Beberapa minggu terakhir isu konflik Suriah kembali memanas. Hal tersebut dipicu oleh pengiriman militer Rusia untuk terlibat langsung dalam pertempuran melawan ISIS dan kelompok bersenjata seperti, Jabhat Nusrah dan kelompok-kelompok perlawanan yang lain. Amerika dan sekutu-sekutunya di Barat maupun timur tengah mengecam sikap dari sikap Rusia yang dianggap gegabah tersebut. Dikhawatirkan, aksi Rusia akan memicu gelombang radikalisasi yang semakin menguat di Suriah, proxy war antara Amerika dan Rusia juga dikhawatirkan akan terjadi. Tulisan ini akan menganalisis perkembangan terakhir mengenai intervensi Rusia di Suriah, kemudian posisi Amerika Serikat beserta sekutu-sekutunya dalam konflik Suriah.
Intervensi Rusia
30 September yang lalu, Rusia memutuskan untuk melakukan penyerangan udara terhadap ISIS dan kelompok-kelompok perlawanan yang lain di wilayah Suriah. Rusia mengirimkan sekitar lebih 30 Jet tempur serta 15 helikopter dan persenjataan-persenjataan canggih lainnya. Penyerangan ini dilakukan setelah, Bashar Asad meminta Rusia untuk ikut membantu pasukan Suriah melawan gempuran dari kelompok perlawanan Suriah. Presiden Vladimir Putin menyatakan bahwa tujuan dari intervensi tersebut adalah untuk menstablikan pemerintahan dan untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk kompromi politik di Suriah. Putin menegaskan jika para teroris internasional sudah menguasai wilayah sekitaran ibukota Suriah maka hanya akan ada sisa sedikit hasrat bagi pemerintahan suriah untuk bernegosiasi, dan sebagian besar perhatiannya terhadap ancaman pengepungan terhadap ibukota negaranya. Dalam berbagai komentar para pejabat Rusia, tujuan utama penyerangan tersebut adalah menyasar ISIL dan kelompok-kelompok perlawanan lain “teroris” di Suriah.
Keputusan Rusia untuk terlibat dalam pertempuran di Suriah mendapatkan kecaman dari berbagai negara khususnya Amerika Serikat dan aliansinya di timur tengah. Rusia dianggap tidak ikut membantu peperangan melawan ISIS namun malah memperlihatkan dukungannya terhadap Asad, menurut Obama, aksi Rusia tersebut bisa menjadi sumber bencana besar di Suriah. Serangan-serangan Rusia ternyata tidak memfokuskan kepada ISIS tapi lebih dominan kepada kelompok-kelompok lain termasuk, yang dibackup oleh CIA-Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Dalam sebuah joint statement antara AS, Perancis, Qatar, Saudi, Turki dan Inggris, disebutkan tuntutan bagi Rusia untuk menghentikan serangannya terhadap oposisi Suriah dan masyarakat sipil dan untuk fokus memerangi ISIS. Serangan yang membabi buta, tanpa melihat afiliasi para oposisi, radikal atau moderat, dianggap oleh Obama tidak akan efektif untuk menyelesaikan masalah di Suriah, bahkan sebaliknya, akan memicu peningkatan eskaliasi ekstrimisme dan radikalisasi. ISIS akan semakin kuat dan usaha-usaha untuk reformasi politik akan semakin rumit (theguardian, 2015). John Mc Cain, Senator Amerika, menyatakan kekhawatirannya akan terjadi perang proksi (proxy war) antara AS dan Rusia di Amerika, Amerika dan sekutu2nya menggunakan kelompok-kelompok moderat, sementara Rusia menggunakan pasukan militer Suriah, Iran dan Hizbullah (theguardian, 2015).
Kecaman terhadap Rusia juga dilakukan oleh ulama-ulama di Arab Saudi, mereka menyerukan melalui media online kepada seluruh Arab dan negara-negara muslim untuk ikut mendukung secara moral, politik dan materi dalam jihad melawan pemerintahan Suriah, dan koalisi Iran dan Suriah. Jihad harus dilakukan karena ketika kaum muslimin di Suriah kalah, maka akan mengubah negeri Suriah yang sunni menjadi bentuk yang lain. (reuters,2015)
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergi Lavrov, mengecam balik sikap dari koalisi Amerika di Suriah yang dianggap tidak ingin bersikap kooperatif terhadap Rusia di Suriah. Padahal Rusia berkeinginan untuk membangun sebuah koordinasi dengan Amerika dan negara-negara Arab dan teluk untuk menghindari gesekan antara dua belah pihak dan agar bisa bekerjasama (AraNews, 2015). Bahkan putin mengolok-olok koalisi AS karena gagak membendung serangan kelompok oposisi di Suriah.
Analisis Para Analis
Berbagai analisis diungkapkan oleh para ilmuwan politik Barat dan Rusia mengenai motif keterlibatan Rusia di Suriah. Diantaranya, Andrey Sushentsov (2015), associate professor at Moscow State Institute of International Affairs, menyatakan bahwa alasan keterlibatan Rusia di Suriah untuk menghalau ISIS adalah untuk mencegah bahaya jangka panjang terhadap keamanan domestik Rusia. Terdapat sekitar 5000 anggota ISIS adalah berkebangsaan Rusia dikhawatirkan dikemudian hari mereka itu akan kembali dan mengancam keamanan Rusia. Sushentsov, secara gamblang, menjelaskan mengenai strategi militer Rusia di Suriah dan keuntungan-keuntungan yang didapatkannya.
