Menjadi Ilmuwan Hubungan Internasional dengan Akhlak Al-Kariimah


SIASIDI Prajabatan Calon Dosen Tetap Universitas Islam Indonesia 2014

Sebagai seorang yang berprofesi dibidang kajian hubungan internasional tidaklah mudah mendefinisikan bagaimana seharusnya berperilaku yang paling tepat dalam menjalani profesi keilmuwan tersebut dan mendidik para mahasiswa untuk berperilaku sebagaimana yang diinginkan. Sebab, hubungan internasional merupakan salah satu rumpun dalam kajian Ilmu Sosial dan norma telah menjadi bagian yang terpisahkan dalam perdebatan-perdebatan interprespektif antar mazhab pemikiran dalam kajian hubungan internasional. Perspektif-perspektif tersebut lahir dari sebuah basis pemikiran filsafat baik dari segi ontology, epistemology dan methodology. Basis filsafat ini yang membentuk norma-norma yang akan menjadi panduan dalam menentukan perilaku atau sikap dalam berpolitik baik dalam lingkup lokal atau internasional.

Memasukkan terminologi Akhlakul Kariimah sebagai tata perilaku yang berdasarkan atas syariah Islam berarti harus dimulai dari kritik terhadap paradigma atau filsafat yang beraneka ragam dalam kajian hubungan internasional. Oleh sebab itu, tidak ada akan pernah bisa ketemu ketika Akhlakul Kariimah hanya dibatasi oleh ekspresi nilai-nilai Islam tertentu saja tanpa mengikut sertakan secara keseluruhan system berpikir (paradigm) yang membentuk akhlak tersebut. Seperti, seorang muslim yang berakidah Islam, perilakunya jujur, amanah, taat beribadah, bertanggung jawab, baik kepada sesama manusia akan tetapi paradigma berfikir dalam berpolitiknya adalah liberal, atau komunis. Ini adalah ketidak cocokan antara penerapan akhlakul kariimah dalam profesi sebagai seorang akademisi di bidang sosial khususnya di bidang kajian  hubungan internasional.  Atau seorang ulama atau sekumpulan ulama yang menjadi penasehat sebuah negara yang negara tersebut tunduk pada kepentingan ideologi negara-negara yang berideologi liberalisme dan kapitalisme.

Dalam kelas pengantar hubungan internasional,  mahasiswa baru universitas Islam Indonesia tahun 2014, saya pernah memperlihatkan kepada mahasiswa satu tokoh politik perempuan kaliber dunia yaitu Condolezza Rice. Sebagai seorang perempuan berkulit hitam Afro-Amerika, dia adalah salah satu perempuan tersukses berkarir dalam dunia politik dan akademisi di Amerika Serikat. Dia adalah professor di Universitas Stanford di bidang ilmu politik. Dia juga Menteri luar negeri AS ke 66, menjadi menteri luar negeri perempuan pertama beretnis Afrika Amerika; menjadi perempuan kedua yang menjabat sebagai Menlu Amerika; dan menjadi perempuan pertama yang menjabat sebagai penasehat keamanan nasional presiden George W. Bush tahun 2001-2005. Dia juga menduduki posisi penting di beberapa perusahaan multionasional.   Seperti Chevron, Transamerica Corporation dan Hewlett-Packard.

Karir yang sangat cemerlang yang diraih oleh Rice tersebut pastinya karena dia memiliki integritas, loyalitas, kecerdasan dan kemampuan untuk berinteraksi dengan baik antar manusia. Orang akan berdecak kagum dengan prestasi Rice. Tapi siapa sangka kalau dia adalah salah satu pendukung invasi Amerika Serikat ke Iraq dan Afghanistan yang menghasilkan banyak korban rakyat sipil; menghancurkan fasilitas publik, membunuh bayi-bayi, wanita dan orang-orang yang tak berdosa. Dan membawa negara tersebut  dalam peperangan yang tak pernah selesai.

Para penganut Islam Liberal yang dianggap sesat oleh para ulama bukan karena perilaku mereka buruk, tidak jujur, tidak amanah, pembohong dsb tapi karena paradigma liberal mereka yang digunakan untuk menafsirkan teks-teks agama sehingga hasil pemikiran mereka banyak mendobrak hal-hal yang sudah mapan dalam Islam[1]. Seperti, bolehnya perkawinan sejenis, ide semua agama sama (pluralisme agama), konsep relativisme kebenaran, sekulerisme penggunaan metode hermeneutika dalam menafsirkan al-Quran, dsb[2].

