dan berbagai diskriminasi sosial yang terjadi. Di buku tetralogi itu juga kita bisa melihat bagaimana upaya pemerintah Belanda mengawasi dan meredam gerakan-gerakan politik yang berpotensi melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda di Nusantara.
Dalam buku Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Pram menulis beberapa semboyan dalam sastra realis yaitu: Pertama, Garis yang Tepat dan Garis yang Salah. Semboyan ini bermaksud agar tetap menguasai persoalan asasi dalam dunia kebudayaan. Menyadari bahwa kaum yang menganut ‘seni untuk seni’ berhadap-hadapan dengan kaum dengan semangat ‘seni untuk rakyat’. Kedua, Meluas dan Meninggi. Meluas bisa diartikan ‘setia pada garis massa’. Meninggi adalah keseimbangan antara mutu ideologi dan mutu artistis. Ketiga, Politik adalah Panglima. Semboyan ini menginginkan agar para seniman sebelum menggarap karya harus meninjaunya terlebih dahulu dari segi politik. kesalahan ideologi lebih jahat ketimbang kesalahan artistik. Dan terakhir adalah Gerakan Turun ke Bawah (turba). Berdasar pada prinsip bahwa seni sastra realisme sosialis harus mengabdi kepada rakyat, maka cara terbaik untuk memahami rakyat adalah dengan turun ke rakyat, melebur bersama mereka, menangkap suka-duka mereka . Ideolog sastra Pram secara sederhana bisa dipahami dari kutipan bukunya Bumi Manusia, “Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya”.
Realisme Islam, Mungkinkah?
Menyebut mazhab realisme dalam sastra berarti keberfihakan terhadap kepentingan “politik” tertentu atau penggunaan sastra sebagai perjuangan dengan perspektifnya masing-masing. Islam adalah deen yang mengajarkan kehidupan yang lurus dan benar sesuai dengan tuntunan wahyu. Islam mengajarkan bukan saja hubungan ibadah antara manusia dan pencipta, tapi aturan-aturan mengenai hubungan antar manusia itu sendiri dan semua aspeknya. Islam juga telah mempertegas bahwa ideologi, faham, keyakinan selain Islam harus dihapuskan. Gambaran sederhana mengenai Islam ini menegaskan bahwa Islam itu deen perjuangan dan perlawanan (amar ma`ruf nahi munkar). Nabi Muhammad telah menggariskan beberapa metode amar ma`ruf nahi munkar dengan tiga jalan: kekuasaan, lisan dan hati. Perjuangan melalui seni atau sastra adalah sebuah jalan yang dibolehkan dalam Islam bahkan al-Quran itu adalah “kitab sastra” tercanggih yang tidak ada yang mampu menyaingi keindahan bahasa dan kedalaman maknanya.
Saat ini banyak karya-karya sastra Islam baik dalam bentuk puisi atau cerpen dan novel yang laris di pasaran, seperti Novel Asma Nadia, Cerita Okky Setiana Dewi, Habiburrahman Al-Shirasy, Darwish Tere Liye, dsb. Isinya banyak mengandung pesan-pesan kebaikan dan anjuran menjadi orang muslim yang berakhlak mulia. Namun, dengan kondisi yang menimpa kaum muslimin dan umat manusia saat ini karya-karya bergenre seperti itu kurang pas untuk diproduksi.
Kita bisa belajar dari gerakan realisme sosialis yang menjadikan sastra sebagai alat perjuangan politik untuk membebaskan masyarakat dari penjajahan yang menimpa mereka saat itu. Kaum muslim yang senang sastra juga melakukan gerakan sastra yang sama yaitu untuk membangkitkan masyarakat dari penjajahan sekulerisme-kapitalistik menuju kesadaran Ideologi Islam. Kalau kita tidak bisa menciptakan karya sastra ideologis minimal kita membaca atau mendukung karya-karya dari penulis-penulis ideologis Islam. Karya Adian Husaini KEMI 1 dan 2 salah satu karya yang saya rasa menarik untuk dicontoh. Sebagai penutup, kita bisa menyimak puisi dari Prof. Fahmi Amhar.
ANEH
Ada orang menolak sistem Khilafah,
katanya ada masa sosok ulama seperti Imam Ahmad sampai dipenjara,
karena beda pendapat dengan khalifahnya,
padahal di sistem baik yang tirani maupun yang demokrasi sebenarnya,
ada lebih banyak sosok ulama yang dipenjara atau dilarang bicara,
di Uzbekistan, di Mesir, di Jerman, juga di Indonesia di masa orba.
ANEH
Ada orang menolak sistem Khilafah,
katanya ada sosok khalifah diktator seperti Yazid yang amat kejamnya,
membantai cucu Nabi karena tidak mendukungnya,
padahal di sistem baik yang presidensil maupun parlementer sebenarnya,
ada lebih banyak lawan yang dihabisi dengan fitnah dan berbagai konspirasinya,
di Malaysia, di Thailand, di Inggris, bahkan juga di Amerika.
ANEH
Ada orang menolak sistem Khilafah,
katanya karena jihad menyulut peperangan sepanjang masa,
menimbulkan korban dan penderitaan manusia yang merata,
padahal di sistem baik kapitalis maupun komunis sebenarnya,
ada dua perang dunia dan ratusan perang lain yang sangat sia-sia,
di Vietnam, di Congo, di Nicaragua, juga di Irlandia Utara.
Kalau begitu halnya,
siapa yang lebih utopis sebenarnya?
(Puisi Pencari Cahaya: 22/11/2013)
Artikel yang bagus... Saya ingin berbagi wawancara dengan Gabriel Garcia Marquez (imajiner) artikel di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2017/09/wawancara-dengan-gabriel.html
BalasHapus