AQIDAH ISLAM DI TENGAH-TENGAH TANTANGAN ZAMAN: Debat Liberalisme di Internal Kaum Muslim di Indonesia
18.47
Tugas Makalah prajabatan SIASIDI Calon Dosen Universitas Islam Indonesia
a. Pendahuluan
Tahun 2005 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa dalam Musyawarah Nasional di Jakarta mengenai Pluralisme, Liberalisme Dan Sekularisme Agama (SIPILIS). Fatwa tersebut secara tegas mengatakan bahwa ketiga itu bertentangan dengan ajaran agama islam. Dan Umat Islam haram mengikuti paham tersebut. Fatwa itu keluar berdasarkan pertimbangan MUI bahwa bahwa paham SIPILIS mulai berkembang di masyarakat dan menciptakan keresahan dalam masyarakat[1].
Fatwa itu direspon oleh kaum kalangan muslim di Indonesia secara beragam. Ada yang berbahagia dan ada yang menolak fatwa tersebut. Para penentang fatwa tersebut mengatakan bahwa Fatwa MUI sebagai lembaga di bawah pemerintah bisa menghasilkan peminggiran atas minoritas karena penguasa telah menggunakan dalil-dalil agama atau memasukkan nilai-nilai agama dalam negara[2]. Kelompok-kelompok dan para tokoh yang anti fatwa tersebut sering disebut sebagai kelompok beraliran liberal seperti, Jaringan Islam Liberal dan Wahid Institute. Kelompok pendukung fatwa MUI adalah kelompok-kelompok atau tokoh-tokoh yang sering disebut golongan radikal atau fundamentalis seperti, Front Pembela Islam, Hizbut-Tahrir Indonesia, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan Forum Ulama Umat Islam. Makalah ini akan membahas lebih jauh mengenai isu hubungan liberalisme Islam di Indonesia dan pandangan-pandangan para pendukung dan para penentangnya.
b. Liberalisme
Dalam Encarta Encyclopedia disebutkan, Liberalism, attitude, philosophy, or movement that has as its basic concern the development of personal freedom and social progress[3]. “liberalisme, dari segi perilaku, filosofi dan gerakan memiliki kepedulian utama yang berkaitan dengan kebebasan individu dan kemajuan sosial.
Liberalism refers to a broad array of related ideas and theories of government that consider individual liberty to be the most important political goal. Modern liberalism has its roots in the Age of Enlightenment. Broadly speaking, liberalism emphasizes individual rights and equality of results. Different forms of liberalism may propose very different policies, but they are generally united by their support for a number of principles, including extensive freedom of thought and speech, limitations on the power of governments, the rule of law, the free exchange of ideas, a market or mixed economy, and a transparent system of government.
Liberalisme merujuk pada pada sebuah medan yang luas yang berkaitan dengan ide-ide dan teori-teori pemerintahan yang menganggap bahwa kebebasan individu mesti menjadi tujuan yang terpenting. Liberalisme modern berakar sejak era pencerahan. Lebih luas, liberalisme menekankan hak-hak individu dan kesetaraan hasil. Bentuk-bentuk yang berbeda dari liberalisme bisa saja mengusulkan kebijakan-kebijakan yang berbeda tapi, mereka disatukan oleh sejumlah prinsip termasuk perluasan kebebasan berfikri dan berbicara, pembatasan kekuasaan pemerintah, aturan hukum, pertukaran ide secara bebas, pasar bebas atau campuran, dan system pemerintahan yang transparan[4].
Beberapa defenisi diatas memperlihatkan gambaran yang jelas mengenai liberalisme sebagai sebuah pemikiran yang menekankan pada kebebasan individu. Kebebasan dalam segala aspek kehidupan baik politik, ekonomi, dan berbudaya. Kebebasan itu juga menjadi pondasi dari berdirinya sebuah negara yang lazim di sebut sebagai negara demokrasi.