Pertama, dengan menggunakan serangan yang terbatas, serangan udara. Serangan tersebut bisa menghancurkan infrastruktur para teroris dan mencegah para teroris tersebut menguasai sebuah tempat-tempat tertentu. Hal tersebut akan melemahkan para teroris tanpa harus memusnahkan mereka. Kedua, tetap menjadi pembela rezim Suriah, dan kepentingan Rusia di Timur Tengah akan tetap terjaga, seperti menjaga proyek ektraksi gas di tataran Israel, Siprus dan Suriah. Rusia juga bisa menempatkan fasilitas militer laut utamanya di laut mediterania. Ketiga, keterlibatan Rusia sebagai show of power, bahwa Rusia sebagai leading middle east power, pemilik kekuatan terdepan di Timur Tengah dengan operasi militer yang efektif serta mempertegas kembali eksistensinya di wilayah tersebut. Terakhir, sebagai promosi militer di wilayah pasar terbesar militer dunia, Timteng. (Russia-Insider, 2015)
Menurut Jeffrey Mankoff (2015) dari Center for Strategic and International Studies, kehadiran Rusia di Suriah sebenarnya adalah akibat dari kegagalan strategi Amerika untuk menciptakan perdamaian dan menghalau ISIS di suriah. Strategi AS adalah mendukung dan mempersenjatai oposisi moderat di darat dan menghancurkan kelompok-kelompok perlawanan melalui udara. Kegagalan Amerika menciptakan ruang bagi Rusia untuk bertindak, jelas untuk kepentingan dan agendanya sendirinya. Steven Pifer (2015) mengatakan AS dan Rusia sebenarnya memiliki kesamaan kepentingan (common interest) yakni mengalahkan ISIS namun, perbedaan mereka adalah masa depan Asad. AS memandang Asad harus dijatuhkan dari kursi kepemimpinannya sementara Rusia bersikap sebaliknya, bahkan serangan Rusia menyasar semua oposisi, kelompok militan dan moderat pro Amerika (carnegie, 2015).
Melihat dari Panggung Belakang
Untuk mengetahui motif dari keributan soal Suriah sebenarnya tidak cukup ketika hanya melihat apa yang terjadi dipanggung depan pertunjukan, melihat gerak dan nyanyian yang dilantunkan oleh Rusia vs Amerika beserta sekutu masing-masing. Panggung belakang ternyata lebih menarik untuk disimak untuk menarik kesimpulan yang lebih jitu.
Sebelum intervensi Rusia ke Suriah, ketika ditelusuri, ada banyak fakta yang terbuka lebar yang mengungkapkan hal berbeda dengan kejadian-kejadian yang terjadi saat ini antara AS dan Rusia. Berikut catatannya:
Pertama, Los Angeles Time pada 25 September melaporkan, sebelum serangan 30 September, Intelijen AS telah mengetahui dan telah menyampaikan ke gedung putih bahwa Kremlin akan melakukan serangan militer ke Suriah untuk membantu Asad mempertahankan posisinya dan untuk menahan laju ISIS dan kelompok-kelompok pemberontak yang lain. Pemerintahan Obama juga telah mengetahui bahwa Rusia telah jauh hari mempersiapkan penyerangan dengan mengirim pesawat-pesawat mereka ke Suriah secara rahasia. Juga mengetahui aktifitas mata-mata Rusia dengan menggunakan pesawat drone. Amerika mengetahui semua aktifitas militer Rusia di Suriah. Agar tidak terjadi bentrokan antara pesawat militer AS dan Rusia dilapangan, Sekretaris pertahanan AS, Ashton Carter berbicara dengan Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu, untuk memastikan tidak terjadinya kekhawatiran tersebut (latimes, 2015).
Kedua, tindakan Rusia untuk terlibat di Suriah juga telah mendapatkan ijin oleh Amerika Serikat. 23 September, penasehat senior pemerintah Suriah, Bouthaina Shaaban, dalam sebuah wawancara TV mengungkap hal tersebut. Menurut Shaaban, telah tercipta sebuah kesepakatan tidak tertulis (tacit agreement) antara AS-Rusia untuk sebuah solusi akhir bagi Suriah. Koalisi Barat juga, kata Shaaban, telah merubah pendiriannya terhadap Asad "change in the West's positions". Barat mulai melunak terhadap Asad. Mulai muncul usulan agar Asad akan dilibatkan dalam proses dialog untuk menciptakan perdamaian di Suriah, diantara pendukung ide tersebut adalah Angela Merkel, PM Jerman dan David Cameron, PM Inggris (news-yahoo.com, 2015).
Dalam pertemuan 28 September di sela-sela sidang umum PBB, United Nations General Assembly, 2 hari sebelum intervensi Rusia, Obama telah menyetujui serangan Rusia ke Suriah dengan syarat memerangi ISIS. Serta keberadaan Rusia di Suriah dianggap tidak berbahaya, necessarily destructive. Obama dan Putin juga bersepakat untuk mengadakan koordinasi militer agar tidak terjadi friksi dilapangan antara militer kedua negara (alaraby, 2015).
Jelas dari fakta-fakta yang ditunjukkan memperlihatkan bahwa keberadaan Rusia di Suriah adalah bagian dari sebuah skenario politik besar. Skenario tersebut untuk mempertahankan Suriah sebagai kekuatan yang mendukung kepentingan-kepentingan barat dan Rusia di Timur Tengah, dan menghalangi munculnya kekuatan-kekuatan politik lain (Islam) untuk menjadi kekuatan di Timur Tengah. Meskipun AS dan Rusia berbeda dalam memandang teknis penyelesaian konflik Suriah tapi mereka bersepakat bahwa, masa depan Suriah adalah negara sekuler yang pro terhadap kepentingan mereka.