Termasuk juga para ulama yang masuk dalam jajaran Dewan Ulama Senior Arab Saudi. Mereka adalah para ulama Islam yang memahami Islam secara mendalam dari berbagai aspeknya. Namun, mereka dikritik oleh banyak ulama dan ilmuwan karena dianggap sebagai “boneka” dari penguasa Arab Saudi. Banyak kebijakan-kebijakan kontroversial yang dikeluarkan oleh kerajaan Saudi dan didukung oleh Fatwa Ulama di Dewan Ulama Senior dan Mufti Saudi. Termasuk kerjasama Amerika Serikat dan Saudi dalam perang teluk dan perang melawan terorisme. Professor Madawi Rasheed, mengungkapkan kritiknya terhadap fatwa - fatwa yang sering digunakan oleh para ulama di Saudi yang menurutnya bukan lagi murni sebagai bentuk ketaatan pada tuhan tapi menjadi alat politik penguasa semata untuk semakin meneguhkan kekuasaan raja Saudi[3].

Akhlakul Karimah tidak bisa dipisahkan dari perilaku itu sendiri. Jujur, amanah, bertanggung jawab, tidak bisa dikatakan Akhlakul Kariimah ketika diarahkan untuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT. Menurut Syaikh Taqiuddin An-Nabhani, Syariat Islam tidak menjadikan akhlak sebagai bagian khusus yang terpisah.  Syariat Islam telah mengatur hukum-hukum akhlak berdasarkan suatu anggapan bahwa akhlak adalah bagian dari perintah dan larangan Allah SWT. Akhlak adalah bagian dari rincian-rincian hukum atau melekat dalam hukum-hukum yang ada dalam Islam[4]. Seperti, sifat jujur yang harus ada dalam bertransaksi jual beli, sifat amanah yang harus adalah disaat diberi pekerjaan, sifat loyal ketika menjadi bagian dari sebuah kerjasama atau organisasi, tidak sombong dalam bergaul sesama manusia, dan tegas ketika melihat kemungkaran.

Oleh sebab itu, untuk menjadi sebuah Ilmuwan, akademisi dalam bidang kajian ilmu sosial, politik dan hubungan internasional yang berakhlakul kariimah, mesti mengubah paradigma dasar atau worldview yang membentuk perilaku politik dari isme-isme hasil kreasi intelektualitas manusia menjadi Islam sebagai din yang berasal dari wahyu pencipta. Allah berfirman dalam al-Quran, surah Al-An`am, 116:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Dan jika engkau mengikuti jalan mayoritas orang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah SWT. Yang mereka itu sejatinya hanyalah dugaan semata dan mereka hanyalah membuat kebohongan”[5].

Ideologi dan Perspektif dalam Hubungan Internasional

Dalam kajian hubungan internasional perilaku dan cara pandang para ilmuwan dalam melihat persoalan manusia dan negara tergantung atas nilai-nilai yang dianut oleh mereka. Diantara mereka ada yang menganut paham bahwa, pada dasarnya manusia memiliki karaktek yang brutal, egois dan tak bermoral. Sudut pandang ini berpengaruh pada cara pandangnya dalam menganalisis persoalan yang terjadi dalam hubungan antar negara. bahwa negara harus berfikir untuk menjaga kekuasaannya dari negara-negara lain, perilaku negara adalah terus curiga pada negara-negara lain kelompok ini masuk dalam mazhab Realisme dalam hubungan internasional[6].