John Locke, salah seorang pemikiran aliran liberal dalam karyanya From The Second Treatise on Government, mengatakan bahwa, Seorang manusia disaat dilahirkan ke permukaan bumi ini telah mewarisi sebuah kebebasan yang sempurna dan kesenangan atas semua hak-hak dan previlij yang diberikan oleh Law of Nature (Hukum Alam) atau kehendak tuhan (will of god). Hak-hak dasar tersebut sama untuk semua manusia. Kekuasaan atau negara hadir untuk menjaga hak-hak dasar manusia, termasuk hak hidup, kebebasan dan hak atas harta juga kewajiban negara untuk menghilangkan segala ancaman fisik antar manusia satu dan yang lain kecuali pelaksanaan hukuman bagi yang melanggar hukum[5]. Dalam karya itu juga, Locke menyatakan ketidak setujuannya terhadap sebuah kekuasaan monarki absolut karena bertentangan dengan konsep masyakarat sipil yang diakui dalam Law of nature, John Locke mengatakan “evident that absolute monarchy, which by some men is counted for the only government in the world, is indeed inconsistent with civil society, and so can be not form of civil government at all”.
Menurut Murray, Prinsip ini sebenarnya menunjukkan penentangan locke terhadap doktrin divine rights of Kings, konsep yang menyatakan bahwa seorang raja tidak akan bisa melakukan kesalahan karena otoritasnya berasal dari tuhan dan segala aktifitasnya adalah pengejawantahan kehendak tuhan. Locke menganggap bahwa para raja adalah manusia biasa yang bisa saja berbuat salah sehingga juga harus taat pada hukum moral dan raja bisa saja melanggar hukum-hukum tersebut[6].
Liberalisme meskipun berasal dari sejarah panjang peradaban barat akan tetapi juga merasuk ke dalam pemikiran umat islam di dunia dan akhirnya di kenal sebagai salah satu mazhab pemikiran di kalangan intelektual muslim dengan nama Islam Liberal. Penamaan ini pertama kali diperkenalkan oleh Asaf Ali Asghar Fyzee, seorang muslim intelektual dari India tahun 1950an. Jauh sebelumnya diabad 19, banyak pemikir Islam juga yang sering dianggap sebagai pencetus ide-ide liberal dalam Islam seperti Jamal al-Din al Afghani, Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Abduh yang menekankan pada ide kebebasan dari taqlid dan memperluas hak-hak kebebasan untuk berijtihad.
Disebut sebagai Islam liberal karena mazhab pemikiran ini memperjuangkan kebebasan individu dan pembebasan dari dominasi struktur sosio-politiks yang tidak sehat dan menindas. Mazhab Liberal ini menginginkan sebuah praktek keberagamaan yang inklusif dan memperjuangkan reinterpretasi ajaran-ajaran[7]. Reinterprestasi terhadap ajaran Islam, menurut aliran ini, dibutuhkan karena tafsir terhadap teks-teks keberagamaan atau wahyu dalam Islam tidak mungkin bisa mencakup semua makna dari teks-teks tersebut. Sehingga dalam perspektif Liberal, tidak boleh ada kata eksklusif dalam memahami agama.
Pandangan Islam liberal dalam bermasyarakat atau bernegara mengadopsi tradisi pemikiran liberal barat dalam isu-isu yang berkaitan dengan demokrasi, pemisahan otoritas agama dalam negara, hak-hak perempuan, kebebasan dalam berfikir dan memperjuangkan kemajuan umat manusia. Ahmad Bunyan Wahib memberikan gambaran sederhana mengenai Islam Liberal bahwa, terminologi Islam Liberal mengacu pada pemahaman Islam melalui pendalaman makna-makna essensial dalam teks-teks wahyu dalam Islam dengan menggunakan buah dari modernitas[8]. Pemikir-pemikir Islam Liberal yang terkenal di dunia diantaranya adalah Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun.
c. Liberalisme Islam di Indonesia
Istilah Islam liberal di Indonesia mendapatkan ketenarannya di awal-awal tahun 2000an. Ide ini dikampanyekan oleh kelompok yang bernama Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dipimpin oleh Ulil Abshar Abdallah. Sebelum generasi ini muncul, sebelumnya sudah banyak tokoh-tokoh yang berpandangan liberal di Indonesia seperti, Harun Nasution, Dadwam Rahardjo, Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid dan Musdah Muliah. Namun, secara terorganisir, Jaringan Islam Liberal inilah yang gencar melakukan berbagai aktifitas untuk mendiseminasi ide-ide Islam liberal di Indonesia.