Asad bukanlah kepentingan utama Rusia, begitupun Amerika, Asad bukanlah musuh utama. Buktinya sejak serangan AS bersama 60 negara koalisinya, Asad tidak menjadi target utama, pesawat-pesawat Amerika tidak menyasar kekuatan militer Asad. Seandainya koalisi menginginkan kejatuhan Asad maka, pesawat sekutu akan menjadikan penghancuran kekuatan militer Asad sebagai bagian dari prioritas, seperti di Libya, Iraq dan Afghanistan yang tidak butuh waktu berbulan untuk melumpuhkan negara-negara tersebut. Amerika memang mendukung oposisi moderat, seperti Free Syrian Army, yang fokus didarat melakukan perlawanan terhadap rezim Asad dan ISIS. Tapi, bantuan yang diberikan ke kelompok tersebut terkesan hanya simbol atau formalitas belaka. Sekitar 682 juta dollar yang dijanjikan oleh AS untuk melatih dan membantu perlengkapan militer kelompok oposisi moderat untuk melawan ISIS, kemudian menjanjikan akan melatih 5.000 pasukan oposisi Suriah, faktanya hanya 50 orang bahkan menyusut menjadi 4 atau 5 orang saja. Akhirnya AS memutuskan untuk menghentikan program bantuan pelatihannya kepada kelompok moderat awal Oktober (news.com, 2015).
Motif utama intervensi Rusia adalah kegagalan koalisi Amerika Serikat, Koalisi Asad, Hizbullah dan Iran dalam membendung gerak laju dari kelompok-kelompok militan Islam yang semakin menguasai sebagian besar wilayah Suriah. Columb Strack, dalam IHS Jane`s Intelligence Review (2015) menyebutkan, Asad untuk saat ini hanya mengontrol tidak lebih dari 18 % atau sekitar 29, 797 km2 antara bulan Januari-Agustus 2015, 82 % dikuasai oleh kelompok oposisi. Sementara angkatan bersenjata Suriah telah berkurang 50% dari yang sebelum perang Suriah berjumlah 300.000 orang (janes, 2015). Obama sendiri telah mengakui kekalahan AS dalam pertempuran di Suriah, “There’s no doubt that it did not work,” pernyataan obama sebagai bentuk kekecewaan mendalam terhadap kegagalan strateginya di Suriah, judul di media online news.com memberitakan hal tersebut, Barack Obama admits failure in Syria as Islamic State runs riot, but denies Vladimir Putin is the stronger man (news.com, 2015).
Perang Suriah untuk Siapa
Saat ini sebagian besar wilayah Suriah dikontrol oleh ISIS dan kelompok-kelompok oposisi yang lain. Ratusan faksi militer yang bertempur di Suriah, namun yang paling banyak disorot adalah ISIS. Komentar-komentar AS dan Rusia di media-media kebanyakan membesar-besarkan ancaman ISIS, padahal bukan hanya ISIS yang seharusnya menjadi ancaman. Keberadaan ISIS di Suriah pun menimbulkan kontroversi ditengah-tengah kelompok-kelompok oposisi, bahkan ISIS cenderung menghambat perjuangan melawan rezim Asad sehingga ada kesimpulan yang muncul bahwa ISIS adalah bagian dari proyek AS di Timur Tengah. Kecurigaan tersebut semakin terbukti saat banyak laporan yang menunjukkan bahwa, terkadang AS & Israel menjatuhkan senjata melalui udara dan yang menikmatinya adalah ISIS (21stcenturywire, 2015).
Berkaitan dengan kiprah ISIS di Suriah, ISIS dianggap tidak serius memerangi pemerintah Suriah, Laporan IHS Jane`s Terrorism and insurgency center (JTIC) (2014) melaporkan, 64% serangan militer ISIS diarahkan kepada kelompok-kelompok bersenjata non pemerintah dan hanya 13% yang menargetkan angkatan militer Suriah. Sebaliknya, serangan Asad kepada para pejuang bersenjata lebih banyak ditujukan kepada kelompok-kelompok non-ISIS. Dari 982 serangan tahun 2014, menurut Laporan JTIC, hanya 6 persen yang menarget ISIS. Hal ini menimbulkan kecurigaan bagi kelompok-kelompok pejuang yang lain yang selama ini berjuang melawan Asad, seperti kelompok, Pasukan Mujahidin (Al-Mujahidin Army) yang melihat sendiri dilapangan, bahwa di garis depan perbatasan wilayah pasukan ISIS dan pemerintah cenderung tenang tanpa kontak senjata, berbeda jika pasukan pemerintah berbatasan dengan pasukan oposisi yang lain, kontak senjata bisa 24 jam (nbcnews, 2015).
Sebelum masuknya ISIS di Suriah dan perjuangan perlawanan terhadap pemerintahan Suriah baru saja dikobarkan. Para pejuang telah memperlihatkan visi besar mereka dalam perjuangan meruntuhkan Asad dengan cita-cita penegakan Khilafah di tanah Syam. Setelah masuknya ISIS, konsentrasi perang para mujahidin menjadi terpecah antara berhadapan dengan ISIS yang haus darah kepada mujahidin non-ISIS, dan pasukan Asad yang didukung oleh AS beserta Rusia. Dengan keberadaan ISIS, yang paling diuntungkan adalah Bashar Asad dan seluruh negara yang mendukungnya. Dengan adanya ISIS, istilah Khilafah menjadi sangat berdarah-darah. Majelis Shura Mujahidin, dalam sebuah pernyataannya menyampaikan bahwa, deklarasi Khilafah oleh ISIS adalah bagian dari kampanye sistematis untuk mendistorsi istilah-istilah syariah, seperti Jihad, Syariah, hudud dan Khilafah (longwarjournal, 2014).
Jika benar bahwa ISIS adalah bagian dari agenda AS, Rusia dan sekutu-sekutunya maka, Amerika telah sukses menerapkan strategi devide et impera antar sesama muslim di Suriah. ISIS dan para mujahidin di adu domba, kemudian Amerika, Rusia, Iran, Hizbullah dan beserta sekutu-sekutunya akan memukul mujahidin dari semua penjuru. Setelah mujahidin kalah, ISIS akan dihancurkan, kemudian Suriah akan tetap menjadi negara sekuler (siapapun pemimpinnya) yang memiliki posisi strategis di Timur Tengah bagi kepentingan AS, Rusia dan negara-negara barat lainnya.
Strategi ini diambil karena AS, Rusia dan sekutu-sekutunya sadar betul bahwa satu-satunya aspirasi perjuangan rakyat melawan Asad di Suriah adalah Islam, Hisham Al-Baba (2012), anggota Hizbut Tahrir Suriah, telah mempertegas hal tersebut, bahwa revolusi yang terjadi di Suriah adalah revolusi Islam, dan seruan-seruan serta bendera yang selalu dikibarkan rakyat Suriah adalah Islam sementara semua pemikiran sekuler bahkan komunis tidak memiliki tempat di Suriah. ISIS diciptakan untuk merubah visi rakyat Suriah tentang Khilafah sehingga mereka menjadi tunduk kepada cita-cita yang ditawarkan barat.
Kesimpulan
Peristiwa terakhir yang memperlihatkan memanasnya konflik Suriah dengan kehadiran Rusia ternyata menjadi bagian dari strategi Barat beserta sekutu-sekutu mereka untuk memenangkan perang melawan kekuatan Islam di Suriah. ISIS menjadi bagian dari strategi perlawanan terhadap perjuangan Islam di Suriah. Perjuangan Islam di Suriah tidak hanya milik para pejuang atau mujahidin tapi juga menjadi aspirasi dominan rakyat Suriah. Deklarasi khilafah ISIS yang prematur semakin hari semakin membuktikan kebenaran dari Majelis Shura Mujahidin Suriah, bahwa Khilafah ISIS bagian dari kampanye negatif terhadap Khilafah. Disaat pasukan mujahidin kalah oleh koalisi Rusia, Iran, Hizbullah, Arab, dan Barat, kemudian visi Khilafah yang diimpikan rakyat Suriah telah berhasil dikotori oleh Khilafah ISIS maka, sekulerisme dan kepentingan Barat-Rusia akan tetap berjaya di sana.
BIBLIOGRAFI:
Aranews. 2015. Russia says U.S.-led coalition not ready for cooperation on anti-ISIS campaign in Syria http://aranews.net/2015/10/russia-says-u-s-led-coalition-not-ready-for-cooperation-on-anti-isis-campaign-in-syria/ diakses 17/10/2015
Alaraby. 2015. US agrees to conditional Russian deployment in Syria Joe Macaron.http://www.alaraby.co.uk/english/News/2015/9/30/US-agrees-to-conditional-Russian-deployment-in-Syria diakses 17/10/2015
Bennett, Brian & W.J. Hennigan. 2015. U.S. intelligence: Russia will launch attacks in Syria. http://www.latimes.com/world/middleeast/la-fg-russia-syria-20150925-story.html diakses 17/10/2015
Choufi, Firas. 2012.Hizb ut-Tahrir in Syria: The Regime Will Cede to the Islamic Caliphate. http://islam.ru/en/content/story/hizb-ut-tahrir-syria-regime-will-cede-islamic-caliphate
Joscelyn, Thomas. 2014. The Islamic State’s rivals in Syria reject announced Caliphate. http://www.longwarjournal.org/archives/2014/07/the_islamic_states_r.php diakses 17/10/2015
McDowall, Angus .2015. Saudi opposition clerics make sectarian call to jihad in Syria http://www.reuters.com/article/2015/10/05/us-mideast-crisis-saudi-clerics-idUSKCN0RZ1IW20151005 diakses 17/10/2015
Multiple Contributors. 2015. Should the U.S. Cooperate with Russia on Syria and ISIS?. https://www.carnegie.org/news/articles/carnegie-forum-us-russia-and-syria/ diakses 17/10/2015
News-Yahoo. 2015.'Tacit' deal between US, Russia to end Syria war: Asad adviser. http://news.yahoo.com/tacit-deal-between-us-russia-end-syria-war-133934478.html diakses 17/10/2015
News. 2015. Barack Obama admits failure in Syria as Islamic State runs riot, but denies Vladimir Putin is the stronger man. http://www.news.com.au/finance/work/barack-obama-admits-failure-in-syria-as-islamic-state-runs-riot-but-denies-vladimir-putin-is-the-stronger-man/story-fn5tas5k-1227565910610 diakses 17/10/2015
Sushentsov, Andrey. 2015. A Great Explanation of Russian Strategy in Syria by a Top Russian Scholar. http://russia-insider.com/en/politics/great-explanation-russian-strategy-syria-top-russian-scholar/ri10404 diakses 17/10/2015
Pengelly, Martin. 2015. John McCain says US is engaged in proxy war with Russia in Syria. http://www.theguardian.com/us-news/2015/oct/04/john-mccain-russia-us-proxy-war-syria-obama-putin diakses 17/10/2015
Strack, Columb. 2015. Syrian government no longer controls 83% of the country. http://www.janes.com/article/53771/syrian-government-no-longer-controls-83-of-the-country diakses 17/10/2015
Walker, Shaun, & Lauren Gambino, Ian Black, Kareem Shaheen. 2015. Obama says Russian strategy in Syria is ‘recipe for disaster’ http://www.theguardian.com/world/2015/oct/02/us-coalition-warns-russia-putin-extremism-syria-isis diakses 17/10/2015
21stcenturywire. 2015.In Plain Sight: Coalition Forces Routinely Air-Drop Military Supplies to ISIS Fighters In Syria http://21stcenturywire.com/2015/02/18/in-plain-sight-coalition-forces-routinely-air-drop-military-supplies-to-isis-fighters-in-syria/ diakses 17/10/2015
Beberapa minggu terakhir isu konflik Suriah kembali memanas. Hal tersebut dipicu oleh pengiriman militer Rusia untuk terlibat langsung dalam pertempuran melawan ISIS dan kelompok bersenjata seperti, Jabhat Nusrah dan kelompok-kelompok perlawanan yang lain. Amerika dan sekutu-sekutunya di Barat maupun timur tengah mengecam sikap dari sikap Rusia yang dianggap gegabah tersebut. Dikhawatirkan, aksi Rusia akan memicu gelombang radikalisasi yang semakin menguat di Suriah, proxy war antara Amerika dan Rusia juga dikhawatirkan akan terjadi. Tulisan ini akan menganalisis perkembangan terakhir mengenai intervensi Rusia di Suriah, kemudian posisi Amerika Serikat beserta sekutu-sekutunya dalam konflik Suriah.
Intervensi Rusia
30 September yang lalu, Rusia memutuskan untuk melakukan penyerangan udara terhadap ISIS dan kelompok-kelompok perlawanan yang lain di wilayah Suriah. Rusia mengirimkan sekitar lebih 30 Jet tempur serta 15 helikopter dan persenjataan-persenjataan canggih lainnya. Penyerangan ini dilakukan setelah, Bashar Asad meminta Rusia untuk ikut membantu pasukan Suriah melawan gempuran dari kelompok perlawanan Suriah. Presiden Vladimir Putin menyatakan bahwa tujuan dari intervensi tersebut adalah untuk menstablikan pemerintahan dan untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk kompromi politik di Suriah. Putin menegaskan jika para teroris internasional sudah menguasai wilayah sekitaran ibukota Suriah maka hanya akan ada sisa sedikit hasrat bagi pemerintahan suriah untuk bernegosiasi, dan sebagian besar perhatiannya terhadap ancaman pengepungan terhadap ibukota negaranya. Dalam berbagai komentar para pejabat Rusia, tujuan utama penyerangan tersebut adalah menyasar ISIL dan kelompok-kelompok perlawanan lain “teroris” di Suriah.
Keputusan Rusia untuk terlibat dalam pertempuran di Suriah mendapatkan kecaman dari berbagai negara khususnya Amerika Serikat dan aliansinya di timur tengah. Rusia dianggap tidak ikut membantu peperangan melawan ISIS namun malah memperlihatkan dukungannya terhadap Asad, menurut Obama, aksi Rusia tersebut bisa menjadi sumber bencana besar di Suriah. Serangan-serangan Rusia ternyata tidak memfokuskan kepada ISIS tapi lebih dominan kepada kelompok-kelompok lain termasuk, yang dibackup oleh CIA-Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Dalam sebuah joint statement antara AS, Perancis, Qatar, Saudi, Turki dan Inggris, disebutkan tuntutan bagi Rusia untuk menghentikan serangannya terhadap oposisi Suriah dan masyarakat sipil dan untuk fokus memerangi ISIS. Serangan yang membabi buta, tanpa melihat afiliasi para oposisi, radikal atau moderat, dianggap oleh Obama tidak akan efektif untuk menyelesaikan masalah di Suriah, bahkan sebaliknya, akan memicu peningkatan eskaliasi ekstrimisme dan radikalisasi. ISIS akan semakin kuat dan usaha-usaha untuk reformasi politik akan semakin rumit (theguardian, 2015). John Mc Cain, Senator Amerika, menyatakan kekhawatirannya akan terjadi perang proksi (proxy war) antara AS dan Rusia di Amerika, Amerika dan sekutu2nya menggunakan kelompok-kelompok moderat, sementara Rusia menggunakan pasukan militer Suriah, Iran dan Hizbullah (theguardian, 2015).
Kecaman terhadap Rusia juga dilakukan oleh ulama-ulama di Arab Saudi, mereka menyerukan melalui media online kepada seluruh Arab dan negara-negara muslim untuk ikut mendukung secara moral, politik dan materi dalam jihad melawan pemerintahan Suriah, dan koalisi Iran dan Suriah. Jihad harus dilakukan karena ketika kaum muslimin di Suriah kalah, maka akan mengubah negeri Suriah yang sunni menjadi bentuk yang lain. (reuters,2015)
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergi Lavrov, mengecam balik sikap dari koalisi Amerika di Suriah yang dianggap tidak ingin bersikap kooperatif terhadap Rusia di Suriah. Padahal Rusia berkeinginan untuk membangun sebuah koordinasi dengan Amerika dan negara-negara Arab dan teluk untuk menghindari gesekan antara dua belah pihak dan agar bisa bekerjasama (AraNews, 2015). Bahkan putin mengolok-olok koalisi AS karena gagak membendung serangan kelompok oposisi di Suriah.
Analisis Para Analis
Berbagai analisis diungkapkan oleh para ilmuwan politik Barat dan Rusia mengenai motif keterlibatan Rusia di Suriah. Diantaranya, Andrey Sushentsov (2015), associate professor at Moscow State Institute of International Affairs, menyatakan bahwa alasan keterlibatan Rusia di Suriah untuk menghalau ISIS adalah untuk mencegah bahaya jangka panjang terhadap keamanan domestik Rusia. Terdapat sekitar 5000 anggota ISIS adalah berkebangsaan Rusia dikhawatirkan dikemudian hari mereka itu akan kembali dan mengancam keamanan Rusia. Sushentsov, secara gamblang, menjelaskan mengenai strategi militer Rusia di Suriah dan keuntungan-keuntungan yang didapatkannya.
Pertama, dengan menggunakan serangan yang terbatas, serangan udara. Serangan tersebut bisa menghancurkan infrastruktur para teroris dan mencegah para teroris tersebut menguasai sebuah tempat-tempat tertentu. Hal tersebut akan melemahkan para teroris tanpa harus memusnahkan mereka. Kedua, tetap menjadi pembela rezim Suriah, dan kepentingan Rusia di Timur Tengah akan tetap terjaga, seperti menjaga proyek ektraksi gas di tataran Israel, Siprus dan Suriah. Rusia juga bisa menempatkan fasilitas militer laut utamanya di laut mediterania. Ketiga, keterlibatan Rusia sebagai show of power, bahwa Rusia sebagai leading middle east power, pemilik kekuatan terdepan di Timur Tengah dengan operasi militer yang efektif serta mempertegas kembali eksistensinya di wilayah tersebut. Terakhir, sebagai promosi militer di wilayah pasar terbesar militer dunia, Timteng. (Russia-Insider, 2015)
Menurut Jeffrey Mankoff (2015) dari Center for Strategic and International Studies, kehadiran Rusia di Suriah sebenarnya adalah akibat dari kegagalan strategi Amerika untuk menciptakan perdamaian dan menghalau ISIS di suriah. Strategi AS adalah mendukung dan mempersenjatai oposisi moderat di darat dan menghancurkan kelompok-kelompok perlawanan melalui udara. Kegagalan Amerika menciptakan ruang bagi Rusia untuk bertindak, jelas untuk kepentingan dan agendanya sendirinya. Steven Pifer (2015) mengatakan AS dan Rusia sebenarnya memiliki kesamaan kepentingan (common interest) yakni mengalahkan ISIS namun, perbedaan mereka adalah masa depan Asad. AS memandang Asad harus dijatuhkan dari kursi kepemimpinannya sementara Rusia bersikap sebaliknya, bahkan serangan Rusia menyasar semua oposisi, kelompok militan dan moderat pro Amerika (carnegie, 2015).
Melihat dari Panggung Belakang
Untuk mengetahui motif dari keributan soal Suriah sebenarnya tidak cukup ketika hanya melihat apa yang terjadi dipanggung depan pertunjukan, melihat gerak dan nyanyian yang dilantunkan oleh Rusia vs Amerika beserta sekutu masing-masing. Panggung belakang ternyata lebih menarik untuk disimak untuk menarik kesimpulan yang lebih jitu.
Sebelum intervensi Rusia ke Suriah, ketika ditelusuri, ada banyak fakta yang terbuka lebar yang mengungkapkan hal berbeda dengan kejadian-kejadian yang terjadi saat ini antara AS dan Rusia. Berikut catatannya:
Pertama, Los Angeles Time pada 25 September melaporkan, sebelum serangan 30 September, Intelijen AS telah mengetahui dan telah menyampaikan ke gedung putih bahwa Kremlin akan melakukan serangan militer ke Suriah untuk membantu Asad mempertahankan posisinya dan untuk menahan laju ISIS dan kelompok-kelompok pemberontak yang lain. Pemerintahan Obama juga telah mengetahui bahwa Rusia telah jauh hari mempersiapkan penyerangan dengan mengirim pesawat-pesawat mereka ke Suriah secara rahasia. Juga mengetahui aktifitas mata-mata Rusia dengan menggunakan pesawat drone. Amerika mengetahui semua aktifitas militer Rusia di Suriah. Agar tidak terjadi bentrokan antara pesawat militer AS dan Rusia dilapangan, Sekretaris pertahanan AS, Ashton Carter berbicara dengan Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu, untuk memastikan tidak terjadinya kekhawatiran tersebut (latimes, 2015).
Kedua, tindakan Rusia untuk terlibat di Suriah juga telah mendapatkan ijin oleh Amerika Serikat. 23 September, penasehat senior pemerintah Suriah, Bouthaina Shaaban, dalam sebuah wawancara TV mengungkap hal tersebut. Menurut Shaaban, telah tercipta sebuah kesepakatan tidak tertulis (tacit agreement) antara AS-Rusia untuk sebuah solusi akhir bagi Suriah. Koalisi Barat juga, kata Shaaban, telah merubah pendiriannya terhadap Asad "change in the West's positions". Barat mulai melunak terhadap Asad. Mulai muncul usulan agar Asad akan dilibatkan dalam proses dialog untuk menciptakan perdamaian di Suriah, diantara pendukung ide tersebut adalah Angela Merkel, PM Jerman dan David Cameron, PM Inggris (news-yahoo.com, 2015).
Dalam pertemuan 28 September di sela-sela sidang umum PBB, United Nations General Assembly, 2 hari sebelum intervensi Rusia, Obama telah menyetujui serangan Rusia ke Suriah dengan syarat memerangi ISIS. Serta keberadaan Rusia di Suriah dianggap tidak berbahaya, necessarily destructive. Obama dan Putin juga bersepakat untuk mengadakan koordinasi militer agar tidak terjadi friksi dilapangan antara militer kedua negara (alaraby, 2015).
Jelas dari fakta-fakta yang ditunjukkan memperlihatkan bahwa keberadaan Rusia di Suriah adalah bagian dari sebuah skenario politik besar. Skenario tersebut untuk mempertahankan Suriah sebagai kekuatan yang mendukung kepentingan-kepentingan barat dan Rusia di Timur Tengah, dan menghalangi munculnya kekuatan-kekuatan politik lain (Islam) untuk menjadi kekuatan di Timur Tengah. Meskipun AS dan Rusia berbeda dalam memandang teknis penyelesaian konflik Suriah tapi mereka bersepakat bahwa, masa depan Suriah adalah negara sekuler yang pro terhadap kepentingan mereka.
Asad bukanlah kepentingan utama Rusia, begitupun Amerika, Asad bukanlah musuh utama. Buktinya sejak serangan AS bersama 60 negara koalisinya, Asad tidak menjadi target utama, pesawat-pesawat Amerika tidak menyasar kekuatan militer Asad. Seandainya koalisi menginginkan kejatuhan Asad maka, pesawat sekutu akan menjadikan penghancuran kekuatan militer Asad sebagai bagian dari prioritas, seperti di Libya, Iraq dan Afghanistan yang tidak butuh waktu berbulan untuk melumpuhkan negara-negara tersebut. Amerika memang mendukung oposisi moderat, seperti Free Syrian Army, yang fokus didarat melakukan perlawanan terhadap rezim Asad dan ISIS. Tapi, bantuan yang diberikan ke kelompok tersebut terkesan hanya simbol atau formalitas belaka. Sekitar 682 juta dollar yang dijanjikan oleh AS untuk melatih dan membantu perlengkapan militer kelompok oposisi moderat untuk melawan ISIS, kemudian menjanjikan akan melatih 5.000 pasukan oposisi Suriah, faktanya hanya 50 orang bahkan menyusut menjadi 4 atau 5 orang saja. Akhirnya AS memutuskan untuk menghentikan program bantuan pelatihannya kepada kelompok moderat awal Oktober (news.com, 2015).
Motif utama intervensi Rusia adalah kegagalan koalisi Amerika Serikat, Koalisi Asad, Hizbullah dan Iran dalam membendung gerak laju dari kelompok-kelompok militan Islam yang semakin menguasai sebagian besar wilayah Suriah. Columb Strack, dalam IHS Jane`s Intelligence Review (2015) menyebutkan, Asad untuk saat ini hanya mengontrol tidak lebih dari 18 % atau sekitar 29, 797 km2 antara bulan Januari-Agustus 2015, 82 % dikuasai oleh kelompok oposisi. Sementara angkatan bersenjata Suriah telah berkurang 50% dari yang sebelum perang Suriah berjumlah 300.000 orang (janes, 2015). Obama sendiri telah mengakui kekalahan AS dalam pertempuran di Suriah, “There’s no doubt that it did not work,” pernyataan obama sebagai bentuk kekecewaan mendalam terhadap kegagalan strateginya di Suriah, judul di media online news.com memberitakan hal tersebut, Barack Obama admits failure in Syria as Islamic State runs riot, but denies Vladimir Putin is the stronger man (news.com, 2015).
Perang Suriah untuk Siapa
Saat ini sebagian besar wilayah Suriah dikontrol oleh ISIS dan kelompok-kelompok oposisi yang lain. Ratusan faksi militer yang bertempur di Suriah, namun yang paling banyak disorot adalah ISIS. Komentar-komentar AS dan Rusia di media-media kebanyakan membesar-besarkan ancaman ISIS, padahal bukan hanya ISIS yang seharusnya menjadi ancaman. Keberadaan ISIS di Suriah pun menimbulkan kontroversi ditengah-tengah kelompok-kelompok oposisi, bahkan ISIS cenderung menghambat perjuangan melawan rezim Asad sehingga ada kesimpulan yang muncul bahwa ISIS adalah bagian dari proyek AS di Timur Tengah. Kecurigaan tersebut semakin terbukti saat banyak laporan yang menunjukkan bahwa, terkadang AS & Israel menjatuhkan senjata melalui udara dan yang menikmatinya adalah ISIS (21stcenturywire, 2015).
Berkaitan dengan kiprah ISIS di Suriah, ISIS dianggap tidak serius memerangi pemerintah Suriah, Laporan IHS Jane`s Terrorism and insurgency center (JTIC) (2014) melaporkan, 64% serangan militer ISIS diarahkan kepada kelompok-kelompok bersenjata non pemerintah dan hanya 13% yang menargetkan angkatan militer Suriah. Sebaliknya, serangan Asad kepada para pejuang bersenjata lebih banyak ditujukan kepada kelompok-kelompok non-ISIS. Dari 982 serangan tahun 2014, menurut Laporan JTIC, hanya 6 persen yang menarget ISIS. Hal ini menimbulkan kecurigaan bagi kelompok-kelompok pejuang yang lain yang selama ini berjuang melawan Asad, seperti kelompok, Pasukan Mujahidin (Al-Mujahidin Army) yang melihat sendiri dilapangan, bahwa di garis depan perbatasan wilayah pasukan ISIS dan pemerintah cenderung tenang tanpa kontak senjata, berbeda jika pasukan pemerintah berbatasan dengan pasukan oposisi yang lain, kontak senjata bisa 24 jam (nbcnews, 2015).
Sebelum masuknya ISIS di Suriah dan perjuangan perlawanan terhadap pemerintahan Suriah baru saja dikobarkan. Para pejuang telah memperlihatkan visi besar mereka dalam perjuangan meruntuhkan Asad dengan cita-cita penegakan Khilafah di tanah Syam. Setelah masuknya ISIS, konsentrasi perang para mujahidin menjadi terpecah antara berhadapan dengan ISIS yang haus darah kepada mujahidin non-ISIS, dan pasukan Asad yang didukung oleh AS beserta Rusia. Dengan keberadaan ISIS, yang paling diuntungkan adalah Bashar Asad dan seluruh negara yang mendukungnya. Dengan adanya ISIS, istilah Khilafah menjadi sangat berdarah-darah. Majelis Shura Mujahidin, dalam sebuah pernyataannya menyampaikan bahwa, deklarasi Khilafah oleh ISIS adalah bagian dari kampanye sistematis untuk mendistorsi istilah-istilah syariah, seperti Jihad, Syariah, hudud dan Khilafah (longwarjournal, 2014).
Jika benar bahwa ISIS adalah bagian dari agenda AS, Rusia dan sekutu-sekutunya maka, Amerika telah sukses menerapkan strategi devide et impera antar sesama muslim di Suriah. ISIS dan para mujahidin di adu domba, kemudian Amerika, Rusia, Iran, Hizbullah dan beserta sekutu-sekutunya akan memukul mujahidin dari semua penjuru. Setelah mujahidin kalah, ISIS akan dihancurkan, kemudian Suriah akan tetap menjadi negara sekuler (siapapun pemimpinnya) yang memiliki posisi strategis di Timur Tengah bagi kepentingan AS, Rusia dan negara-negara barat lainnya.
Strategi ini diambil karena AS, Rusia dan sekutu-sekutunya sadar betul bahwa satu-satunya aspirasi perjuangan rakyat melawan Asad di Suriah adalah Islam, Hisham Al-Baba (2012), anggota Hizbut Tahrir Suriah, telah mempertegas hal tersebut, bahwa revolusi yang terjadi di Suriah adalah revolusi Islam, dan seruan-seruan serta bendera yang selalu dikibarkan rakyat Suriah adalah Islam sementara semua pemikiran sekuler bahkan komunis tidak memiliki tempat di Suriah. ISIS diciptakan untuk merubah visi rakyat Suriah tentang Khilafah sehingga mereka menjadi tunduk kepada cita-cita yang ditawarkan barat.
Kesimpulan
Peristiwa terakhir yang memperlihatkan memanasnya konflik Suriah dengan kehadiran Rusia ternyata menjadi bagian dari strategi Barat beserta sekutu-sekutu mereka untuk memenangkan perang melawan kekuatan Islam di Suriah. ISIS menjadi bagian dari strategi perlawanan terhadap perjuangan Islam di Suriah. Perjuangan Islam di Suriah tidak hanya milik para pejuang atau mujahidin tapi juga menjadi aspirasi dominan rakyat Suriah. Deklarasi khilafah ISIS yang prematur semakin hari semakin membuktikan kebenaran dari Majelis Shura Mujahidin Suriah, bahwa Khilafah ISIS bagian dari kampanye negatif terhadap Khilafah. Disaat pasukan mujahidin kalah oleh koalisi Rusia, Iran, Hizbullah, Arab, dan Barat, kemudian visi Khilafah yang diimpikan rakyat Suriah telah berhasil dikotori oleh Khilafah ISIS maka, sekulerisme dan kepentingan Barat-Rusia akan tetap berjaya di sana.
BIBLIOGRAFI:
Aranews. 2015. Russia says U.S.-led coalition not ready for cooperation on anti-ISIS campaign in Syria http://aranews.net/2015/10/russia-says-u-s-led-coalition-not-ready-for-cooperation-on-anti-isis-campaign-in-syria/ diakses 17/10/2015
Alaraby. 2015. US agrees to conditional Russian deployment in Syria Joe Macaron.http://www.alaraby.co.uk/english/News/2015/9/30/US-agrees-to-conditional-Russian-deployment-in-Syria diakses 17/10/2015
Bennett, Brian & W.J. Hennigan. 2015. U.S. intelligence: Russia will launch attacks in Syria. http://www.latimes.com/world/middleeast/la-fg-russia-syria-20150925-story.html diakses 17/10/2015
Choufi, Firas. 2012.Hizb ut-Tahrir in Syria: The Regime Will Cede to the Islamic Caliphate. http://islam.ru/en/content/story/hizb-ut-tahrir-syria-regime-will-cede-islamic-caliphate
Joscelyn, Thomas. 2014. The Islamic State’s rivals in Syria reject announced Caliphate. http://www.longwarjournal.org/archives/2014/07/the_islamic_states_r.php diakses 17/10/2015
McDowall, Angus .2015. Saudi opposition clerics make sectarian call to jihad in Syria http://www.reuters.com/article/2015/10/05/us-mideast-crisis-saudi-clerics-idUSKCN0RZ1IW20151005 diakses 17/10/2015
Multiple Contributors. 2015. Should the U.S. Cooperate with Russia on Syria and ISIS?. https://www.carnegie.org/news/articles/carnegie-forum-us-russia-and-syria/ diakses 17/10/2015
News-Yahoo. 2015.'Tacit' deal between US, Russia to end Syria war: Asad adviser. http://news.yahoo.com/tacit-deal-between-us-russia-end-syria-war-133934478.html diakses 17/10/2015
News. 2015. Barack Obama admits failure in Syria as Islamic State runs riot, but denies Vladimir Putin is the stronger man. http://www.news.com.au/finance/work/barack-obama-admits-failure-in-syria-as-islamic-state-runs-riot-but-denies-vladimir-putin-is-the-stronger-man/story-fn5tas5k-1227565910610 diakses 17/10/2015
Sushentsov, Andrey. 2015. A Great Explanation of Russian Strategy in Syria by a Top Russian Scholar. http://russia-insider.com/en/politics/great-explanation-russian-strategy-syria-top-russian-scholar/ri10404 diakses 17/10/2015
Pengelly, Martin. 2015. John McCain says US is engaged in proxy war with Russia in Syria. http://www.theguardian.com/us-news/2015/oct/04/john-mccain-russia-us-proxy-war-syria-obama-putin diakses 17/10/2015
Strack, Columb. 2015. Syrian government no longer controls 83% of the country. http://www.janes.com/article/53771/syrian-government-no-longer-controls-83-of-the-country diakses 17/10/2015
Walker, Shaun, & Lauren Gambino, Ian Black, Kareem Shaheen. 2015. Obama says Russian strategy in Syria is ‘recipe for disaster’ http://www.theguardian.com/world/2015/oct/02/us-coalition-warns-russia-putin-extremism-syria-isis diakses 17/10/2015
21stcenturywire. 2015.In Plain Sight: Coalition Forces Routinely Air-Drop Military Supplies to ISIS Fighters In Syria http://21stcenturywire.com/2015/02/18/in-plain-sight-coalition-forces-routinely-air-drop-military-supplies-to-isis-fighters-in-syria/ diakses 17/10/2015