Ada juga sudut pandang yang menganggap bahwa, manusia pada dasarnya baik, rasional dan cenderung menyukai perdamaian. Dalam memandang persoalan antar negara, isu-isu yang diperjuangkan adalah demokrasi, liberalisme pasar, Hak Asasi Manusia, dan berdirinya organisasi internasional. Kelompok ini disebut, mazhab liberalisme. Kelompok yang lain, menganggap bahwa sejarah masyrakat itu adalah pertentangan antar kelas. Akan selalu ada kelas yang akan mendominasi kelas yang dalam masyarakat. Dan persaingan itu akan terus menerus terjadi dan akan menghasilkan wajah masyarakat secara berbeda. Isu utama dalam pertentangan tersebut adalah persoalan ekonomi politik. Perubahan struktur ekonomi sebuah masyarakat akan akan mengubah wajah masyarakat tersebut. mazhab ini disebut, Marxisme atau strukturalisme.[7]

Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan dalam sudut pandang berbagai mazhab diatas, namun secara historis mereka berasal dari satu induk sejarah yaitu berasal dari era modernisme. Trend dalam budaya modernisme adalah menjadikan rasio atau ilmu pengetahuan sebagai hal yang utama yang bisa membimbing manusia. Rasio menggantikan otoritas tuhan dalam mengatur umat manusia baik secara hukum maupun moral[8].

Berbagai sudut pandang tersebut diatas berbeda karena dilatari oleh pandangan mendasar mengenai hakikat manusia sehingga lahirlah sebuah kesimpulan bagaimana seharusnya manusia itu bersikap, kemudian juga implikasi terhadap negara dan hubungannya antar negara yang lain.  Ini yang disebut sebagai ideologi.

“An ideology is a system of values and beliefs regarding the various institutions and  processes of society that is accepted as fact or truth by a group of people. An ideology  provides the believer with a picture of the world both as it is and as it should be, and, in  doing so, it organizes the tremendous complexity of the world into something fairly simple  and understandable”[9].
"Ideologi adalah sebuah system nilai dan kepercayaan mengenai institusi-institusi yang berbeda-beda dari masyarakat yang diterima sebagai sebuah kebenaran oleh sekelompok orang. Sebuah ideologi mewadahi pengikutnya gambaran mengenai dunia sebagaimana adanya, dan bagaimana seharusnya dan oleh sebab itu, ideologi mengelola kompleksitas dunia yang sangat luas ini menjadi sangat sederhana dan bisa dipahami".

Islam sebagai sebuah asas dari sebuah peradaban tentunya memiliki perspektif yang berbeda dalam melihat masyarakat, negara dan hubungan antar negara. sebab Islam memiliki sudut pandang yang khas dalam menjelaskan mengenai gambaran dunia dan hakikat manusia. Taiquddin An-Nabhani, menyebut Ideologi sebagai mabda yang maknanya adalah, Aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Mabda, tersebut lahir baik melalui wahyu atau dari kejeniusan seseorang. Mabda` yang benar menurut An-Nabhani adalah yang bersumber dari Allah SWT[10].
Shaykh  Atif  al-Zayn  mengartikan  mabda’  sebagai  aqidah  fikriyyah   (kepercayaan  yang rasional) yang berdasarkan pada akal. Sebab setiap Muslim wajib beriman kepada hakekat wujud Allah,  kenabian Muhammad saw, dan kepada al-Qur’an dengan akal. Iman kepada hal-hal yang ghaib……..itu  berdasarkan  cara  penginderaan  yang  diteguhkan  oleh  akal  sehingga  tidak  dapat  dipungkiri  lagi.  Iman  kepada  Islam  sebagai  Din  yang  diturunkan  melalu  Nabi  Muhammad  saw  untuk  mengatur  hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya dan lainnya[11].
al-Mauwdudi, menyebut ideologi Islam sebagai Islami Nazariyat (worldview) pandangan hidup yang  dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan  manusia  di  dunia.  Sebab  shahadah  adalah  pernyataan  moral  yang  mendorong  manusia  untuk  melaksanakannya dalam kehidupannya secara menyeluruh[12].

Beberapa definisi mengenai ideologi Islam diatas memberikan gambaran bahwa Islam memiliki pemahaman dasar mengenai hakikat manusia yang berasal dari Allah SWT dan harus taat dan patuh dalam melaksanakan perintah Allah SWT.

Dalam sudut pandang Islam, semua aktifitas manusia baik, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan hubungan internasional haruslah mengikuti rel yang telah ditetapkan oleh Islam. Secara epistomologi, Islam mendudukkan akal dalam posisi yang sangat tinggi sebagai alat untuk memahami berbagai persoalan akan tetapi akal tersebut harus tunduk pada hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh wahyu. 

Perspektif Islam dalam Politik dan Hubungan Internasional

Graham E Fuller mendefinisikan mengenai politik Islam sebagai sebuah istilah yang merujuk pada setiap muslim yang meyakini bahwa Quran dan Hadits mengatakan sesuatu hal yang penting mengenai pemerintahan dan masyarakat Islam. Mereka menganggap wajib untuk menerapkannya  meskipun mereka tidak sepakat bagaimana seharusnya diterapkan. Namun, pandangan politik dalam Islam menurut Fuller,  tidak monolitik, tapi berbeda-beda. Ada yang menganggap Islam itu mesti memiliki sebuah negara sendiri dan tidak kompromi terhadap system negara modern. Ada juga yang akomodatif terhadap negara eksistensi negara modern[13]. Mengenai Politik Islam, Mohammad Ayoob, menuliskan bahwa, gambaran politik Islam yang tunggal itu adalah mitos. Ayoob mengutip salah satu perkataan tokoh politik Islam, “it is intellectually imprudent and historically misguided to discuss the relationship between Islam dan Politics as if there were on Islam timeless and eternal[14]”.

Ada yang menganggap wajah politik islam itu berbeda-beda, tapi ada juga yang menganggap wajah politik Islam yang diakui oleh sumber-sumber ajaran Islam adalah satu yaitu system politik Khilafah. Diantara pendukungnya adalah, Syekh Muhammad Rashid Ridha, Dr. Diauddin Rais dan Gerakan politik global Hizb-Tahrir.

Syekh Muhammad Rasyid Ridha mengatakan dalam kitabnya Al-Khilafah:

الْخلافَة، والإمامة الْعُظْمَى، وإمارة الْمُؤمنِينَ، ثَلَاث كَلِمَات مَعْنَاهَا وَاحِد، وَهُوَ رئاسة الْحُكُومَة الإسلامية الجامعة لمصَالح الدّين وَالدُّنْيَ

“Al-Khilafah dan Imamah Uzma, Imarah al-Muslimin, adalah tiga kata yang bermakna satu. Yang berarti kepemimpinan yang berdasarkan hukum-hukum islam secara keseluruhan untuk kemaslahatan agama dan dunia”.

Hukum mendirikan khilafah adalah wajib bagi seluruh kaum muslimin atau Fardhu Kifayah. Diwajibkan karena beberapa alasan, pertama kesepakatan para sahabat (ijma sahabat) setelah meninggalnya nabi Muhammad, Nas-nas al-Quran dan Sunnah, kemudian tidak sempurna penerapan hukum Islam jika Khilafah tidak ditegakkan[15].

Khilafah adalah sebuah bentuk pemerintahan yang monolith yang diakui dalam Islam. Dengan wajah politik Islam yang berbeda-beda saat ini hal itu tidak bisa menegasikan bahwa, wajah politik Islam adalah satu yaitu Khilafah. Kewajiban tersebut menurut Dr. Dhiauddin Rais disepakati oleh mayoritas kaum muslim baik Ahlu Sunnah, Murjiah, Khawarij, Muktazilah dan Syiah. Sebagai rujukan untuk menerapkan Khilafah, Kelompok ulama ahlu sunnah menganggap bahwa Khulafaa Rasyidin dapat dijadikan contoh, prototype, yang menjadi sumber kaidah fundamental, teladan inspiratif, dan landasan-landasan sebuah system pemerintahan yang Islami[16]. Hizbut Tahrir mengeluarkan sebuah buku yang cukup lengkap mengenai system pemerintahan dalam Islam, mulai dari system pemerintahan dalam Islam, prosedur memilih pemimpin, kriteria memilih dan menurunkan pemimpin, lembaga-lembaga negara dan fungsi-fungsinya[17].

Usaha untuk menghadirkan perspektif Islam dalam Hubungan Internasional pernah digagas oleh Sosial Kajian TImur Tengah (Association of Middle East Studies) dalam pertemuan tahunan pada tahun 2011. Salah satu misi dalam diskusi tersebut adalah menengahi dua struktur pengetahuan (body of knowledge) antara studi hubungan internasional yang bersumber dari negara-negara Barat (Inggris dan Amerika) dan Kajian Islam yang dikembangkan dari negara-negara muslim. Tulisan-tulisan dari hasil pertemuan tersebut dikumpulkan dan menjadi sebuah buku. Dalam pengantar buku tersebut, Nasef Annabilang Adiong, mengatakan, jika pemikir Hubungan Internasional di barat mampu menghubungkan antara kajiah HI dengan sejarah barat dan Kristen, Islam juga pasti mampu dan memungkinkan untuk memahami, dan menginterpretasi hubungan internasional.

Namun, dalam buku tersebut belum merumuskan sebuah perspektif baru bagaimana Islam dihadirkan sebagai perspektif baru dalam Hubungan Internasional. Dalam tulisan pengantarnya, Adiong hanya mengeritik para ilmuwan yang cenderung melihat kajian Islam dalam sudut pandang epistimologi sekuler yang berasal dari tradisi judeo-kristen dalam hal pemisahan gereja dan pemerintahan. Sementara menurut, Adiong, Islam dan politik adalah satu dan tidak terpisah sebagaimana tradisi sekuler Hubungan Internasional saat ini[18]. Adiong menutup komentarnya dengan menuliskan harapan untuk mengkonstrukis proposes ontologi dan epistimologi untuk menghadirkan Islam dalam sebuah skema atau perpektif  yang spesifik dan tetap dalam teori hubungan internasional[19].

Politik dalam Islam atau siyasah, dalam pandangan Adnan Khan, mengatur persoalan sebuah negara baik di dalam atau di luar negeri. Dalam aspek luar negeri, negara Islam menjalin hubungan dengan negara, masyarakat dan bangsa lain serta menyebarkan ideologi Islam ke seluruh dunia. Menurut Adnan, konsep politik internasional dalam Islam tidak berubah dan bersifat tetap. Yakni menyebarluaskan Islam kepada setiap negara dan masyarakat. Konsep ini tidak berubah sejak zaman rasul, khulafaaur rasyidin, hingga era Usmani.  Terdapat beberapa panduan hubungan internasional yang ada di dalam Islam[20]:

1.        Mengemban dakwah Islam di seluruh dunia dan Islam menjadi panduan kerjasama antar negara.

2.        Yang menjadi dasar negar adalah Islam

3.        Manuver politik penting dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri.

4.        Salah satu cara dalam bermanuver adalah membuka kejahatan negara yang lain, membongkar konspirasi yang berbahaya, dan juga orang-orang yang menyesatkan.

5.        Tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara.

6.        Negara-negara yang bekerjasama dengan negara Islam diperlakukan sama. Dan untuk beberapa aspek terjadi pembatasan kerjasama seperti dalam perdagangan.

7.        Negar Islam tidak boleh bekerjasama dengan negara-negara penjajah[21].

Adnan Khan disini telah memberikan sedikit gambaran terkait Islam dalam hubungan internasional. Bagaimana Islam melakukan hubungan dengan negara-negara yang lain. Namun dalam bukunya, Adnan Khan tidak menjelaskan secara lebih detail bagaimana ideologi Islam bisa menjelaskan fenomena-fenomena dalam hubungan internasional. Tapi, ini adalah langkah positif atau maju dalam usaha untuk merumuskan sebuah perspektif baru dalam hubungan internasional yaitu Islam.
Kesimpulan
Untuk membangun akhlakul Kariimah dalam profesi sebagai dosen hubungan internasional maka, yang perlu dikonstruksi dulu adalah paradigma dasar dalam ilmu hubungan internasional. Paradigma dalam hubungan internasional saat ini lahir dari era modernisme yang menjauhkan negara dari agama. Sehingga, perilaku negara-negara saat ini begitupun halnya dengan pemikir-pemikir dalam hubungan internasional sangat terpengaruh oleh paradigma-paradigma tersebut. Islam adalah sebuah bangunan paradigma tersendiri yang berbeda dengan ideologi-ideologi yang lain. Oleh sebab itu, untuk menciptakan karakter negara dan karakter ilmuwan yang berakhlak mulia maka, ilmu hubungan internasional dan politik harus dibentuk dengan asas Islam.

Referensi:

Rachman, Budhy Munawar. 2010. Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat

Al-Rasheed, Madawi. 2007. Contesting the Saudi State: Islamic Voices from a New Generation. New York: Cambridge University Press

An-Nabhani, Taqiuddin.2007. Peraturan Hidup dalam Islam. Jakarta Selatan. HTI Press

Al-Quran Al-Kariim

Burchill, Scott. 2005. Theories of International Relations. Third edition. New York: Palgrave Macmillan

Bennett, Clinton. 2005. Muslims and Modernity: An Introduction to the Issues and Debates. London: Continuum

Sargent, Lyman Tower. 2009. Contemporary  Political Ideologies: A Comparative Analysis

Fourteenth Edition. Belmon: Wadsworth

Syarkazy, Hamid Fahmi. Tt. Pandangan Hidup dan Tradisi Intelektual Islam (Eksposisi awal framework pemikiran Islam). Makalah yang disampaikan di Institute of Islamic Thought and Civilization. Jakarta: Insist

Fuller, Graham & Marcel Kurpershoek. 2005. What Future for Political Islam?: dilemmas and opportunities

for  the  next  decade. The Hague: WRR / Scientific Council For Government Policy

Ayoob, Mohammed. 2011. The many Faces of Political Islam: Religion and politics in the Muslim World. United States of America: The University of Michigan Press

Ridha, Muhammad Rashid. 1354 H. Al-Khilafah. Kairo: Az- Zahra Lil I`lam Al-Arabi, Versi Maktabah Syamilah

Rais, M. Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press

Hizb Tahrir. 2005. Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah. Beirut: Dar al-Ummah

Adiong, Nassef Manabilang. 2013. International Relations and Islam: Diverse Perspectives. UK: Cambridge Scholars Publishing

Khan, Adnan. 2009. Constructiong Khilafah Foreign Policy. United Kingdom: Khilafah. Com

Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme Dan Sekularisme Agama. http://mui.or.id/files/07-Fat%20Munas-Pluralisme.pdf, diakses 12/09/2014







[1] Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme Dan Sekularisme Agama. http://mui.or.id/files/07-Fat%20Munas-Pluralisme.pdf, diakses 12/09/2014

[2] Budhy Munawar-Rachman. 2010. Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta:   Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)

[3] Madawi Al-Rasheed. 2007. Contesting the Saudi State: Islamic Voices from a New Generation. New York: Cambridge University Press, Hal 45

[4] Taqiuddin An-Nabhani. Peraturan Hidup dalam Islam. Jakarta Selatan. HTI Press, Hal: 196-198

[5] Al-Quran Al-Kariim

[6] Scott Burchill. 2005. Theories of International Relations. Third edition. New York: Palgrave Macmillan

[7]Ibid,

[8] Clinton Bennett. 2005. Muslims and Modernity: An Introduction to the Issues and Debates. London: Continuum, hal: 24

[9] Lyman Tower Sargent. 2009. Contemporary  Political Ideologies: A Comparative Analysis

Fourteenth Edition. Belmon: Wadsworth, hal: 2

[10] Taqiuddin An-Nabhani. Op.cit, hal: 43

[11] Hamid Fahmi Syarkazy. Tt. Pandangan Hidup dan Tradisi Intelektual Islam (Eksposisi awal framework pemikiran Islam). Makalah yang disampaikan di Institute of Islamic Thought and Civilization. Jakarta: Insist

[12] Ibid,

[13] Graham Fuller & Marcel Kurpershoek. 2005. What Future for Political Islam?: dilemmas and opportunities

for  the  next  decade. The Hague: WRR / Scientific Council For Government Policy, hal: 15-18

[14] Mohammed Ayoob. 2011. The many Faces of Political Islam: Religion and politics in the Muslim World. United States of America: The University of Michigan Press, Hal: 15

[15] Muhammad Rashid Ridha. 1354 H. Al-Khilafah. Kairo: Az- Zahra Lil I`lam Al-Arabi, Versi Maktabah Syamilah

[16] M. Dhiauddin Rais. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press. Hal: 124-126

[17] Hizb Tahrir. 2005. Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah. Beirut: Dar al-Ummah

[18] Nassef Manabilang Adiong. 2013. International Relations and Islam: Diverse Perspectives. UK: Cambridge Scholars Publishing, hal: 6-7

[19] Ibid, 8

[20] Adnan Khan. 2009. Constructiong Khilafah Foreign Policy. United Kingdom: Khilafah. Com, Hal:  6

[21] Ibid, hal: 24-25