Kegiatan utama kelompok ini adalah berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam, negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Anggota-anggotanya adalah para penulis, intelektual dan para pengamat politik seperti, Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep Saefullah Fatah, Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Muzani, Hamid Basyaib, Ade Armando dan Luthfi Assaukanie.
Selain diskusi rutin yang diadakan oleh kelompok ini, mereka juga menyebarkan ide melalui media massa seperti Jawa Pos yang terbit di Surabaya, Tempo di Jakarta dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta Mereka juga rajin menulis buku-buku dan artikel-artikel yang memuat mengenai pemikiran-pemikiran Islam Liberal seperti, Buku seperti Fiqih Lintas Agama (Tim Penulis Paramadina), Menjadi Muslim Liberal (Ulil Abshar-Abdalla) Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Musda Mulia dkk), Indahnya Perkawinan Antar Jenis (Jurnal IAIN Walisongo)[9].
Dalam website resmi JIL tertulis tujuan dari gerakan ini bahwa tujuan utamanya adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Sementara visi dan misinya, Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut kelompok islam liberal, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak. Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Dengan terbukanya ruang dialog, menurut mereka, akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat. Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi[10].
Islam liberal dalam perspektif Jaringan ini juga tertulis dan terjabarkan dalam website kelompok ini:
a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).
b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur'an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.
e. Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.
Tahun 2001 Ulil Abshar Abdallah membuat tulisan di kompas yang berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, tulisan itu bagi kaum muslimin mayoritas Indonesia sangatlah sensitif karena isi dari tulisan tersebut menggugat berbagai hukum-hukum yang sudah dianggap qath`ie atau tidak perlu dipersoalkan lagi bagi kaum muslimin seperti kewajiban jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubbah yang merupakan ekspresi kebudayaan Arab dan tidak wajib diikuti. Larangan kawin beda agama, antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam yang dalam pemahaman umat Islam mayoritas tidak boleh dianggap oleh Ulil sudah tidak relevan lagi. Kemudian penolakan terhadap campur tangan kekuasaan agama terhadap negara[11].
Tulisan ini menuai banyak protes dan kritikan dari berbagai kalangan di Indonesia. Diantara respon serius terhadap artikel Ulil tersebut yaitu respon FUUI, Forum Ulama Umat Islam, yang dipimpin oleh Athian Ali. Tidak lama setelah artikel Ulil dipublis Kompas, FUII mengadakan pertemuan di Bandung. Salah satu topik diskusinya adalah berkaitan dengan artikel Ulil. Disimpulkan dari pertemuan tersebut, artikel Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, adalah tindakan yang menghina Islam. Dan pihak kepolisian harus mencegah segala aktifitas dari penghinaan terhadap ajaran agama Islam. Serta, bagi orang-orang yang menghina Islam harus di hukum mati[12].
d. Bantahan terhadap Ide Liberalisme Islam
Diantara yang gencar menentang pemikiran-pemikiran dari jaringan Islam Liberal di Indonesia adalah kelompok insist, (institute Islamic thought and civilization), Hizbut-tahrir Indonesia dan tokoh seperti Hartono Ahmad Jaiz. Dalam Website resmi Insist dimuat banyak artikel dan makalah yang menuliskan bantahan terhadap berbagai pemikiran Islam Liberal terkait kebebasan beragama, sekularisme, pluralisme, pernikahan beda agama, tafsir dengan metode hermeneutika dan gender.
Adian Husaini, anggota Insist dan juga ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, menuliskan bantahannya terhadap ide Pluralisme yang dibawa oleh Islam Liberal. Menuruti Adian, dalam pandangan Islam paham pluralisme agama adalah racun yang melemahkan keimanan dan keyakinan akan kebenaran Islam. Adian Mengutip ayat dalam al-Quran yang membantah klaim dari faham pluralisme agama[13]:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu daripada dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali Imran: 85). “Sesungguhnya agama yang (diridhoi disisi Allah hanyalah Islam” (QS Ali Imran: 19)
Dalam sebuah hadist nabi disebutkan:
“Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tiada ada seorang pun baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yangaku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni negara.” (HR. Muslim)
Kesimpulannya, Adian Husaini mengungkapkan, Pluralisme agama jelas membongkar Islam dari konsep dasarnya. Dalam faham ini, tidak ada lagi konsep mukmin, kafir, syirik, sorga, negara dan sebagainya. Karena itu, mustahil paham pluralisme agama bisa hidup berdampingan secara damai dengan tauhid Islam. Sebab, keduanya bersifat saling menegasikan.
Islam tidak mengakui konsep pluralisme agama akan tetapi bukan berarti Islam tidak toleran terhadap agama yang lain selain Islam. Menurut Adian, Di dalam Islam telah sangat dikenal konsep bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Sebagai konsep toleransi antar umat beragama[14].
Adian Husaini juga mengeritik faham kebebasan beragama ala kelompok Liberal. Kelompok Islam liberal memberikan kebebasan dalam beragama apapun. Contoh polemik mengenai kebebasan beragama di Indonesia, saat munculnya aliran-aliran yang telah dianggap sesat oleh Majelis Ulama Indonesia dan ormas-ormas Islam di Indonesia seperti, Ahmadiyah dan Aliran Lia Eden. Bagi kelompok liberal, kelompok-kelompok tersebut tidak boleh diganggu apalagi diberantas karena melanggar hak asasi mereka sebagai manusia yang punya hak memilih keyakinannya masing-masing. Namun, di kalangan mayoritas umat Islam dan kelompok Islam, pendapat kelompok liberal ini salah. Aliran Ahmadiah dan Lia Eden adalah bentuk penghinaan dan penistaan agama.
Menurut Adian, Konsep kebebasan beragama dalam Islam berbeda dengan konsep kebebasan barat. Konsep kebebasan barat memiliki batasan yang tidak jelas, sementara Islam memiliki konsep ikhtiyar yakni Islam mengajak manusia memilih kebaikan bukan kejahatan. Sebab tujuan hidup manusia adalah menjadi orang yang taqwa kepada Allah[15].
Nuim Hidayat mengatakan bahwa dalam Islam dikenal konsep amar ma`ruf nahi munkar, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran. Di negara barat tidak memiliki konsep mengenai hal ini. Terkadang negara barat, melakukan amar ma`ruf dan terkadang melakukan amar mungkar. Atau terkadang nahi ma`ruf dan terkadang nahi mungkar. Karena dibarat memang tidak mengenak defenisi ma`ruf (baik) dan munkar (keburukan). Dalam Islam yang disebut makruf adalah hal-hal yang sesuai atau tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah, sedangkan yang disebut mungkar adalah hal-hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan asSunnah. Seperti Islam melarang pornografi, zina, lesbian, minum alkohol, makan riba, mewajibkan menutup Aurat dan mengharamkan murtad dari Islam. Sementara dalam perspektif kebebasan barat, yang juga diadopsi oleh Islam Liberal, batasan kebebasan tidak jelas sehingga berbagai hal yang diharamkan oleh Islam dalam sudut pandang liberal boleh[16].
Kritik terhadap relativisme kebenaran[17] dilontarkan oleh Adnin Armas, mengutip Sa’d a-Din al-Taftazani (1312-1390) bahwa kalangan relativis adalah kaum Sophis. Mereka terbagi kepada 3 golongan, yaitu al-‘inadiyah (keras kepala), al-‘indiyyah (subjektifisme) dan al-laadriyah (agnostisme). Kesemua itu tidaklah sesuai dengan konsep ilmu dalam Islam. Konsep ilmu dalam Islam bersumber kepada Wahyu yang didukung oleh akal dan panca-indera. Wahyu dalam Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Nama Islam, keimanannya, amalannya, ibadahnya dan doktrinnya telah ada dalam wahyu seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah saw[18].
Hendri Salahuddin menuliskan bahwa dalam Islam hanya ada dua konsep yaitu antara Ilmu (yakin) dan Shakk (ragu). Orang-orang yang bertauhid, meyakini keesaan Allah, kerasulan Muhammad dan Al-Quran disebut sebagai orang memiliki ilmu yang pasti atau yakin sementara orang-orang yang meragukan konsep-konsep aqidah dalam Islam sering disebut kalangan shakk atau digelari orang-orang yang jahil atau bodoh. Oleh sebab itu, dalam Islam tidak ada ruang untuk relativisme kebenaran[19].
Mengenai sekulerisme, Hizbut-Tahrir adalah kelompok yang paling menentang ide ini. Menurut Syekh Taqiuddin An-Nabhani, pendiri Hizbut-Tahrir, Islam dan negara bukanlah sebuah entitas yang terpisah. Negara dalam Islam berfungsi mengatur seluruh urusan rakyat dan melaksanakan aktifitasnya sesuai dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya[20]. Negara yang dimaksud oleh Hizbut Tahrir adalah Khilafah Islamiyah. Hukumnya wajib bagi seluruh kaum muslimin dan berdosa jika tidak dilaksanakan. Sebab kewajiban mengangkat seorang khalifah telah ditetapkan berdasarkan Al-Quran, As-Sunah dan Ijma’ Sahabat[21]. Pendapat ini bertentangan secara mutlak dengan pendapat Islam Liberal yang berpandangan Islam tidak mewariskan konsep-konsep tentang negara dan umat Islam bebas untuk bereksperimen untuk mencari sendiri bentuk negara yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Aliran Islam Liberal ini menurut Hartono Ahmad Jaiz memiliki banyak kelemahan-kelemahan pokok yang secara otomatis menjadikan pendapat-pendapat mereka tidak memiliki nilai ilmiah sedikit pun. Kelemahan-kelemahan pokok tersebut antara lain :
1. Tidak punya landasan/ dalil yang benar.
2. Tidak punya paradigma ilmiyah yang bisa dipertanggung jawabkan.
3. Tidak mengakui realita yang tampak nyata.
4. Tidak mengakui sejarah yang benar adanya.
5. Tidak punya rujukan yang bisa dipertanggung jawabkan.
Kelemahan-kelemahan itu bisa dibagi dua:
1. Lemah dari segi metode keilmuan.
2. Lemah dari segi tinjauan keyakinan atau teologis[22].
Liberalisasi di dunia Islam yang mengkampanyekan ide-ide, sekuleralisme, relativisme agama, dan pluralisme menurut Adian Husaini adalah bagian dari agenda negara-negara barat. Setelah perang dingin, Islam dianggap menjadi ancaman terbesar oleh negara-negara barat. Oleh sebab itu, barat berusaha sekuat tenaga untuk melemahkan Islam. Dan salah satu programnya adalah liberalisasi pemikiran Islam. Adian mengutip, David E. Kaplan, mengenai penggelontoran dana pemerintah Amerika Serikat untuk mendanai kampanye mengubah Islam. Termasuk mendanai acara-acara radio Islam, TV, pusat-pusat kajian, sekolah-sekolah dsb untuk mempromosikan Islam moderat[23].
e. Kesimpulan
Paham Islam Liberal atau penggunaan metodolog aliran Liberal dalam Islam menimbulkan respon positif ataupun negatif di dunia Islam. Di Indonesia, kelompok yang terkenal dengan gerakan kampanye Islam Liberal ini adalah Jaringan Islam Liberal. Gerakan ini mengkampanyekan tafsir ulang terhadap tafsir al-Quran yang selama ini sudah mapan di pahami oleh mayoritas umat Islam. Mempertanyakan ulang praktek-prakek keberagamaan umat Islam seperti, hukum-hukum pidana dalam Islam, pernikahan beda agama, dan penggunaan jilbab. Kelompok liberal juga anti dengan campur tangan agama dalam negara. tidak ada negara Islam dalam kamus aliran Islam Liberal.
Kelompok-kelompok yang gencar mengkampanyekan penolakan terhadap aliran Islam Liberal ini sering digolongkan sebagai kelompok Islam berpaham radikal, literalis atau fundamentalis. Seperti Insist dan Hizbut- Tahrir. Kelompok-kelompok ini sangat anti dengan pemikiran-pemikiran yang dibawa oleh kalangan Islam liberal. Pemikiran-pemikiran Islam liberal dianggap sesat dan bisa merusak ajaran Aqidah Islam sendiri.
Demikianlah gambaran polemik antar umat Islam dalam merespon sebuah ide baru yang berinteraksi dengan dinamika pemikiran di tengah-tengah umat Islam. Munculnya polemik ini sangat potensial terjadi sebab memang dalam Islam mengoptimalkan potensi berfikir adalah sebuah hal yang sangat diutamakan dan mendapatkan predikat yang tinggi. Namun, interaksi dengan berbagai pemikiran yang bukan bersumber dari ajaran Islam haruslah dengan pertimbangan-pertimbangan logis dan memiliki legitimasi dari sumber-sumber ajaran Islam itu sendiri.
Referensi
An-Nabhani, Taqiyuddin. 2007. Peraturan Hidup dalam Islam. Edisi Mutamadah. Jakarta Selatan: HTI Press
An-Nabhani, Taqiyuddin. 2009. Daulah Islam. Jakarta: HTI-Press
Husaini, Adian. 2010. Pluralisme Agama: Musuh Agama-Agama. Jakarta : Dewan Dakwah Islamiah
Jaiz, Hartono Ahmad. 2002.Bahaya Islam Liberal Sekular dan Menyamakan Islam dengan Agama Lain. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Rachman, Budhy Munawar. 2010. Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)
Rachman, Budhy Munawar-.2011. Islam dan liberalisme. Jakarta Selatan: Friedrich Naumann Stiftung
Murray, A.R.M.2010. An Introduction to Political Philosophy. New York. Routledge & Kegan Paul Ltd
Locke, John.1690. From The Second Treatise on Government. Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved.
Nurdin, Ahmad Ali. 2005. Islam and State: A Study of the Liberal Islamic Network in Indonesia, 1999- 2004. New Zealand Journal of Asian Studies. New Zealand: State Institute for Islamic Studies
Shalahuddin, Henri. Bahaya Relativisme Terhadap Keimanan. Makalah disampaikan pada acara pengajian di Masjid Babuttaubah, Kemang Pratama, Bekasi, 5 Mei 2007
Wahib, Ahmad Bunyan. 2006. Questioning Liberal Islam In Indonesia: Response and Critique to Jaringan Islam Liberal. Al-Jami‘ah, Vol.44, No.1. Yogyakarta: Al-Jami'ah Research Centre of State Islamic University Sunan Kalijaga
______. 2009. Liberalism. Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved.
Abdalla, Ulil Abshar. 2001. Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Harian Kompas. http://www.tufs.ac.jp/blog/ts/g/aoyama/files/Menyegarkan_Kembali_Pemahaman_Islam.doc, diakses 09/12/2014
Armas, Adnin. Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-Qur’an. http://insistnet.com/ diakses 10/12/2014
Husaini, Adian. Liberalisasi Islam Di Indonesia, http://insistnet.com/ diakses 10/12/2014
JIL. Tentang Jaringan Islam Liberal. http://islamlib.com/?site=1&cat=page-tentang. Diakses 09/12/2014
Mudzhar, M. Atho. Perkembangan Islam Liberal di Indonesia.
http://balitbangdiklat.kemenag.go.id/indeks/artikel-ilmiah/395-perkembangan-islam-liberal-di-indonesia.html, diakses 10/12/2014
MUI. 2005. Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme Dan Sekularisme Agama. http://mui.or.id/files/07-Fat%20Munas-Pluralisme.pdf, diakses 12/09/2014
[1] Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme Dan Sekularisme Agama. http://mui.or.id/files/07-Fat%20Munas-Pluralisme.pdf, diakses 12/09/2014
[2] Budhy Munawar-Rachman. 2010. Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)Hal: 447
[3] Liberalism. Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved.
[4] Budhy Munawar-Rachman.2011. Islam dan liberalisme. Jakarta Selatan: Friedrich Naumann Stiftung, hal: 3
[5] John Locke.1690. From The Second Treatise on Government. Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved.
[6] A.R.M. Murray .2010. An Introduction to Political Philosophy. New York. Routledge & Kegan Paul Ltd, Hal: 76
[7] Ahmad Ali Nurdin. 2005. Islam and State: A Study of the Liberal Islamic Network in Indonesia, 1999- 2004. New Zealand Journal of Asian Studies. New Zealand: State Institute for Islamic Studies, hal: 26
[8] Ahmad Bunyan Wahib. 2006. Questioning Liberal Islam In Indonesia: Response and Critique to Jaringan Islam Liberal. Al-Jami‘ah, Vol.44, No.1. Yogyakarta: Al-Jami'ah Research Centre of State Islamic University Sunan Kalijaga , Hal: 24
[9] M. Atho Mudzhar. Perkembangan Islam Liberal di Indonesia.
http://balitbangdiklat.kemenag.go.id/indeks/artikel-ilmiah/395-perkembangan-islam-liberal-di-indonesia.html, diakses 10/12/2014
[10] Tentang Jaringan Islam Liberal. http://islamlib.com/?site=1&cat=page-tentang. Diakses 09/12/2014
[11] Ulil Abshar Abdalla. 2001. Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Harian Kompas. http://www.tufs.ac.jp/blog/ts/g/aoyama/files/Menyegarkan_Kembali_Pemahaman_Islam.doc, diakses 09/12/2014
[12] Ahmad Bunyan Wahib, op.cit, hal: 39-40
[13] Pluralisme agama memiliki ide bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju tuhan yang sama. Semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju tuhan yang sama. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa agamanya lebih benar atau lebih baik dari yang lain. (Adian Husaini. 2010. Pluralisme Agama: Musuh Agama-Agama. Jakarta : Dewan Dakwah Islamiah)
[14] Adian Husaini. 2010. Pluralisme Agama: Musuh Agama-Agama. Jakarta : Dewan Dakwah Islamiah, hal: 22-24
[15] Adian Husaini. Kebebasan: Muslim atau Liberal dalam Penerbit dalam buku Hamid Fahmy Zarkasyi, dkk. 2010. Islam versus Kebebasan/Liberalisme (Menjawab Gugatan terhadap UU Penodaan Agama, UU No. 1/PNPS/1965). Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia
[16]Nuim Hidayat. Amar Makruf Nahi Mungkar vs Kebebasan dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, dkk, op.cit. hal: 74-75
[17] Dalam Kamus Encarta Encyclopedia, 2008, disebutkan bahwa relativism: belief in changeable standards: the belief that concepts such as right and wrong, goodness and badness, or truth and falsehood are not absolute but change from culture to culture and situation to situation.
Relativisme Kebenaran menurut Hendri Salahuddin, bahwa setiap orang dengan perbedaan tingkat intelektual dan kapabilitasnya, berhak memberikan pemaknaan terhadap ayat-ayat al-Qur'an maupun Hadits dan masing-masing tidak berhak mengklaim dirinya lebih benar dari lainnya. Sebab menurut mereka, kebenaran mutlak hanyalah milik Allah SWT, sedangkan al-Qur'an adalah Firman-Nya yang kebenarannya dijamin secara mutlak. Namun kebenaran mutlak tersebut hanyalah diketahui oleh Allah; dan manusia tidak akan pernah dapat mencapainya. Sebab manusia adalah makhluk yang nisbi dan relatif, maka kebenaran yang dicapainya juga bersifat relatif, samar dan senantiasa berbeda antara satu individu dan individu lainnya. Bahkan terkadang kebenaran tersebut kerap berubah seiring dengan kondisi, situasi dan kecenderungan manusia yang berkaitan. Para penganut paham ini biasanya menguatkan pandangannya dengan dalih bahwa manusia tidak pernah tahu maksud Tuhan yang sebenarnya. Oleh karena itu manusia tidak boleh mengklaim dirinya paling benar atau menyalahkan pihak yang berbeda dengannya. (Henri Shalahuddin. Bahaya Relativisme Terhadap Keimanan. Makalah disampaikan pada acara pengajian di Masjid Babuttaub ah, Kemang Pratama, Bekasi, 5 Mei 2007)
[18]Adnin Armas. Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-Qur’an. http://insistnet.com/ diakses 10/12/2014
[19] Henri Shalahuddin. Bahaya Relativisme Terhadap Keimanan. Makalah disampaikan pada acara pengajian di Masjid Babuttaubah, Kemang Pratama, Bekasi, 5 Mei 2007
[20] Taqiyuddin An-Nabhani. 2007. Peraturan Hidup dalam Islam. Edisi Mutamadah. Jakarta Selatan: HTI Press, Hal,52
[21] Taqiyuddin An-Nabhani. 2009. Daulah Islam. Jakarta: HTI-Press. Hal: 274
[22] Hartono Ahmad Jaiz. 2002.Bahaya Islam Liberal Sekular dan Menyamakan Islam dengan Agama Lain. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, hal: 21
[23] Adian Husaini. Liberalisasi Islam Di Indonesia, http://insistnet.com/ diakses 10/12/2014
0 komentar: