ANALISIS MENGENAI KONFLIK TERKINI SURIAH


Beberapa minggu terakhir isu konflik Suriah kembali memanas. Hal tersebut dipicu oleh pengiriman militer Rusia untuk terlibat langsung dalam pertempuran melawan ISIS dan kelompok bersenjata seperti, Jabhat Nusrah dan kelompok-kelompok perlawanan yang lain. Amerika dan sekutu-sekutunya di Barat maupun timur tengah mengecam sikap dari sikap Rusia yang dianggap gegabah tersebut. Dikhawatirkan, aksi Rusia akan memicu gelombang radikalisasi yang semakin menguat di Suriah, proxy war antara Amerika dan Rusia juga dikhawatirkan akan terjadi. Tulisan ini akan menganalisis perkembangan terakhir mengenai intervensi Rusia di Suriah, kemudian posisi Amerika Serikat beserta sekutu-sekutunya dalam konflik Suriah. 

Intervensi Rusia

30 September yang lalu, Rusia memutuskan untuk melakukan penyerangan udara terhadap ISIS dan kelompok-kelompok perlawanan yang lain di wilayah Suriah. Rusia mengirimkan sekitar lebih 30 Jet tempur serta 15 helikopter dan persenjataan-persenjataan canggih lainnya.  Penyerangan ini dilakukan setelah, Bashar Asad meminta Rusia untuk ikut membantu pasukan Suriah melawan gempuran dari kelompok perlawanan Suriah. Presiden Vladimir Putin menyatakan bahwa tujuan dari intervensi tersebut adalah untuk menstablikan pemerintahan dan untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk kompromi politik di Suriah. Putin menegaskan jika para teroris internasional sudah menguasai wilayah sekitaran ibukota Suriah maka hanya akan ada sisa sedikit hasrat bagi pemerintahan suriah untuk bernegosiasi, dan sebagian besar perhatiannya terhadap ancaman pengepungan terhadap ibukota negaranya. Dalam berbagai komentar para pejabat Rusia, tujuan utama penyerangan tersebut adalah menyasar ISIL dan kelompok-kelompok perlawanan lain “teroris” di Suriah. 

Keputusan Rusia untuk terlibat dalam pertempuran di Suriah mendapatkan kecaman dari berbagai negara khususnya Amerika Serikat dan aliansinya di timur tengah. Rusia dianggap tidak ikut membantu peperangan melawan ISIS namun malah memperlihatkan dukungannya terhadap Asad, menurut Obama, aksi Rusia tersebut bisa menjadi sumber bencana besar di Suriah. Serangan-serangan Rusia ternyata tidak memfokuskan kepada ISIS tapi lebih dominan kepada kelompok-kelompok lain termasuk, yang dibackup oleh CIA-Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.

Dalam sebuah joint statement antara AS, Perancis, Qatar, Saudi, Turki dan Inggris, disebutkan tuntutan bagi Rusia untuk menghentikan serangannya terhadap oposisi Suriah dan masyarakat sipil dan untuk fokus memerangi ISIS. Serangan yang membabi buta, tanpa melihat afiliasi para oposisi, radikal atau moderat, dianggap oleh Obama tidak akan efektif untuk menyelesaikan masalah di Suriah, bahkan sebaliknya, akan memicu peningkatan eskaliasi ekstrimisme dan radikalisasi. ISIS akan semakin kuat dan usaha-usaha untuk reformasi politik akan semakin rumit (theguardian, 2015).  John Mc Cain, Senator Amerika, menyatakan kekhawatirannya akan terjadi perang proksi (proxy war) antara AS dan Rusia di Amerika, Amerika dan sekutu2nya menggunakan kelompok-kelompok moderat, sementara Rusia menggunakan pasukan militer Suriah, Iran dan Hizbullah (theguardian, 2015). 

Kecaman terhadap Rusia juga dilakukan oleh ulama-ulama di Arab Saudi, mereka menyerukan melalui media online kepada seluruh Arab dan negara-negara muslim untuk ikut mendukung secara moral, politik dan materi dalam jihad melawan pemerintahan Suriah, dan koalisi Iran dan Suriah.  Jihad harus dilakukan karena ketika kaum muslimin di Suriah kalah, maka akan mengubah negeri Suriah yang sunni menjadi bentuk yang lain. (reuters,2015)

Menteri Luar Negeri Rusia, Sergi Lavrov, mengecam balik sikap dari koalisi Amerika di Suriah yang dianggap tidak ingin bersikap kooperatif terhadap Rusia di Suriah. Padahal Rusia berkeinginan untuk membangun sebuah koordinasi dengan Amerika dan negara-negara Arab dan teluk untuk menghindari gesekan antara dua belah pihak dan agar bisa bekerjasama (AraNews, 2015). Bahkan putin mengolok-olok koalisi AS karena gagak membendung serangan kelompok oposisi di Suriah. 

Analisis Para Analis 

Berbagai analisis diungkapkan oleh para ilmuwan politik Barat dan Rusia mengenai motif keterlibatan Rusia di Suriah. Diantaranya, Andrey Sushentsov (2015), associate professor at Moscow State Institute of International Affairs, menyatakan bahwa alasan keterlibatan Rusia di Suriah untuk menghalau ISIS adalah untuk mencegah bahaya jangka panjang terhadap keamanan domestik Rusia. Terdapat sekitar 5000 anggota ISIS adalah berkebangsaan Rusia dikhawatirkan dikemudian hari mereka itu akan kembali dan mengancam keamanan Rusia. Sushentsov, secara gamblang, menjelaskan mengenai strategi militer Rusia di Suriah dan keuntungan-keuntungan yang didapatkannya. 

Pertama, dengan menggunakan serangan yang terbatas, serangan udara. Serangan tersebut bisa menghancurkan infrastruktur para teroris dan mencegah para teroris tersebut menguasai sebuah tempat-tempat tertentu. Hal tersebut akan melemahkan para teroris tanpa harus memusnahkan mereka. Kedua, tetap menjadi pembela rezim Suriah, dan kepentingan Rusia di Timur Tengah akan tetap terjaga, seperti menjaga proyek ektraksi gas di tataran Israel, Siprus dan Suriah. Rusia juga bisa menempatkan fasilitas militer laut utamanya di laut mediterania. Ketiga, keterlibatan Rusia sebagai show of power, bahwa Rusia sebagai leading middle east power, pemilik kekuatan terdepan di Timur Tengah dengan operasi militer yang efektif serta mempertegas kembali eksistensinya di wilayah tersebut. Terakhir, sebagai promosi militer di wilayah pasar terbesar militer dunia, Timteng. (Russia-Insider, 2015) 

Menurut Jeffrey Mankoff (2015) dari Center for Strategic and International Studies, kehadiran Rusia di Suriah sebenarnya adalah akibat dari kegagalan strategi Amerika untuk menciptakan perdamaian dan menghalau ISIS di suriah. Strategi AS adalah mendukung dan mempersenjatai oposisi moderat di darat dan menghancurkan kelompok-kelompok perlawanan melalui udara. Kegagalan Amerika menciptakan ruang bagi Rusia untuk bertindak, jelas untuk kepentingan dan agendanya sendirinya. Steven Pifer (2015) mengatakan AS dan Rusia sebenarnya memiliki kesamaan kepentingan (common interest) yakni mengalahkan ISIS namun, perbedaan mereka adalah masa depan Asad. AS memandang Asad harus dijatuhkan dari kursi kepemimpinannya sementara Rusia bersikap sebaliknya, bahkan serangan Rusia menyasar semua oposisi, kelompok militan dan moderat pro Amerika (carnegie, 2015). 

Melihat dari Panggung Belakang

Untuk mengetahui motif dari keributan soal Suriah sebenarnya tidak cukup ketika hanya melihat apa yang terjadi dipanggung depan pertunjukan, melihat gerak dan nyanyian yang dilantunkan oleh Rusia vs Amerika beserta sekutu masing-masing. Panggung belakang ternyata lebih menarik untuk disimak untuk menarik kesimpulan yang lebih jitu. 

Sebelum intervensi Rusia ke Suriah, ketika ditelusuri, ada banyak fakta yang terbuka lebar yang mengungkapkan hal berbeda dengan kejadian-kejadian yang terjadi saat ini antara AS dan Rusia. Berikut catatannya: 

Pertama, Los Angeles Time pada 25 September melaporkan,  sebelum serangan 30 September, Intelijen AS telah mengetahui dan telah menyampaikan ke gedung putih bahwa Kremlin akan melakukan serangan militer ke Suriah untuk membantu Asad mempertahankan posisinya dan untuk menahan laju ISIS dan kelompok-kelompok pemberontak yang lain.  Pemerintahan Obama juga telah mengetahui bahwa Rusia telah jauh hari mempersiapkan penyerangan dengan mengirim pesawat-pesawat mereka ke Suriah secara rahasia. Juga mengetahui aktifitas mata-mata Rusia dengan menggunakan pesawat drone. Amerika mengetahui semua aktifitas militer Rusia di Suriah. Agar tidak terjadi bentrokan antara pesawat militer AS dan Rusia dilapangan, Sekretaris pertahanan AS, Ashton Carter berbicara dengan Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu, untuk memastikan tidak terjadinya kekhawatiran tersebut (latimes, 2015). 

Kedua, tindakan Rusia untuk terlibat di Suriah juga telah mendapatkan ijin oleh Amerika Serikat. 23 September, penasehat senior pemerintah Suriah, Bouthaina Shaaban, dalam sebuah wawancara TV mengungkap hal tersebut. Menurut Shaaban, telah tercipta sebuah kesepakatan tidak tertulis (tacit agreement) antara AS-Rusia untuk sebuah solusi akhir bagi Suriah. Koalisi Barat juga, kata Shaaban, telah merubah pendiriannya terhadap Asad "change in the West's positions". Barat mulai melunak terhadap Asad. Mulai muncul usulan agar Asad akan dilibatkan dalam proses dialog untuk menciptakan perdamaian di Suriah, diantara pendukung ide tersebut adalah Angela Merkel, PM Jerman dan David Cameron, PM Inggris (news-yahoo.com, 2015). 

Dalam pertemuan 28 September di sela-sela sidang umum PBB, United Nations General Assembly, 2 hari sebelum intervensi Rusia, Obama telah menyetujui serangan Rusia ke Suriah dengan syarat memerangi ISIS. Serta keberadaan Rusia di Suriah dianggap tidak berbahaya, necessarily destructive. Obama dan Putin juga bersepakat untuk mengadakan koordinasi militer agar tidak terjadi friksi dilapangan antara militer kedua negara (alaraby, 2015). 

Jelas dari fakta-fakta yang ditunjukkan memperlihatkan bahwa keberadaan Rusia di Suriah adalah bagian dari sebuah skenario politik besar. Skenario tersebut untuk mempertahankan Suriah sebagai kekuatan yang mendukung kepentingan-kepentingan barat dan Rusia di Timur Tengah, dan menghalangi munculnya kekuatan-kekuatan politik lain (Islam) untuk menjadi kekuatan di Timur Tengah. Meskipun AS dan Rusia berbeda dalam memandang teknis penyelesaian konflik Suriah tapi mereka bersepakat bahwa, masa depan Suriah adalah negara sekuler yang pro terhadap kepentingan mereka. 

Asad bukanlah kepentingan utama Rusia, begitupun Amerika, Asad bukanlah musuh utama. Buktinya sejak serangan AS bersama 60 negara koalisinya, Asad tidak menjadi target utama, pesawat-pesawat Amerika tidak menyasar kekuatan militer Asad. Seandainya koalisi menginginkan kejatuhan Asad  maka, pesawat sekutu akan menjadikan penghancuran kekuatan militer Asad sebagai bagian dari prioritas, seperti di Libya, Iraq dan Afghanistan yang tidak butuh waktu berbulan untuk melumpuhkan negara-negara tersebut. Amerika memang mendukung oposisi moderat, seperti Free  Syrian Army, yang fokus didarat melakukan perlawanan terhadap rezim Asad dan ISIS. Tapi, bantuan yang diberikan ke kelompok tersebut terkesan hanya simbol atau formalitas belaka. Sekitar 682 juta dollar yang dijanjikan oleh AS untuk melatih dan membantu perlengkapan militer kelompok oposisi moderat untuk melawan ISIS, kemudian menjanjikan akan melatih 5.000 pasukan oposisi Suriah, faktanya hanya 50 orang bahkan menyusut menjadi 4 atau 5 orang saja. Akhirnya AS memutuskan untuk menghentikan program bantuan pelatihannya kepada kelompok moderat awal Oktober (news.com, 2015).  

Motif utama intervensi Rusia adalah kegagalan koalisi Amerika Serikat, Koalisi Asad, Hizbullah dan Iran dalam membendung gerak laju dari kelompok-kelompok militan Islam yang semakin menguasai sebagian besar wilayah Suriah. Columb Strack, dalam IHS Jane`s Intelligence Review (2015) menyebutkan, Asad untuk saat ini hanya mengontrol tidak lebih dari 18 % atau sekitar 29, 797 km2 antara bulan Januari-Agustus 2015, 82 % dikuasai oleh kelompok oposisi. Sementara angkatan bersenjata Suriah telah berkurang 50% dari yang sebelum perang Suriah berjumlah 300.000 orang (janes, 2015).  Obama sendiri telah mengakui kekalahan AS dalam pertempuran di Suriah,  “There’s no doubt that it did not work,” pernyataan obama sebagai bentuk kekecewaan mendalam terhadap kegagalan strateginya di Suriah, judul di media online news.com memberitakan hal tersebut, Barack Obama admits failure in Syria as Islamic State runs riot, but denies Vladimir Putin is the stronger man (news.com, 2015). 

Perang Suriah untuk Siapa

Saat ini sebagian besar wilayah Suriah dikontrol oleh ISIS dan kelompok-kelompok oposisi yang lain. Ratusan faksi militer yang bertempur di Suriah, namun yang paling banyak disorot adalah ISIS. Komentar-komentar AS dan Rusia di media-media kebanyakan membesar-besarkan ancaman ISIS, padahal bukan hanya ISIS yang seharusnya menjadi ancaman. Keberadaan ISIS di Suriah pun menimbulkan kontroversi ditengah-tengah kelompok-kelompok oposisi, bahkan ISIS cenderung menghambat perjuangan melawan rezim Asad sehingga ada kesimpulan yang muncul bahwa ISIS adalah bagian dari proyek AS di Timur Tengah. Kecurigaan tersebut semakin terbukti saat banyak laporan yang menunjukkan bahwa, terkadang AS & Israel menjatuhkan senjata melalui udara dan yang menikmatinya adalah ISIS (21stcenturywire, 2015). 

Berkaitan dengan kiprah ISIS di Suriah, ISIS dianggap tidak serius memerangi pemerintah Suriah,   Laporan IHS Jane`s Terrorism and insurgency center (JTIC) (2014) melaporkan, 64% serangan militer ISIS diarahkan kepada kelompok-kelompok bersenjata non pemerintah dan hanya 13% yang menargetkan angkatan militer Suriah. Sebaliknya, serangan Asad kepada para pejuang bersenjata lebih banyak ditujukan kepada kelompok-kelompok non-ISIS. Dari 982 serangan tahun 2014, menurut Laporan JTIC, hanya 6 persen yang menarget ISIS. Hal ini menimbulkan kecurigaan bagi kelompok-kelompok pejuang yang lain yang selama ini berjuang melawan Asad, seperti kelompok, Pasukan Mujahidin (Al-Mujahidin Army) yang melihat sendiri dilapangan, bahwa di garis depan perbatasan wilayah pasukan ISIS dan pemerintah cenderung tenang tanpa kontak senjata, berbeda jika pasukan pemerintah berbatasan dengan pasukan oposisi yang lain, kontak senjata bisa 24 jam (nbcnews, 2015). 

Sebelum masuknya ISIS di Suriah dan perjuangan perlawanan terhadap pemerintahan Suriah baru saja dikobarkan. Para pejuang telah memperlihatkan visi besar mereka dalam perjuangan meruntuhkan Asad dengan cita-cita penegakan Khilafah di tanah Syam. Setelah masuknya ISIS, konsentrasi perang para mujahidin menjadi terpecah antara berhadapan dengan ISIS yang haus darah kepada mujahidin non-ISIS, dan pasukan Asad yang didukung oleh AS beserta Rusia. Dengan keberadaan ISIS, yang paling diuntungkan adalah Bashar Asad dan seluruh negara yang mendukungnya. Dengan adanya ISIS, istilah Khilafah menjadi sangat berdarah-darah. Majelis Shura Mujahidin, dalam sebuah pernyataannya menyampaikan bahwa, deklarasi Khilafah oleh ISIS adalah bagian dari kampanye sistematis untuk mendistorsi istilah-istilah syariah, seperti Jihad, Syariah, hudud dan Khilafah (longwarjournal, 2014).

Jika benar bahwa ISIS adalah bagian dari agenda AS, Rusia dan sekutu-sekutunya maka, Amerika telah sukses menerapkan strategi devide et impera antar sesama muslim di Suriah. ISIS dan para mujahidin di adu domba, kemudian Amerika, Rusia, Iran, Hizbullah dan beserta sekutu-sekutunya akan memukul mujahidin dari semua penjuru. Setelah mujahidin kalah, ISIS akan dihancurkan, kemudian Suriah akan tetap menjadi negara sekuler (siapapun pemimpinnya) yang memiliki posisi strategis di Timur Tengah bagi kepentingan AS, Rusia dan negara-negara barat lainnya.  

Strategi ini diambil karena AS, Rusia dan sekutu-sekutunya sadar betul bahwa satu-satunya aspirasi perjuangan rakyat melawan Asad di Suriah adalah Islam, Hisham Al-Baba (2012), anggota Hizbut Tahrir Suriah,  telah mempertegas hal tersebut, bahwa revolusi yang terjadi di Suriah adalah revolusi Islam, dan seruan-seruan serta bendera yang selalu dikibarkan rakyat Suriah adalah Islam sementara semua pemikiran sekuler bahkan komunis tidak memiliki tempat di Suriah. ISIS diciptakan untuk merubah visi rakyat Suriah tentang Khilafah sehingga mereka menjadi tunduk kepada cita-cita yang ditawarkan barat. 

Kesimpulan

Peristiwa terakhir yang memperlihatkan memanasnya konflik Suriah dengan kehadiran Rusia ternyata menjadi bagian dari strategi Barat beserta sekutu-sekutu mereka untuk memenangkan perang melawan kekuatan Islam di Suriah. ISIS menjadi bagian dari strategi perlawanan terhadap perjuangan Islam di Suriah. Perjuangan Islam di Suriah tidak hanya milik para pejuang atau mujahidin tapi juga menjadi aspirasi dominan  rakyat Suriah. Deklarasi khilafah ISIS yang prematur semakin hari semakin membuktikan kebenaran dari Majelis Shura Mujahidin Suriah, bahwa Khilafah ISIS bagian dari kampanye negatif terhadap Khilafah. Disaat pasukan mujahidin kalah oleh koalisi Rusia, Iran, Hizbullah, Arab, dan Barat, kemudian visi Khilafah yang diimpikan rakyat Suriah telah berhasil dikotori oleh Khilafah ISIS maka, sekulerisme dan kepentingan Barat-Rusia akan tetap berjaya di sana.

BIBLIOGRAFI:
Aranews. 2015. Russia says U.S.-led coalition not ready for cooperation on anti-ISIS campaign in Syria http://aranews.net/2015/10/russia-says-u-s-led-coalition-not-ready-for-cooperation-on-anti-isis-campaign-in-syria/   diakses 17/10/2015
Alaraby. 2015. US agrees to conditional Russian deployment in Syria Joe Macaron.http://www.alaraby.co.uk/english/News/2015/9/30/US-agrees-to-conditional-Russian-deployment-in-Syria diakses 17/10/2015
Bennett, Brian & W.J. Hennigan. 2015. U.S. intelligence: Russia will launch attacks in Syria. http://www.latimes.com/world/middleeast/la-fg-russia-syria-20150925-story.html diakses 17/10/2015
Choufi, Firas. 2012.Hizb ut-Tahrir in Syria: The Regime Will Cede to the Islamic Caliphate. http://islam.ru/en/content/story/hizb-ut-tahrir-syria-regime-will-cede-islamic-caliphate  
Joscelyn, Thomas. 2014. The Islamic State’s rivals in Syria reject announced Caliphate. http://www.longwarjournal.org/archives/2014/07/the_islamic_states_r.php diakses 17/10/2015
McDowall, Angus .2015. Saudi opposition clerics make sectarian call to jihad in Syria http://www.reuters.com/article/2015/10/05/us-mideast-crisis-saudi-clerics-idUSKCN0RZ1IW20151005 diakses 17/10/2015
Multiple Contributors. 2015. Should the U.S. Cooperate with Russia on Syria and ISIS?. https://www.carnegie.org/news/articles/carnegie-forum-us-russia-and-syria/ diakses 17/10/2015
News-Yahoo. 2015.'Tacit' deal between US, Russia to end Syria war: Asad adviser. http://news.yahoo.com/tacit-deal-between-us-russia-end-syria-war-133934478.html diakses 17/10/2015
News. 2015. Barack Obama admits failure in Syria as Islamic State runs riot, but denies Vladimir Putin is the stronger man. http://www.news.com.au/finance/work/barack-obama-admits-failure-in-syria-as-islamic-state-runs-riot-but-denies-vladimir-putin-is-the-stronger-man/story-fn5tas5k-1227565910610 diakses 17/10/2015
Sushentsov, Andrey. 2015. A Great Explanation of Russian Strategy in Syria by a Top Russian Scholar. http://russia-insider.com/en/politics/great-explanation-russian-strategy-syria-top-russian-scholar/ri10404 diakses 17/10/2015
Pengelly, Martin. 2015. John McCain says US is engaged in proxy war with Russia in Syria. http://www.theguardian.com/us-news/2015/oct/04/john-mccain-russia-us-proxy-war-syria-obama-putin diakses 17/10/2015
Strack, Columb. 2015. Syrian government no longer controls 83% of the country. http://www.janes.com/article/53771/syrian-government-no-longer-controls-83-of-the-country diakses 17/10/2015
Walker, Shaun, & Lauren Gambino, Ian Black, Kareem Shaheen. 2015. Obama says Russian strategy in Syria is ‘recipe for disaster’ http://www.theguardian.com/world/2015/oct/02/us-coalition-warns-russia-putin-extremism-syria-isis diakses 17/10/2015
21stcenturywire. 2015.In Plain Sight: Coalition Forces Routinely Air-Drop Military Supplies to ISIS Fighters In Syria http://21stcenturywire.com/2015/02/18/in-plain-sight-coalition-forces-routinely-air-drop-military-supplies-to-isis-fighters-in-syria/ diakses 17/10/2015

1 komentar:

KRITIK TERHADAP PERSPEKTIF MUSLIM YANG MENOLAK KHILAFAH

Merespon besarnya opini khilafah dan gerak aktif dari gerakan pendukung Khilafah memicu berbagai kalangan kaum muslim untuk mengkaji mengenai legalitas Khilafah sebagai sebuah ajaran Islam dan relevansi penerapan sistem khilafah di era kekinian. Di level internasional terminologi Khilafah dipersepsi sebagai sebuah visi dunia yang mengancam dunia, berbahaya, anti kemanusiaan, diktator dsb.  Setelah peristiwa 9/11 President Amerika, Bush berulang-ulang mengungkapkan hal tersebut mengenai Khilafah.

Senada dengan para politisi anti Khilafah, diantara intelektual-intelektual barat juga banyak menulis dan memperbincangkan soal Khilafah dan gerakan-gerakan pendukung Khilafah. Diantaranya, Ariel Cohen, dari Heritage Foundation (2003), mengungkapkan ancaman yang dimunculkan oleh Hizbut Tahrir melalui pemikiran dan visi besarnya terhadap kepentingan Amerika Serikat. Cohen mengatakan, ”Melalui propaganda Anti Amerika, usaha meruntuhkan rezim yang berkuasa, dan melakukan kaderisasi untuk memperluas jaringan organisasi radikal Islam, Hizb menjadi sebuah ancaman terhadap Amerika di Asia Tengah dan di seluruh dunia islam yang moderat”.

Dalam tulisan  Zeyno Baran, editor, (2004:48) khusus membahas Hizbut Tahrir, dia menuliskan bahaya dari pemikiran Hizbut Tahrir bagi kepentingan Amerika Serikat. Pemikiran idelogis dan teologis dari Hizbut Tahrir dianggap bisa menjadi justifikasi tindakan terorisme. Dan jika Hizbut Tahrir mencapai cita-citanya, yakni mendirikan Khilafah maka hal itu akan menjadi bencana besar kepentingan Amerika Serikat.

Sebenarnya, tidak semua intelektual barat memandang sinis terhadap ide Khilafah dan gerakan yang memperjuangkan khilafah. Beberapa diantaranya memandang berbeda, seperti John Esposito, seorang islamolog yang dikenal apresiatif atau toleran terhadap Islam. Esposito memandang organisasi atau partai politik yang memperjuangkan Islam adalah reaksi dari kekecewaan umat Islam terhadap kegagalan penerapan sekulerisme dan demokrasi di dunia Islam. Gerakan politik Islam, menurutnya, seharusnya tidak boleh dianggap sebagai ancaman tapi harus diberikan ruang dalam perpolitikan negara. Disaat Gerakan politik Islam dilihat sebagai bahaya maka peluang konflik, kekerasan serta otoritarianisme akan terus terjadi (Esposito, 2010).

Kedua cara berbeda pandang diatas menurut Michael E Salla (1997), mewakili dua metodologi yang berbeda dalam mendiskusikan politik Islam yaitu essentialist-orientalist dan contingencies-reductionist. Kelompok essensialis menganggap bahwa Politik Islam adalah ancaman (monolithic threat) terhadap demokrasi, anti barat, dan agresif oleh karenanya gerakan politik Islam harus dibendung. Kelompok ini diwakili oleh tokoh-tokoh antara lain Bernard Lewis, Daniel Pipes, Martin Indyk dan Samuel Huntington. Di sisi yang lain, kelompok contigencies, beranggapan bahwa munculnya gerakan politik Islam adalah bagian dari respon terhadap kondisi politik, sosial dan ekonomi yang terjadi di negeri-negeri muslim sehingga mereka tidak boleh dipersepsi sebagai lawan atau musuh tapi harus diberi ruang dalam politik apalagi Islam secara esensial tidak anti terhadap demokrasi. Kelompok ini diwakili oleh John Esposito, Edward Said  dan James Piscatori.

Kritik E. Salla terhadap kedua cara pandang tersebut diatas adalah meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam memandang gerakan politik Islam, disatu sisi konfrontatif dan disisi lain akomodatif, namun pada dasarnya kedua sudut pandang ini hanya memandang gerakan politik Islam beserta visi politik Islam sebagai sebuah masalah yang dihadapi oleh peradaban barat dan demokrasi. Diskusi mengenai Politik Islam dan Demokrasi hanya dibatasi pada kesesuaian atau ketidaksesuaian antara Islam dan demokrasi. Politik Islam menurutnya harus dipandang sebagai sebuah paradigma yang memiliki keunikan sendiri dan tidak bisa dikompromikan dengan demokrasi. Seharusnya, menurut E. Salla, politik Islam harus dilihat sebagai kritik terhadap demokrasi liberal barat dan bisa jadi politik Islam diadopsi untuk mengisi defisiensi atau kekurangan dari politik Liberal Barat (teori konvergensi) (E. Salla, 1997: 738-740).

Muslim Memandang Politik Islam/Khilafah

Tulisan Michael E. Salla mengenai Politik Islam sangat cocok untuk melihat reaksi umat Islam terhadap maraknya opini tentang perjuangan penegakan syariat Islam di dunia khususya di Indonesia. Sebagian kalangan muslim di Indonesia memiliki persepsi yang sama dengan pemikiran para esensialis-orientalis yang memandang politik Islam dan Khilafah sebagai ancaman. Burhanuddin Muhtadi (2009), misalnya, dalam sebuah tulisannya yang menyoal pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir menyimpulkan bahwa penolakan Hizbut Tahrir terhadap demokrasi, nasionalisme serta cara-cara dakwah revolusioner HT secara jelas mengancam Indonesia.

“Looking at HTI’s grand narrative of the global Islamic caliphate and its refutation of the notion of democracy and nation-state, it is clear that HTI has taken a number of negative steps in the direction of democratic consolidation in the country”.

Kesimpulan Muhtadi terhadap bahaya Khilafah dan gerakan Hizbut Tahrir sayangnya tidak diiringi oleh penjelasan yang logis mengenai bahaya Khilafah itu sendiri ketika diperjuangkan atau diterapkan di Indonesia. Sederhananya, karena Indonesia negara Demokrasi, Pancasila dan nation-state sehingga aspirasi selain itu adalah berbahaya termasuk syariat Islam dan Khilafah. Muhtadi juga dalam mengutip referensi-referensinya banyak mengambil dari tulisan-tulisan penulis barat yang anti terhadap Khilafah dan Hizbut Tahrir, seperti Zeyno Baran, Samuel Huntington dan Ariel Cohen.

Problem yang sama muncul dalam buku Komaruddin Hidayat, editor. (2014) yang berjudul Kontroversi Khilafah: Islam Negara dan Pancasila, isinya selain menolak khilafah, juga berusaha untuk mengalihkan pemahaman mengenai Khilafah sebagai sebuah hal yang tidak esensial dalam Islam dan menjadikan demokrasi sebagai sebuah frame atau cara pandang untuk menilai keabsahan Khilafah. Komaruddin Hidayat Menulis, beberapa alasan kenapa gagasan Khilafah sebagai alternatif muncul ditengah-tengah rakyat Indonesia:

1.       Sebagai implikasi dari kebebasan yang terbuka luas, dan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan akhirnya mendapatkan ruang untuk berteriak dan meluapkan emosi.

2.       Slogan agama dianggap paling menarik untuk menarik massa disaat slogan-slogan rasional sekuler atau praktis dianggap gagal.

3.       Pemahaman umat Islam yang meyakini kesatuan Islam dan Negara.

4.       Sejarah dan Agenda Kekhilafahan adalah agenda arab yang kental dengan semangat kesukuan, persaingan ekonomi dan promisi mazhab.

5.       Konsep Khilafah berkembang dari waktu ke waktu, semakin jauh dari rasul maka semakin hilang semangat keislamannya.

6.       Kegagalan umat Islam di Indonesia dalam membedakan Islamisme dan Arabisme. Khilafah adalah bagian dari Arabisme dan bukan Islamisme.

Problem juga muncul dalam buku Jalan Tengah Demokrasi, Tohir Bawazir (2015) sebagaimana kalangan liberal memandang para pejuang Khilafah, Bawazir menganggap bahwa pejuang Khilafah adalah fundamentalis dan fanatik dalam memahami teks-teks al-Quran dan Sunnah tanpa mau membuka diri terhadap ide-ide baru dari luar. Khilafah dikritik karena tidak realistis, penyatuan kaum muslimin 40 negara sangat berat, masalah manusia pun tidak terjamin dengan tegaknya khilafah. Kewajiban menegakkan khilafah dengan pemimpin tunggal juga sudah dibantah oleh sejarah Islam sendiri yang banyak terpecah belah dengan dinasti-dinasti. Penyatuan negeri kaum muslim juga akan berpotensi menimbulkan konflik karena masing-masing saling berebut kekuasaan, dan siapa yang legitimate menjadi khalifah di era modern ini. Poin-poin diatas menjadi kritik dan pertanyaan-pertanyaan Bawazir terhadap khilafah.

Tulisan Bawazir tersebut diapresiasi oleh Dr. Adian Husaini melalui kata pengantarnya dalam buku itu. Husaini menuliskan berbagai polemik kaum muslimin terhadap Demokrasi dan sebagai penutup dia mengungkapkan, bahwa umat Islam mau tidak mau telah berada di dalam alam demokrasi, yang paling penting saat ini adalah kaum muslimin harus berjuang untuk semakin menjadikan Islam menjadi bagian dari rakyat Indonesia dan menghadapi musuh-musuh Islam.  Umat Islam tidak seharusnya hanya mengutuk dan membiarkan kemusyrikan dan kezaliman merajalela karena hanya akan menjadikan musuh-musuh Islam akan semakin berkuasa di Indonesia (Bawazir, 2015: xxii).

Kritik yang paling kejam terhadap penolakan gerakan Islam (Hizbut Tahrir) terhadap Demokrasi ditulis oleh Ainur Rofiq Al-Amin (Al-Amin,tt), pemahaman Hizbut Tahrir disebut sebagai kaku atau rijid dalam memahami demokrasi. Demokrasi menurutnya, bukanlah paham yang monolitik atau tunggal tapi berkembang sesuai zaman, Hizbut Tahrir gagal dalam memahami hal tersebut.

Tulisan Al-Amin juga sebenarnya gagal karena setelah panjang lebar, sekitar 80% menjelaskan alasan secara faktual Hizbut Tahrir dalam menolak demokrasi dari semua aspek, kemudian menjelaskan secara normatif kenapa HT menolak demokrasi. Namun, Al-Amin tidak mendiskusikan ide-ide Hizb tersebut[2]. Hanya tiba-tiba mengambil kesimpulan bahwa HT rijid dan kaku dan realitas demokrasi dinamis. Logika Al-Amin ini dalam bukunya sendiri Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di Indonesia (2012), disebut sebagai Logical Jumping, Logika yang melompat. Penyakit yang sama yang menimpa para intelektual dan aktifis anti Khilafah. Mereka yang mengkompromikan antara demokrasi dan Islam serta menolak khilafah terjebak dalam metode berpikir contigencies atau reduksionis.

Pemikir Muslim tapi Krisis Metodologi

Problem yang muncul dalam cara pandang muslim yang menolak khilafah dan bagi yang mengkompromikan Islam dan Demokrasi, adalah sangat jelas sekali menjadikan demokrasi sebagai framework untuk menganalisis relevansi dan legalitas penerapan khilafah di era kekinian. Akhirnya, semua kritik dengan argumentasi historis, normative (dalil-dalil) ataupun faktual pada intinya hanyalah untuk memastikan bahwa demokrasi lebih baik daripada Khilafah atau Islam tidak bertentangan dengan demokrasi. Penyakit yang sama yang diderita kalangan barat yang esensialis atau kontingensis.

Metodologi berpikir seperti diatas telah dikritik oleh Syekh Taqiuddin An-Nabhani, dalam kitab Pembentukan Partai Politik, (2008) bahwa cara pandang menjadikan realitas sebagai instrumen untuk menyelesaikan persoalan dan Islam hanya dijadikan sebagai legitimasi atau justifikasi maka, pasti usaha untuk membangkitkan umat Islam akan selalu gagal.

Yang seharusnya menjadi metode berpikir umat Islam, an-Nabhani menjelaskan,  adalah disaat kaum muslim beriman kepada Allah, Rasulullah Muhammad SAW dan Al-Quran maka konsekuensinya adalah menjadikan Islam sebagai Qiyadah Fiqriyah (kepemimpinan Berfikir) dan Qaidah Fiqriyah (Kaidah Berfikir). Setiap persoalan harus diselesaikan dengan solusi-solusi yang lahir dari sumber-sumber ajaran Islam, termasuk persoalan politik, ekonomi, sosial pendidikan dan persoalan-persoalan yang lain. Islam bukan hanya sebagai sebuah ritual semata tapi juga ideologi atau pandangan hidup yang akan menyelesaikan persoalan umat manusia (an-Nabhani, 2001b).

Dalam politik atau bernegara, Ideologi dipandang sebagai sebuah hal yang paling menentukan gerak dan aktifitas sebuah negara, Lyman Tower Sargent (2009: 2) menyebutkan:

An ideology is a system of values and beliefs regarding the various institutions and processes of society that is accepted as fact or truth by a group of people. An ideology provides the believer with a picture of the world both as it is and as it should be, and, in doing so, it organizes the tremendous complexity of the world into something fairly simple and understandable”.

sebuah ideologi adalah sebuah sistem nilai dan keyakinan yang berkaitan dengan berbagai institusi dan proses dalam masyarakat yang diterima sebagai sebuah  fakta atau kebenaran bagi sekelompok orang. Sebuah ideologi memberikan bagi para pengikutnya sebuah gambaran tentang dunia sebagaimana adanya, dan yang seharusnya.  Untuk mencapai hal tersebut, ideologi membantu mengolah dunia yang sangat kompleks menjadi sesuatu yang sederhana dan bisa dipahami.

Islam merupakan sebuah ideologi, wordview, paradigma, yang memiliki pandangan khas mengenai dunia dan telah memberikan aturan main mengenai bagaimana dunia seharusnya dijalankan. Disaat aturan tersebut dijalankan maka mustahil akan dicampur adukkan dengan ideologi-ideologi yang lain karena masing-masing memiliki prinsip atau keyakinan yang berbeda mengenai cara pandang melihat dunia.

Poin ini yang gagal dipahami oleh sebagian pemikir diantara kaum muslimin. Mereka tidak bisa memahami realitas politik dan negara secara utuh khususnya kedudukan sebuah ideologi dalam sebuah negara. Sehingga tidak bisa memahami problem politik di negeri muslim dan memahami solusi yang tepat terhadap persoalan tersebut.

Secara Normatif dan Historis, Khilafah seharusnya tidak diperdebatkan lagi legalitasnya diinternal kaum muslimin. Para ulama Sunni, Syiah, Muktazilah, Murjiah, Khawarij telah bersepakat bahwa Khilafah atau Imamah adalah fardhu kifayah bagi kaum muslimin. Khilafah wajib diantara alasannya, karena hanya dengan khilafah seluruh pelaksanaan syariat bisa diaplikasikan, aqidah ummat terjaga dan kaum muslimin bersatu dalam satu kekuasaan serta, dakwah islam bisa terorganisir di level negara baik dalam maupun luar negeri. Contoh bagaimana Islam seharusnya diterapkan telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para khalifahnya (Khulafa Rasyidin).

Bagi kalangan muslim yang meragukan Khilafah dengan menganggap khilafah berbahaya, cukup meminta bukti normatif dan historis dibagian mana ajaran Islam berpotensi membahayakan dan di sejarah mana disaat ajaran Islam diajarkan akan menindas manusia. Ketika dalam sejarah peradaban Islam terdapat kecacatan-kecacatan, seharusnya menjadi peluang bagi kaum muslimin untuk melakukan investigasi terhadap kecacatan tersebut dan memberikan solusi bagaimana seharusnya negara menghindari kecacatan serupa dimasa yang akan datang. Sayangnya kecacatan penerapan Khilafah masa lalu dijadikan dalil oleh sebagian umat Islam untuk menolak khilafah.

Menarik kata-kata Dhiauddin Rais (2001:xii) dalam pengantar bukunya Teori Politik Islam,

“Kesimpulannya, klaim dan pernyataan yang mengatakan terpisahnya agama dari negara, Islam dari tatanan masyarakat, menyingkirkan syariah Islam untuk digantikan undang-undang produk hawa nafsu, pengingkaran keberadaan konsep negara dan khilafah dalam Islam, serta pemalsuan fakta-fakta sejarah Islam, semua itu adalah klaim serta pernyataan dusta dan tertolak. Semua dalil ilmiah membatalkan klaim dan pernyataan itu.................Jika ada orang yang mengatakan bahwa negara Islam adalah negara sipil yang maksudnya adalah negara nonagama atau bukan islami, maka orang itu harus dicurigai kewarasan akalnya dan kelurusan akhlaknya. Atau dia dapat dikatakan sebagai orang yang mengada-ada dan bodoh”.

Kesimpulan

Khilafah sebagai sebuah ajaran dalam Islam masih dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap negara dan ancaman terhadap eksistensi manusia. Ide ini wajar kalau diungkapkan oleh intelektual non muslim barat, yang disayangkan ketika dilontarkan dari pemikir-pemikir umat Islam. Sebagaimana para intelektual barat, sebagian pemikir muslim menjadikan politik Islam atau Khilafah sebagai bagian dari masalah yang terjadi hari ini sehingga harus diberikan solusi supaya masalah tersebut teratasi.  Solusi yang dipakai adalah demokrasi. Wajar ketika muncul banyak tulisan yang mengeritik Khilafah baik dari kalangan muslim “liberal”, “moderat” atau “tradisional” ujungnya-ujungnya hanya meneguhkan posisi demokrasi ditengah-tengah kaum muslim dengan menggunakan berbagai dalil. Padahal demokrasi jelas-jelas bertentangan dengan Aqidah Islam. Dan Khilafah telah jelas kewajibannya seterang sinar matahari.

Referensi:

Al-Amin, Ainur Rofiq. Demokrasi Perspektif HTI Versus Religious Mardom Salari. http://eprints.uinsby.ac.id/131/1/Executive%20Summary%20Ainur%20Rofik.pdf. Diakses 07 Oktober 2015

An-Nabhani, Taqiuddin. 2008. Pembentukan Partai Politik. Jakarta: HTI Press

An-Nabhani, Taqiuddin. 2007. Peraturan hidup dalam Islam. Jakarta:  HTI Press

Baran, Zeyno, edt. 2004. Hizb ut-Tahrir Islam’s Political Insurgency. Washington: The Nixon Center

Bawazir, Tohir. 2015. Jalan Tengah Demokrasi: Antara Fundamentalisme dan Sekulerisme. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar

Cohen, Ariel. 2003. Hizb ut-Tahrir: An Emerging Threat to U.S. Interests in Central Asia. http://www.heritage.org/research/reports/2003/05/hizb-ut-tahrir-an-emerging-threat-to-us-interests-in-central-asia, accessed 26/08/2015

E. Salla, Michael. 1997. Political Islam and the West: A New Cold War or Convergence?. Third World Quarterly, Vol. 18, No. 4 , pp. 729-742

Hidayat, Komaruddin. edt. 2014. Kontroversi Khilafah: Islam, Negara dan Pancasila. Bandung: Mizan

Hizbut Tahrir. Tt. Hizb ut-Tahrir.

http://www.hizb-ut-tahrir.org/PDF/EN/en_books_pdf/12_Hizb_ut_Tahrir.pdf diakses 28 September 2015

Muhtadi, Burhanuddin. 2009.The Quest for Hizbut Tahrir in Indonesia. Asian Journal of Social Science 37. Pp. 623–645

Rais, Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press

Sargent, Lyman Tower. 2009. Contemporary Political Ideologies: A Comparative Analysis. Fourteenth Edition. Belmont: Wadsworth, Cengage Learning

[1] Disampaikan dalam Halqoh Syahriah Hizbut Tahrir Mahaliah UGM, 11/10/2015

[2] Tidak mendiskusikan penolakan Hizb terhadap substansi demokrasi, sekulerisme, liberalisme dan HAM.

1 komentar:

Menjadi Ilmuwan Hubungan Internasional dengan Akhlak Al-Kariimah


SIASIDI Prajabatan Calon Dosen Tetap Universitas Islam Indonesia 2014

Sebagai seorang yang berprofesi dibidang kajian hubungan internasional tidaklah mudah mendefinisikan bagaimana seharusnya berperilaku yang paling tepat dalam menjalani profesi keilmuwan tersebut dan mendidik para mahasiswa untuk berperilaku sebagaimana yang diinginkan. Sebab, hubungan internasional merupakan salah satu rumpun dalam kajian Ilmu Sosial dan norma telah menjadi bagian yang terpisahkan dalam perdebatan-perdebatan interprespektif antar mazhab pemikiran dalam kajian hubungan internasional. Perspektif-perspektif tersebut lahir dari sebuah basis pemikiran filsafat baik dari segi ontology, epistemology dan methodology. Basis filsafat ini yang membentuk norma-norma yang akan menjadi panduan dalam menentukan perilaku atau sikap dalam berpolitik baik dalam lingkup lokal atau internasional.

Memasukkan terminologi Akhlakul Kariimah sebagai tata perilaku yang berdasarkan atas syariah Islam berarti harus dimulai dari kritik terhadap paradigma atau filsafat yang beraneka ragam dalam kajian hubungan internasional. Oleh sebab itu, tidak ada akan pernah bisa ketemu ketika Akhlakul Kariimah hanya dibatasi oleh ekspresi nilai-nilai Islam tertentu saja tanpa mengikut sertakan secara keseluruhan system berpikir (paradigm) yang membentuk akhlak tersebut. Seperti, seorang muslim yang berakidah Islam, perilakunya jujur, amanah, taat beribadah, bertanggung jawab, baik kepada sesama manusia akan tetapi paradigma berfikir dalam berpolitiknya adalah liberal, atau komunis. Ini adalah ketidak cocokan antara penerapan akhlakul kariimah dalam profesi sebagai seorang akademisi di bidang sosial khususnya di bidang kajian  hubungan internasional.  Atau seorang ulama atau sekumpulan ulama yang menjadi penasehat sebuah negara yang negara tersebut tunduk pada kepentingan ideologi negara-negara yang berideologi liberalisme dan kapitalisme.

Dalam kelas pengantar hubungan internasional,  mahasiswa baru universitas Islam Indonesia tahun 2014, saya pernah memperlihatkan kepada mahasiswa satu tokoh politik perempuan kaliber dunia yaitu Condolezza Rice. Sebagai seorang perempuan berkulit hitam Afro-Amerika, dia adalah salah satu perempuan tersukses berkarir dalam dunia politik dan akademisi di Amerika Serikat. Dia adalah professor di Universitas Stanford di bidang ilmu politik. Dia juga Menteri luar negeri AS ke 66, menjadi menteri luar negeri perempuan pertama beretnis Afrika Amerika; menjadi perempuan kedua yang menjabat sebagai Menlu Amerika; dan menjadi perempuan pertama yang menjabat sebagai penasehat keamanan nasional presiden George W. Bush tahun 2001-2005. Dia juga menduduki posisi penting di beberapa perusahaan multionasional.   Seperti Chevron, Transamerica Corporation dan Hewlett-Packard.

Karir yang sangat cemerlang yang diraih oleh Rice tersebut pastinya karena dia memiliki integritas, loyalitas, kecerdasan dan kemampuan untuk berinteraksi dengan baik antar manusia. Orang akan berdecak kagum dengan prestasi Rice. Tapi siapa sangka kalau dia adalah salah satu pendukung invasi Amerika Serikat ke Iraq dan Afghanistan yang menghasilkan banyak korban rakyat sipil; menghancurkan fasilitas publik, membunuh bayi-bayi, wanita dan orang-orang yang tak berdosa. Dan membawa negara tersebut  dalam peperangan yang tak pernah selesai.

Para penganut Islam Liberal yang dianggap sesat oleh para ulama bukan karena perilaku mereka buruk, tidak jujur, tidak amanah, pembohong dsb tapi karena paradigma liberal mereka yang digunakan untuk menafsirkan teks-teks agama sehingga hasil pemikiran mereka banyak mendobrak hal-hal yang sudah mapan dalam Islam[1]. Seperti, bolehnya perkawinan sejenis, ide semua agama sama (pluralisme agama), konsep relativisme kebenaran, sekulerisme penggunaan metode hermeneutika dalam menafsirkan al-Quran, dsb[2].

Termasuk juga para ulama yang masuk dalam jajaran Dewan Ulama Senior Arab Saudi. Mereka adalah para ulama Islam yang memahami Islam secara mendalam dari berbagai aspeknya. Namun, mereka dikritik oleh banyak ulama dan ilmuwan karena dianggap sebagai “boneka” dari penguasa Arab Saudi. Banyak kebijakan-kebijakan kontroversial yang dikeluarkan oleh kerajaan Saudi dan didukung oleh Fatwa Ulama di Dewan Ulama Senior dan Mufti Saudi. Termasuk kerjasama Amerika Serikat dan Saudi dalam perang teluk dan perang melawan terorisme. Professor Madawi Rasheed, mengungkapkan kritiknya terhadap fatwa - fatwa yang sering digunakan oleh para ulama di Saudi yang menurutnya bukan lagi murni sebagai bentuk ketaatan pada tuhan tapi menjadi alat politik penguasa semata untuk semakin meneguhkan kekuasaan raja Saudi[3].

Akhlakul Karimah tidak bisa dipisahkan dari perilaku itu sendiri. Jujur, amanah, bertanggung jawab, tidak bisa dikatakan Akhlakul Kariimah ketika diarahkan untuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT. Menurut Syaikh Taqiuddin An-Nabhani, Syariat Islam tidak menjadikan akhlak sebagai bagian khusus yang terpisah.  Syariat Islam telah mengatur hukum-hukum akhlak berdasarkan suatu anggapan bahwa akhlak adalah bagian dari perintah dan larangan Allah SWT. Akhlak adalah bagian dari rincian-rincian hukum atau melekat dalam hukum-hukum yang ada dalam Islam[4]. Seperti, sifat jujur yang harus ada dalam bertransaksi jual beli, sifat amanah yang harus adalah disaat diberi pekerjaan, sifat loyal ketika menjadi bagian dari sebuah kerjasama atau organisasi, tidak sombong dalam bergaul sesama manusia, dan tegas ketika melihat kemungkaran.

Oleh sebab itu, untuk menjadi sebuah Ilmuwan, akademisi dalam bidang kajian ilmu sosial, politik dan hubungan internasional yang berakhlakul kariimah, mesti mengubah paradigma dasar atau worldview yang membentuk perilaku politik dari isme-isme hasil kreasi intelektualitas manusia menjadi Islam sebagai din yang berasal dari wahyu pencipta. Allah berfirman dalam al-Quran, surah Al-An`am, 116:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Dan jika engkau mengikuti jalan mayoritas orang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah SWT. Yang mereka itu sejatinya hanyalah dugaan semata dan mereka hanyalah membuat kebohongan”[5].

Ideologi dan Perspektif dalam Hubungan Internasional

Dalam kajian hubungan internasional perilaku dan cara pandang para ilmuwan dalam melihat persoalan manusia dan negara tergantung atas nilai-nilai yang dianut oleh mereka. Diantara mereka ada yang menganut paham bahwa, pada dasarnya manusia memiliki karaktek yang brutal, egois dan tak bermoral. Sudut pandang ini berpengaruh pada cara pandangnya dalam menganalisis persoalan yang terjadi dalam hubungan antar negara. bahwa negara harus berfikir untuk menjaga kekuasaannya dari negara-negara lain, perilaku negara adalah terus curiga pada negara-negara lain kelompok ini masuk dalam mazhab Realisme dalam hubungan internasional[6].

Ada juga sudut pandang yang menganggap bahwa, manusia pada dasarnya baik, rasional dan cenderung menyukai perdamaian. Dalam memandang persoalan antar negara, isu-isu yang diperjuangkan adalah demokrasi, liberalisme pasar, Hak Asasi Manusia, dan berdirinya organisasi internasional. Kelompok ini disebut, mazhab liberalisme. Kelompok yang lain, menganggap bahwa sejarah masyrakat itu adalah pertentangan antar kelas. Akan selalu ada kelas yang akan mendominasi kelas yang dalam masyarakat. Dan persaingan itu akan terus menerus terjadi dan akan menghasilkan wajah masyarakat secara berbeda. Isu utama dalam pertentangan tersebut adalah persoalan ekonomi politik. Perubahan struktur ekonomi sebuah masyarakat akan akan mengubah wajah masyarakat tersebut. mazhab ini disebut, Marxisme atau strukturalisme.[7]

Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan dalam sudut pandang berbagai mazhab diatas, namun secara historis mereka berasal dari satu induk sejarah yaitu berasal dari era modernisme. Trend dalam budaya modernisme adalah menjadikan rasio atau ilmu pengetahuan sebagai hal yang utama yang bisa membimbing manusia. Rasio menggantikan otoritas tuhan dalam mengatur umat manusia baik secara hukum maupun moral[8].

Berbagai sudut pandang tersebut diatas berbeda karena dilatari oleh pandangan mendasar mengenai hakikat manusia sehingga lahirlah sebuah kesimpulan bagaimana seharusnya manusia itu bersikap, kemudian juga implikasi terhadap negara dan hubungannya antar negara yang lain.  Ini yang disebut sebagai ideologi.

“An ideology is a system of values and beliefs regarding the various institutions and  processes of society that is accepted as fact or truth by a group of people. An ideology  provides the believer with a picture of the world both as it is and as it should be, and, in  doing so, it organizes the tremendous complexity of the world into something fairly simple  and understandable”[9].
"Ideologi adalah sebuah system nilai dan kepercayaan mengenai institusi-institusi yang berbeda-beda dari masyarakat yang diterima sebagai sebuah kebenaran oleh sekelompok orang. Sebuah ideologi mewadahi pengikutnya gambaran mengenai dunia sebagaimana adanya, dan bagaimana seharusnya dan oleh sebab itu, ideologi mengelola kompleksitas dunia yang sangat luas ini menjadi sangat sederhana dan bisa dipahami".

Islam sebagai sebuah asas dari sebuah peradaban tentunya memiliki perspektif yang berbeda dalam melihat masyarakat, negara dan hubungan antar negara. sebab Islam memiliki sudut pandang yang khas dalam menjelaskan mengenai gambaran dunia dan hakikat manusia. Taiquddin An-Nabhani, menyebut Ideologi sebagai mabda yang maknanya adalah, Aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Mabda, tersebut lahir baik melalui wahyu atau dari kejeniusan seseorang. Mabda` yang benar menurut An-Nabhani adalah yang bersumber dari Allah SWT[10].
Shaykh  Atif  al-Zayn  mengartikan  mabda’  sebagai  aqidah  fikriyyah   (kepercayaan  yang rasional) yang berdasarkan pada akal. Sebab setiap Muslim wajib beriman kepada hakekat wujud Allah,  kenabian Muhammad saw, dan kepada al-Qur’an dengan akal. Iman kepada hal-hal yang ghaib……..itu  berdasarkan  cara  penginderaan  yang  diteguhkan  oleh  akal  sehingga  tidak  dapat  dipungkiri  lagi.  Iman  kepada  Islam  sebagai  Din  yang  diturunkan  melalu  Nabi  Muhammad  saw  untuk  mengatur  hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya dan lainnya[11].
al-Mauwdudi, menyebut ideologi Islam sebagai Islami Nazariyat (worldview) pandangan hidup yang  dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan  manusia  di  dunia.  Sebab  shahadah  adalah  pernyataan  moral  yang  mendorong  manusia  untuk  melaksanakannya dalam kehidupannya secara menyeluruh[12].

Beberapa definisi mengenai ideologi Islam diatas memberikan gambaran bahwa Islam memiliki pemahaman dasar mengenai hakikat manusia yang berasal dari Allah SWT dan harus taat dan patuh dalam melaksanakan perintah Allah SWT.

Dalam sudut pandang Islam, semua aktifitas manusia baik, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan hubungan internasional haruslah mengikuti rel yang telah ditetapkan oleh Islam. Secara epistomologi, Islam mendudukkan akal dalam posisi yang sangat tinggi sebagai alat untuk memahami berbagai persoalan akan tetapi akal tersebut harus tunduk pada hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh wahyu. 

Perspektif Islam dalam Politik dan Hubungan Internasional

Graham E Fuller mendefinisikan mengenai politik Islam sebagai sebuah istilah yang merujuk pada setiap muslim yang meyakini bahwa Quran dan Hadits mengatakan sesuatu hal yang penting mengenai pemerintahan dan masyarakat Islam. Mereka menganggap wajib untuk menerapkannya  meskipun mereka tidak sepakat bagaimana seharusnya diterapkan. Namun, pandangan politik dalam Islam menurut Fuller,  tidak monolitik, tapi berbeda-beda. Ada yang menganggap Islam itu mesti memiliki sebuah negara sendiri dan tidak kompromi terhadap system negara modern. Ada juga yang akomodatif terhadap negara eksistensi negara modern[13]. Mengenai Politik Islam, Mohammad Ayoob, menuliskan bahwa, gambaran politik Islam yang tunggal itu adalah mitos. Ayoob mengutip salah satu perkataan tokoh politik Islam, “it is intellectually imprudent and historically misguided to discuss the relationship between Islam dan Politics as if there were on Islam timeless and eternal[14]”.

Ada yang menganggap wajah politik islam itu berbeda-beda, tapi ada juga yang menganggap wajah politik Islam yang diakui oleh sumber-sumber ajaran Islam adalah satu yaitu system politik Khilafah. Diantara pendukungnya adalah, Syekh Muhammad Rashid Ridha, Dr. Diauddin Rais dan Gerakan politik global Hizb-Tahrir.

Syekh Muhammad Rasyid Ridha mengatakan dalam kitabnya Al-Khilafah:

الْخلافَة، والإمامة الْعُظْمَى، وإمارة الْمُؤمنِينَ، ثَلَاث كَلِمَات مَعْنَاهَا وَاحِد، وَهُوَ رئاسة الْحُكُومَة الإسلامية الجامعة لمصَالح الدّين وَالدُّنْيَ

“Al-Khilafah dan Imamah Uzma, Imarah al-Muslimin, adalah tiga kata yang bermakna satu. Yang berarti kepemimpinan yang berdasarkan hukum-hukum islam secara keseluruhan untuk kemaslahatan agama dan dunia”.

Hukum mendirikan khilafah adalah wajib bagi seluruh kaum muslimin atau Fardhu Kifayah. Diwajibkan karena beberapa alasan, pertama kesepakatan para sahabat (ijma sahabat) setelah meninggalnya nabi Muhammad, Nas-nas al-Quran dan Sunnah, kemudian tidak sempurna penerapan hukum Islam jika Khilafah tidak ditegakkan[15].

Khilafah adalah sebuah bentuk pemerintahan yang monolith yang diakui dalam Islam. Dengan wajah politik Islam yang berbeda-beda saat ini hal itu tidak bisa menegasikan bahwa, wajah politik Islam adalah satu yaitu Khilafah. Kewajiban tersebut menurut Dr. Dhiauddin Rais disepakati oleh mayoritas kaum muslim baik Ahlu Sunnah, Murjiah, Khawarij, Muktazilah dan Syiah. Sebagai rujukan untuk menerapkan Khilafah, Kelompok ulama ahlu sunnah menganggap bahwa Khulafaa Rasyidin dapat dijadikan contoh, prototype, yang menjadi sumber kaidah fundamental, teladan inspiratif, dan landasan-landasan sebuah system pemerintahan yang Islami[16]. Hizbut Tahrir mengeluarkan sebuah buku yang cukup lengkap mengenai system pemerintahan dalam Islam, mulai dari system pemerintahan dalam Islam, prosedur memilih pemimpin, kriteria memilih dan menurunkan pemimpin, lembaga-lembaga negara dan fungsi-fungsinya[17].

Usaha untuk menghadirkan perspektif Islam dalam Hubungan Internasional pernah digagas oleh Sosial Kajian TImur Tengah (Association of Middle East Studies) dalam pertemuan tahunan pada tahun 2011. Salah satu misi dalam diskusi tersebut adalah menengahi dua struktur pengetahuan (body of knowledge) antara studi hubungan internasional yang bersumber dari negara-negara Barat (Inggris dan Amerika) dan Kajian Islam yang dikembangkan dari negara-negara muslim. Tulisan-tulisan dari hasil pertemuan tersebut dikumpulkan dan menjadi sebuah buku. Dalam pengantar buku tersebut, Nasef Annabilang Adiong, mengatakan, jika pemikir Hubungan Internasional di barat mampu menghubungkan antara kajiah HI dengan sejarah barat dan Kristen, Islam juga pasti mampu dan memungkinkan untuk memahami, dan menginterpretasi hubungan internasional.

Namun, dalam buku tersebut belum merumuskan sebuah perspektif baru bagaimana Islam dihadirkan sebagai perspektif baru dalam Hubungan Internasional. Dalam tulisan pengantarnya, Adiong hanya mengeritik para ilmuwan yang cenderung melihat kajian Islam dalam sudut pandang epistimologi sekuler yang berasal dari tradisi judeo-kristen dalam hal pemisahan gereja dan pemerintahan. Sementara menurut, Adiong, Islam dan politik adalah satu dan tidak terpisah sebagaimana tradisi sekuler Hubungan Internasional saat ini[18]. Adiong menutup komentarnya dengan menuliskan harapan untuk mengkonstrukis proposes ontologi dan epistimologi untuk menghadirkan Islam dalam sebuah skema atau perpektif  yang spesifik dan tetap dalam teori hubungan internasional[19].

Politik dalam Islam atau siyasah, dalam pandangan Adnan Khan, mengatur persoalan sebuah negara baik di dalam atau di luar negeri. Dalam aspek luar negeri, negara Islam menjalin hubungan dengan negara, masyarakat dan bangsa lain serta menyebarkan ideologi Islam ke seluruh dunia. Menurut Adnan, konsep politik internasional dalam Islam tidak berubah dan bersifat tetap. Yakni menyebarluaskan Islam kepada setiap negara dan masyarakat. Konsep ini tidak berubah sejak zaman rasul, khulafaaur rasyidin, hingga era Usmani.  Terdapat beberapa panduan hubungan internasional yang ada di dalam Islam[20]:

1.        Mengemban dakwah Islam di seluruh dunia dan Islam menjadi panduan kerjasama antar negara.

2.        Yang menjadi dasar negar adalah Islam

3.        Manuver politik penting dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri.

4.        Salah satu cara dalam bermanuver adalah membuka kejahatan negara yang lain, membongkar konspirasi yang berbahaya, dan juga orang-orang yang menyesatkan.

5.        Tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara.

6.        Negara-negara yang bekerjasama dengan negara Islam diperlakukan sama. Dan untuk beberapa aspek terjadi pembatasan kerjasama seperti dalam perdagangan.

7.        Negar Islam tidak boleh bekerjasama dengan negara-negara penjajah[21].

Adnan Khan disini telah memberikan sedikit gambaran terkait Islam dalam hubungan internasional. Bagaimana Islam melakukan hubungan dengan negara-negara yang lain. Namun dalam bukunya, Adnan Khan tidak menjelaskan secara lebih detail bagaimana ideologi Islam bisa menjelaskan fenomena-fenomena dalam hubungan internasional. Tapi, ini adalah langkah positif atau maju dalam usaha untuk merumuskan sebuah perspektif baru dalam hubungan internasional yaitu Islam.
Kesimpulan
Untuk membangun akhlakul Kariimah dalam profesi sebagai dosen hubungan internasional maka, yang perlu dikonstruksi dulu adalah paradigma dasar dalam ilmu hubungan internasional. Paradigma dalam hubungan internasional saat ini lahir dari era modernisme yang menjauhkan negara dari agama. Sehingga, perilaku negara-negara saat ini begitupun halnya dengan pemikir-pemikir dalam hubungan internasional sangat terpengaruh oleh paradigma-paradigma tersebut. Islam adalah sebuah bangunan paradigma tersendiri yang berbeda dengan ideologi-ideologi yang lain. Oleh sebab itu, untuk menciptakan karakter negara dan karakter ilmuwan yang berakhlak mulia maka, ilmu hubungan internasional dan politik harus dibentuk dengan asas Islam.

Referensi:

Rachman, Budhy Munawar. 2010. Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat

Al-Rasheed, Madawi. 2007. Contesting the Saudi State: Islamic Voices from a New Generation. New York: Cambridge University Press

An-Nabhani, Taqiuddin.2007. Peraturan Hidup dalam Islam. Jakarta Selatan. HTI Press

Al-Quran Al-Kariim

Burchill, Scott. 2005. Theories of International Relations. Third edition. New York: Palgrave Macmillan

Bennett, Clinton. 2005. Muslims and Modernity: An Introduction to the Issues and Debates. London: Continuum

Sargent, Lyman Tower. 2009. Contemporary  Political Ideologies: A Comparative Analysis

Fourteenth Edition. Belmon: Wadsworth

Syarkazy, Hamid Fahmi. Tt. Pandangan Hidup dan Tradisi Intelektual Islam (Eksposisi awal framework pemikiran Islam). Makalah yang disampaikan di Institute of Islamic Thought and Civilization. Jakarta: Insist

Fuller, Graham & Marcel Kurpershoek. 2005. What Future for Political Islam?: dilemmas and opportunities

for  the  next  decade. The Hague: WRR / Scientific Council For Government Policy

Ayoob, Mohammed. 2011. The many Faces of Political Islam: Religion and politics in the Muslim World. United States of America: The University of Michigan Press

Ridha, Muhammad Rashid. 1354 H. Al-Khilafah. Kairo: Az- Zahra Lil I`lam Al-Arabi, Versi Maktabah Syamilah

Rais, M. Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press

Hizb Tahrir. 2005. Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah. Beirut: Dar al-Ummah

Adiong, Nassef Manabilang. 2013. International Relations and Islam: Diverse Perspectives. UK: Cambridge Scholars Publishing

Khan, Adnan. 2009. Constructiong Khilafah Foreign Policy. United Kingdom: Khilafah. Com

Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme Dan Sekularisme Agama. http://mui.or.id/files/07-Fat%20Munas-Pluralisme.pdf, diakses 12/09/2014







[1] Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme Dan Sekularisme Agama. http://mui.or.id/files/07-Fat%20Munas-Pluralisme.pdf, diakses 12/09/2014

[2] Budhy Munawar-Rachman. 2010. Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta:   Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)

[3] Madawi Al-Rasheed. 2007. Contesting the Saudi State: Islamic Voices from a New Generation. New York: Cambridge University Press, Hal 45

[4] Taqiuddin An-Nabhani. Peraturan Hidup dalam Islam. Jakarta Selatan. HTI Press, Hal: 196-198

[5] Al-Quran Al-Kariim

[6] Scott Burchill. 2005. Theories of International Relations. Third edition. New York: Palgrave Macmillan

[7]Ibid,

[8] Clinton Bennett. 2005. Muslims and Modernity: An Introduction to the Issues and Debates. London: Continuum, hal: 24

[9] Lyman Tower Sargent. 2009. Contemporary  Political Ideologies: A Comparative Analysis

Fourteenth Edition. Belmon: Wadsworth, hal: 2

[10] Taqiuddin An-Nabhani. Op.cit, hal: 43

[11] Hamid Fahmi Syarkazy. Tt. Pandangan Hidup dan Tradisi Intelektual Islam (Eksposisi awal framework pemikiran Islam). Makalah yang disampaikan di Institute of Islamic Thought and Civilization. Jakarta: Insist

[12] Ibid,

[13] Graham Fuller & Marcel Kurpershoek. 2005. What Future for Political Islam?: dilemmas and opportunities

for  the  next  decade. The Hague: WRR / Scientific Council For Government Policy, hal: 15-18

[14] Mohammed Ayoob. 2011. The many Faces of Political Islam: Religion and politics in the Muslim World. United States of America: The University of Michigan Press, Hal: 15

[15] Muhammad Rashid Ridha. 1354 H. Al-Khilafah. Kairo: Az- Zahra Lil I`lam Al-Arabi, Versi Maktabah Syamilah

[16] M. Dhiauddin Rais. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press. Hal: 124-126

[17] Hizb Tahrir. 2005. Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah. Beirut: Dar al-Ummah

[18] Nassef Manabilang Adiong. 2013. International Relations and Islam: Diverse Perspectives. UK: Cambridge Scholars Publishing, hal: 6-7

[19] Ibid, 8

[20] Adnan Khan. 2009. Constructiong Khilafah Foreign Policy. United Kingdom: Khilafah. Com, Hal:  6

[21] Ibid, hal: 24-25

0 komentar:

HIKMAH DISYARIATKANNYA PERNIKAHAN DALAM ISLAM: Tinjauan Kesehatan Fisik, Psikologis dan Politik


Makalah SIASIDI Prajabatan Calon Dosen Tetap Universitas Islam Indonesia 2014 

     A.    Pendahuluan

Sudah menjadi Sunnatullah bahwa jalan satu-satunya untuk mempertahankan keberlangsungan spesies manusia di permukaan bumi ini adalah dengan bersatunya sperma laki-laki dan sel telur perempuan melalui hubungan seksual yang terjadi diantara mereka. Bapak Manusia, Adam Alaihissalam manusia pertama yang diciptakan Allah swt dalam sebuah riwayat diceritakan bawah dia  diperintahkan oleh Allah untuk menikahkan ke empat anak kembarnya secara silang. Qabil yang kembar dengan Iqlimah, sementara Habil kembar dengan Labuda. Keempat anak ini dinikahkan untuk beranak-pinak lagi sampai seterusnya.

Namun, hubungan seksual meski menjadi jadi jalan untuk mewariskan keturunan tapi, dalam sejarah manusia  hubungan tersebut mesti dilandasi pengakuan atau legitimasi dari masyarakat bahwa sepasang laki dan perempuan tersebut sah untuk menjalin hubungan dan hidup secara bersama. Legitimasi itulah yang disebut sebagai marriage atau pernikahan. Notes dan Queries dan Kathleen Gough mendefinisikan pernikahan sebagai “reference to the legitimacy of children”.

Menurut Arlene Skolnick, Marriage atau pernikahan adalah:

Mariages, socially recognized and approved union between individuals, who commit to one another with the expectation of a stable and lasting intimate relationship. It begins with a ceremony known as a wedding, which formally unites the marriage partners. A marital relationship usually involves some kind of contract, either written or specified by tradition, which defines the partners’ rights and obligations to each other, to any children they may have, and to their relatives. In most contemporary industrialized societies, marriage is certified by the government[1].


William A aviland dkk  (2011) dalam buku  Cultural Anthropology: The Human Challenge disebutkan defenisi, pernikahan sebagai:

Marriage (also called matrimony or wedlock) is a socially or ritually recognized union or legal contract between spouses that establishes rights and obligations between them, between them and their children, and between them and their in-laws. The definition of marriage varies according to different cultures, but it is principally an institution in which interpersonal relationships, usually sexual, are acknowledged. In some cultures, marriage is recommended or considered to be compulsory before pursuing any sexual activity. When defined broadly, marriage is considered a cultural universal[2].


Secara historis pernikahan pertama yang tercatat dalam sejarah sekitar 4.000 tahun yang lalu di Mesopotamia. Secara umum dimasyarakat kuno, pernikahan berfungsi untuk menjaga hubungan kekuasaan antara seorang raja dengan penguasa yang lain melalui aliansi dan melahirkan keturunan yang akan mewarisi kekuasaan sah dari kerajaraan.  Dalam sejarah kuno juga banyak dikisahkan lazimnya praktek poligami seperti, yang tercantum dalam bible, Raja Sulaiman (king Salomon) memiliki 700 istri dan 300 gundik. Praktek poligami itu juga dipraktekkan di China, Africa dan masyarakat Mormon di Amerika.

Dalam sejarah Romawi Kuni, pernikahan diatur dalam imperial law, hukum imperium. Namun, abad 5 masehi, saat imperium rowami runtuh gereja mengambil alih fungsi pengatur pernikahan dan menjadikannya sebagai sebuah ikatan suci. Pernikahan dibarat kemudian semakin beragam di era modern saat ini. Marilyn Yalom, Penulis buku A History of the Wife, mengatakan bahwa di tahun 1970 hukum pernikahan menjadi netral gender dalam demokrasi barat. "marriage law had become gender-neutral in Western democracy." Munculnya alat kontrasepsi juga  secara fundamental mentransformasi pernikahan. Pasangan bisa memilih berapa banyak anak yang ingin atau tidak ingin dilahirkan. Jika mereka tidak bahagia mereka bisa saja bercerai. Menurut, Yalom, pernikahan tinggal menjadi kontrak personal antara dua pihak yang setara yang sedang mencari cinta, kenyamanan dan kebahagiaan. Defenisi baru ini, dianggap oleh Yalom sebagai pembuka pinta bagi praktek pernikahan gay dan lesbianisme. Mengutip E.J. Graff  "We now fit under the Western philosophy of marriage,"[3].

Di masyarakat Arab sendiri sebelum Islam datang dan mengubah tradisi pernikahan Arab telah dikenal terdapat 4 jenis pernikahan sebagaimana disebutkan dalam Kitab Shahih Bukhari:

1.         pernikahan sebagaimana dilakukan orang-orang pada saat sekarang ini, iaitu seorang laki-laki meminang kepada wali sang wanita, kemudian memberikannya mahar lalu menikahinya.

2.        Seorang suami berkata kepada isterinya pada saat suci (tidak haid/subur): “Temuilah si Fulan dan bergaullah (bersetubuh) dengannya.” Sementara sang suami menjauhinya sementara waktu (tidak menjimaknya) hingga benar-benar ia (isteri) positif hamil dari hasil persetubuhannya dengan laki-laki itu. Dan jika dinyatakan telah positif hamil, barulah sang suami tadi menggauli isterinya bila ia suka. Ia melakukan hal itu, hanya untuk mendapatkan keturuan yang baik. Istilah nikah ini adalah Nikah Al Istibdlaa’.

3.        Sekelompok orang (kurang dari sepuluh) menggauli seorang wanita. Dan jika ternyata wanita itu hamil dan melahirkan. Maka setelah masa bersalinnya telah berlalu beberapa hari, wanita itu pun mengirimkan surat kepada sekelompok laki-laki tadi, dan tidak seorang pun yang boleh menolak. Hingga mereka pun berkumpul di tempat sang wanita itu. Lalu wanita itu pun berkata: “Kalian telah tahu apa urusan kalian yang dulu (setubuh). Dan aku telah melahirkannya, maka anak itu adalah anakmu wahai Fulan.” Yakni, wanita itu memilih nama salah seorang dari mereka yang ia sukai, dan laki-laki yang ditunjuk tidak dapat mengelak.

4.        Orang ramai berkumpul, lalu menggauli seorang wanita, dan tak seorang pun yang dapat menolak bagi yang orang yang telah menggauli sang wanita. Para wanita itu adalah wanita pelacur. Mereka meletakkan tanda pada pintu-pintu rumah mereka sebagai tanda, siapa yang ingin mereka maka ia boleh masuk dan bergaul dengan mereka. Dan ketika salah seorang dari mereka hamil, lalu melahirkan, maka mereka (orang banyak itu) pun dikumpulkan, lalu dipanggilkanlah orang yang ahli selok belok nasab (Al Qafah), dan Al Qafah inilah yang menyerahkan anak sang wanita itu kepada orang yang dianggapnya sebagai bapanya, sehingga anak itu dipanggil sebagai anak darinya. Dan orang itu tidak boleh mengelak[4].

B. Nikah dalam Perspektif Islam

Nikah dalam Islam adalah sebuah ibadah yang agung dan sangat dianjurkan oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Terdapat banyak ayat atau hadits yang mengungkapkan keutamaan-keutamaan bagi orang yang menikah. Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri dalam kitab Ringkasan Fiqih Islam, mendefiniskan nikah sebagai ikatan syar'i yang menghalalkan percumbuan dari setiap suami  dan isteri. Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah mengatakan, Nikah itu adalah jalan yang dipilih oleh Allah dalam mewariskan keturunan dan memperbanyak jumlah keturunan serta untuk melanjukan kehidupan.

وهي الاسلوب الي اختاره الله للتوالد والتكاثر، واستمرار الحياة، بعد أن أعد كلا الزوجين وهيأهما[5]


Ayat-ayat Al-Quran banyak yang mengutarakan persoalan pernikahan dan keutamaan-keutamaan menikah seperti antara lain[6]:

 “Dan  di  antara  tanda-tanda  kekuasaan-Nya  ialah  Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu  sendiri,  supaya  kamu  cenderung  dan  merasa  tenteram  kepadanya,  dan  dijadikan-Nya  diantaramu  rasa  kasih  dan sayang.  Sesungguhnya  pada  yang  demikian  itu  benar-benar  terdapat  tanda-tanda  bagi  kaum  yang  berfikir”  (QS.  ArRuum:21).

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rosul sebelum kamu dan Kami  memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan .." (Ar-Ra'd: 38)

Dalam hadits-hadits nabi juga disebutkan mengenai pentingnya menikah ini[7]:

Berkata Abdullah bin Mas'ud r.a: suatu ketika kami beberapa orang pemuda  sedang bersama Nabi SAW dalam keadaan tidak memiliki apa-apa, berkatalah kepada kami Rasulullah SAW:

"Wahai sekalian pemuda, barang siapa diantara kalian yang telah mampu  hendaklah dia menikah, karena yang demikian itu lebih menjaga pandangan dan lebih menjaga kemaluannya, dan barang siapa yang belum mampu hendaklah dia  berpuasa, karena itu merupakan benteng baginya" (Muttafaq Alaihi).

Dalam hadits nabi yang lain disebutkan bahwa, salah satu dari sunnah-sunnah para rasul adalah menikah. Dalam hadits nabi yang lain disebutkan bahwa, salah satu dari sunnah-sunnah para rasul adalah menikah. dan beliau juga menyatakan, bahwa harta yang paling baik dari emas dan perak adalah menikahi perempuan yang beriman yang akan bersama bahu membahu dalam keimanan[8].

C.      Hikmah dan Manfaat Pernikahan

Syariat Islam menyuruh umatnya menikah bukan semata kewajiban tanpa hikmah atau manfaat baik dari sudut pandang setiap individu, laki-laki atau perempuan secara biologis, psikologis atau medis ataupun dari sudut pandang kemanfaatan terhadap masyarakat atau negara secara keseluruhan.  Syaikh  Shalih Fauzan Al-Fauzan mengungkapkan terdapat banyak manfaat besar yang bisa diraih dari sebuah pernikahan antara lain[9]:

1.      Tetap  terjaganya  keturunan  manusia,  memperbanyak  jumlah  kaum  muslimin  dan \ menggetarkan orang kafir dengan adanya generasi  yang  berjuang  di  jalan  Allah  dan  membela agamanya.

2.      Menjaga  kehormatan  dan  kemaluan  dari  berbuat  zina yang diharamkan yang merusak masyarakat

3.      Terlaksananya  kepemimpinan  suami  atas  istri  dalam  memberikan  nafkah  dan  penjagaan kepadanya.

4.      Menjaga  masyarakat  dari  akhlak  yang  keji  (zina,  pent)  yang  menghancurkan  moral  serta menghilangkan kehormatan.

5.      Terjaganya  nasab  dan  ikatan  kekerabatan  antara  yang satu dengan yang lainnya serta terbentuknya  keluarga  yang  mulia  yang  penuh  kasih  sayang,  ikatan  yang  kuat  dan  tolong-menolong  dalam kebenaran.

6.      Mengangkat  derajat  manusia  dari  kehidupan  ala  binatang menjadi kehidupan insan yang mulia. 

Saking pentingnya sebuah institusi keluarga dan praktek pernikahan dalam Islam sehingga Islam mengatur pernikahan dari mulai memilih calon pasangan, suami atau istri, meminang, aturan-aturan dalam pernikahan, melakukan hubungan seksual antara suami istri, etika dalam berkeluarga dan mendidik anak. Semua aturan tersebut telah dijabarkan dalam praktek-praktek dalam berkeluarga Nabi Muhammad SAW. Di dalam Islam, nikah adalah sunnah yang sangat agung sebaliknya, hubungan yang terjadi antara pria dan wanita diluar nikah dianggap perbuatan keji dan merupakan cara yang sangat buruk. Perbuatan tersebut di sebut Zina dan dihukum cambuk 100 kali bagi pelaku yang masih lajang dan dihukum rajam, dilempari kepalanya dengan batu setelah ditanam sampai leher hingga pelaku zina tersebut mati.

D.    Manfaat dari Segi Kesehatan

Selain hikmah dari sudut pandang para ulama Islam, manfaat pernikahan juga telah ditemukan dari perspektif kesehatahan Fisik maupun Psikologis. William Farr, ahli epidemiologi Inggris pernah melakukan penelitian mengenai hubungan antara penikahan dan kesehatan pria tahun 1858. Menurut Farr, Dengan menikah akan membuat kadar hormon stres kortisol pria berkurang sehingga mengurangi kemungkinan terkena penyakit kronis dan membuat seseorang hidup sehat lebih lama. Hormon kortisol bisa mempercepat pembentukan plak arteri yang nantinya mengarah pada penyakit aterosklerosis dan jantung.

Hasil Studi tahun 1996  yang berjudul Marital Status and Mortality: The Role of Health juga menyebutkan mengenai hubungan antara menikah dan kesehatan laki-laki. Disebutkan bahwa laki-laki menikah berusia 50-70 tahun memiliki tingkat kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak menikah. Hal in karena laki-laki yang sudah menikah cenderung lebih sedikit terlibat dalam perilaku berisiko seperti mengonsumsi alkohol dan juga tidak merawat diri. Selain itu jika ia sudah memiliki anak akan lebih jauh berperilaku sehat[10]. Dalam AOLHealth disebutkan manfaat menikah, diantaranya:

1.      Menikah bisa mengurangi stress

Studi dari University of California menemukan bahwa orang yang menikah akan lebih bahagia dan mampu mengurangi kadar stressnya dibandingkan dengan orang yang tak menikah. Peneliti mengambil sampel air liur partisipan untuk menguji tingkat kortisol (hormon stress), diketahui orang yang menikah memiliki kadar kortisol yang lebih rendah sehingga tingkat stressnya lebih kurang.

2.      Menikah bisa mengurangi kemungkinan terkena stroke.

Pernikahan bahagia bisa membantu mencegah stroke fatal pada laki-laki. Didapatkan laki-laki yang tidak menikah memiliki risiko 64% lebih tinggi terkena stroke fatal dibandingkan dengan laki-laki menikah.

3.      Menikah mengurangi risiko terkena demensia

Berdasarkan penelitian dari Swedish Medical University Karolinska Institutet,  Orang setengah baya yang hidup sendiri dua kali lebih mungkin mengalami demensia dan penyakit Alzheimer dibandingkan dengan orang yang menikah. Sedangkan orang yang bercerai pada usia setengah baya akan membuatnya memiliki risiko 3 kali lipat.

4.      Menikah dapat menurunkan tekanan darah

Berdasarkan penelitian dari Brigham Young University diketahui laki-laki dan perempuan yang menikah akan memiliki tekanan darah lebih rendah dibandingkan dengan lajang. Hal ini karena pada umumnya orang-orang tersebut memiliki sistem yang lebih teratur dan tidak terlalu cuek lagi dengan kesehatan dirinya sendiri.

5.      Menikah menjauhkan seseorang dari depresi

Pernikahan dapat mengurangi depresi serta kecemasan seseorang. Hasil studi yang dilaporkan dalam Journal of Health and Social Behavior, menunjukkan orang yang sudah memiliki depresi akan mendapatkan dorongan psikologis dari pernikahannya.

6.      Menikah bisa menjauhkan seseorang dari tindakan berisiko

Sebelum menikah umumnya seseorang tidak terlalu memperhatikan kondisi tubuhnya dan bertindak sesuka hati. Tapi studi menunjukkan pernikahan bisa membuat seseorang lebih sedikit terlibat dalam perilaku berisiko seperti mengonsumsi alkohol, sering pulang malam dan juga tidak merawat diri. Hal ini karena ada orang-orang yang harus ia perhatikan selain dirinya sendiri. Selain itu jika ia sudah memiliki anak umumnya akan lebih jauh berperilaku sehat[11].

Dalam artikel di kompas.health online disebutkan, bahwa di Amerika Serikat Di Amerika, para pria yang menikah menduduki tingkat kematian terendah. Pada penelitian yang dilakukan untuk pria berkulit putih, dibandingkan dengan pria menikah maka tingkat perilaku bunuh diri 4x lebih tinggi pada yang menjadi duda, dan 3x lebih tinggi pada pria bercerai. Penelitian untuk pria berkulit hitam, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan pria menikah, kematian karena kanker hati 4x lebih tinggi pada pria bercerai, dan 3x lebih tinggi pada duda. Dalam sebuah hasil laporan penelitian, Pasien yang menikah mempunyai kemampuan bertahan hidup 23% lebih tinggi dibandingkan pasien yang tidak menikah. Para peneliti menyatakan bahwa bertambahnya harapan hidup ini diperoleh dari perlindungan emosi yang dihasilkan oleh pernikahan. Dalam kasus perceraian atau keretakan dalam rumah tangga, sebuah penelitian oleh Kiecolt-Glaser dkk, 1987, menemukan bahwa kekacauan pernikahan berdampak terhadap lemahnya imunitas tubuh. Kekacauan pernikahan akan mempengaruhi kesehatan mental dan dampaknya lebih jauh adalah memperlemah system imun dalam tubuh[12].

Bagi yang berusia muda manfaat kesehatan akan berbeda lagi, Huffington Post mencatat beberapa fakta manfaat nikah muda bagi kesehatan.

1.        Pasangan lebih bahagia

Menurut laporan National Marriage Project's 2013 di Amerika Serikat (AS), persentase tertinggi orang yang merasa sangat puas dengan kehidupan pernikahan adalah mereka yang menikah di usia 20-28 tahun. Sementara wanita yang menggambarkan pernikahan mereka sangat bahagia paling banyak dialami wanita yang menikah pada usia 24-26 tahun.

2.        Pasangan pria berpenghasilan lebih tinggi

Menurut Analisis data survei masyarakat Amerika 2008-2010 mengungkap, para suami yang menikah di usia 20-an akan memiliki tingkat pendapatan tertinggi ketika usia mereka menginjak pertengahan 30-an.

3.        Menikmati lebih banyak bercinta

Pasangan yang menikah di usia 20-an cenderung berhubungan seks lebih sering daripada mereka yang menikah lebih lambat. Dana Rotz dari Harvard University menulis tahun 2011 bahwa menunda usia menikah empat tahun terkait dengan penurunan satu hubungan seks dalam sebulan. Secara keseluruhan, pasangan menikah lebih sering menikmati sesi intim daripada lajang.

4.        Tak ada keuntungan menunda pernikahan

Studi pada 2010 oleh sosiolog Norval Glenn dan Jeremy Uecker menyatakan, usia 25 atau 35 bukan takaran seseorang merasa siap menjalani biduk rumah tangga. Selain itu, menunda pernikahan hingga di atas pertengahan usia 20-an mengakibatkan hilangnya sebagian manfaat emosional dan kesehatan masa dewasa muda yang diperoleh dari pernikahan[13].

E.       Manfaat Menikah Bagi Negara

Menikah adalah sebuah aktifitas yang mengesahkan sebuah hubungan antar dua manusia. Dari pernikahan itu mereka akan saling menjaga dan akan melahirkan generasi-generasi selanjutnya. Dengan adanya institusi pernikahan itu, sebuah proses keberlangsungan kehidupan umat manusia akan terus terjaga dan segala aktifitas dalam sebuah negara akan tetap berjalan dengan baik baik perekonomian, politik, militer dan pendidikan. Seandainya lembaga pernikahan tidak ada, manusia bisa saja tetap bisa melahirkan anak-anaknya. Sulitnya jika tanpa pernikahan, adalah sulitnya menjalani tanggung jawab sebagai kedua orang tua untuk mendidik anak. Sebab motivasi seksual selain dalam lembaga pernikahan kebanyakan hanyalah bersenang-senang belaka. Walhasil, ketika lembaga pernikahan ini sudah tidak dipedulikan lagi bagi umat manusia maka, otomatis akan mengurangi atau memperlambat pertumbuhan penduduk dan mempersulit aktifitas sebuah negara.

Masyarakat yang tidak terlalu peduli terhadap pernikahan dan melahirkan anak saat ini mengalami ancaman krisis populasi. Diantara wilayah yang mengalami ancaman tersebut adalah, negara-negara di Eropa. Menurut laporan PBB, Populasi masyarakat eropa diperkirakan akan jatuh antara tahun 2010-2050. Berdasarkan asumsi fertilitas secara konstan atau standar (under constant fertility assumptions) , populasi seluruh masyarakat Eropa akan merosot dari jumlah 732 juta orang 2010 menjadi 657 juta orang di tahun 2050. Asumsi difawah fertilitas  standar (under low fertility) jumlah populasi Eropa akan merosot dari 609 juta di tahun 2050 menjadi 124 juta orang[14].

            Penurunan kelahiran yang terjadi di Eropa salah satu sebabnya adalah perubahan peran perempuan dalam masyarakat. Sejak tahun 1960an, perempuan di barat mendapatkan akses yang sama dalam bidang pendidikan dan pekerjaan. Dampaknya banyak perempuan yang menjadi pemburu karir dan mencari kerja untuk kebutuhan diri mereka sendiri[15]. Ditambah lagi makna pernikahan di negara-negara barat sudah tidak terbatas lagi pernikahan antar lawan jenis, tapi berbeda jenis juga sudah tidak terlalu dipermasalahkan, seperti pernikahan Homoseksual,  Lesbian atau Gay.

Paus Benedictus  XI dalam salah satu pidatonya tahun 2006 pernah mencurahkan kekhawatirannya mengenai ancaman krisis populasi tersebut dengan mengatakan bahwa:

 “Before these families with their children, before these families in which the generations hold hands and the future is present, the problem of Europe, which it seems no longer wants to have children, penetrated my soul. To foreigners this Europe seems to be tired, indeed, it seems to be wishing to take its leave of history,”[16]

“Sebelumnya keluarga-keluarga ini (eropa) bersama dengan anak-anak mereka, Sebelumnya keluarga-keluarga ini bersama generasi-generasi yang mereka saling berpegangan tangan dan masa depan menanti mereka. Persoalan masyarakat Eropa yang saat ini nampanya sudah tidak ingin memiliki anak lagi merasuk ke dalam jiwaku. Bagi orang asing, kondisi Eropa saat ini seakan terlihat telah letih tapi sungguh seandainya, sejarah yang hilang itu diambil kembali”.

Kasus di Jepang juga sama, dengan jumlah penduduk sekitar 128 juta orang, diperkirakan akan menurun sekitar 1 juta pertahun. Dan  tahun 2060, pemerintah jepang memperkirakan jumlah penduduk jepang menurun menjadi 87 juta orang sekitar seperdua diantaranya lebih dari 65 tahun. Penyebab penurunan tersebut, karena orang-orang Jepang sudah tidak punya hasrat lagi untuk menikah dan berhubungan seks. Sebuah survey menemukan, 45% perempuan dan 25% laki-laki antara 16-24 tahun tidak mengingikan hubungan seks lagi.  Angka pernikahan juga jatuh, dari 21 % perempuan dan 49 % pria usia dibawah 30 yang tidak menikah di tahun 1975 menjadi 60% perempuan dan 72% laki-laki di tahun 2005.

Alasan Pekerjaan menjadi salah satu alasan perempuan tidak menikah. Menikah di Jepang berarti mengakhiri karir dalam kerja. Jika perempuan menikah dan punya anak, akan ada tekanan sosial yang akan dihadapinya dalam lingkungan kerja yang memaksanya untuk berhenti. Begitupun perempuan yang ingin bekerja sambil berkeluarga, perusahaan akan sulit menerimanya.  Di sisi lain, tempat penitipan anak juga sangatlah mahal di Jepang. Bagi pria muda di jepang standar hidup akan jatuh secara drastic jika dia memilih berkeluarga, memiliki istri dan mengasuh anak[17].

Dampak dari krisis populasi yang menimpa negara-negara tersebut diatas adalah, berkurangnya tenaga-tenaga kerja masa depan yang akan menggantikan orang-orang yang sudah tidak produktif lagi. Selain itu, negara butuh sumber daya yang akan mewariskan pemerintahan, pegawai-pegawai di lembaga-lembaga milik pemerintah, angkatan militer, dan lembaga pendidikan. Selain itu, semakin bertambahnya jumlah orang-orang diusia tidak produktif akan menambah beban negara dalam memberikan pension dan bantuan-bantuan sosial yang lain. Seorang pakar demografi, Nicholas  Eberstadt, pernah menyatakan bahwa, demographic  change  may  be  “even  more  menacing  to  the  security  prospects  of  the  Western  alliance  than  was  the  cold  war  for  the past  generation. “perubahan demografi bahkan mungkin saja lebih membahayakan prospek keamanan aliansi negara-negara barat dibandingkan peristiwa perang dingin di masa yang lalu  [18].

F.       Kesimpulan

Menikah merupakan sunnatullah atau law of nature,  sesuatu yang Allah tetapkan bagi manusia dan untuk kebaikan manusia. Jika manusia mengikuti sunnah ini maka, akan berdampak baik bagi kehidupan manusia sendiri baik secara fisik, psikologis maupun manfaatnya terhadap kemajuan umat manusia.

Nikah adalah satu-satunya lembaga yang sah yang diakui oleh masyarakat dalam membangun hubungan antar laki-laki dan perempuan untuk mewariskan keturunan dan membangun rumah tangga. Jika lembaga ini sudah tidak diperhatikan sakralitasnya, maka nasib umat manusia akan terancam. Meremahkan pernikahan dan keluarga secara otomatis mempengaruhi proses lahirnya manusi-manusia baru yang akan mewariskan peradaban umat manusia. Jepang dan negara-negara Eropa telah memberikan contoh untuk hal tersebut.

Dalam Islam, pernikahan telah ditetapkan sebagai sebuah hal yang mulia dan mendapatkan pahala yang tinggi disisi Allah, bahkan orang yang menikah dijamin rejekinya oleh Allah SWT. Sementara bagi yang tidak menikah dianggap tidak mengikuti sunnah para nabi dan rasul. Nikah sebagai sunnatullah saat ini terbukti, bukan saja manfaatnya secara ukhrawi (pahala yang tinggi) tapi telah dibuktikan manfaatnya secara kesehatan, fisik maupun psikologis. Maha benar Allah dalam firmannya dalam surah Ar-Rahman, “ maka nikmat tuhahmu yang manakah yang engkau dustakan”.

Referensi

Sabiq, Sayyid 1977. Fiqh Sunnah. Beirut: Darul Kutub Al-Arabi. Edisi Maktabah Syamilah.

Bararah, Vera Farah. 2010. Menikah Banyak Manfaat Kesehatannya Buat Pria. http://health.detik.com/read/2010/10/29/170000/1478941/766/menikah-banyak-manfaat-kesehatannya-buat-pria?l771108bcj, diakses 10/12/2014

Hobmann, Irish dkk. 2008. Europe`s Demographic Future: Growing Imbalances. Germany: The Berlin Institute for populatin and development

Howe, Neil & Richard Jackson. 2011. Global Aging and the Crisis of the 2020s. Current History.  http://csis.org/files/publication/110104_gai_jackson.pdf, diakses 11/12/2014

Ibrahim At-Tuwaijri, Syaikh Muhammad bin.2012. Ringkasan Fiqih Islam. islamhouse.com, diakses 10/12/2014

Eberspacher, Sarah.2014. Everything you need to know about Japan's population crisis

Japan's birthrate is plummeting. Why have so many young Japanese given up on getting married?

http://theweek.com/article/index/254923/everything-you-need-to-know-about-japans-population-crisis, diakses 11/12/2014

Fauzan, Al-`Allamah Salih Fauzan bin. 2007. Bekal-Bekal Pernikahan Menurut Sunnah Nabi. http://dear.to/abusalma, diakses 10/12/2014

Libreria Editrice Vaticana. 2006. Address of His Holiness Benedict XVI to The Members Of The Roman Curia at The Traditional Exchange of Christmas Greetings, Clementine Hall. http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/speeches/2006/december/documents/hf_ben_xvi_spe_20061222_curia-romana_en.html diakses 11/12/2014

Skolnick, Arlene. 2008. Marriage. Microsoft® Student 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation.

Simanjuntak, Julianto. 2012. Dampak Perkawinan Terhadap Kesehatan Fisik. http://health.kompas.com/read/2012/06/20/08512123/Dampak.Perkawinan.Terhadap.Kesehatan.Fisik, diakses 10/12/2014

Sofia, Maya & Anda Nurlaila. Ini 5 Manfaat Menikah di Usia Muda: Tidak ada keuntungan menunda pernikahan dengan alasan belum siap. http://life.viva.co.id/news/read/459025-ini-5-manfaat-menikah-di-usia-muda, diakses 11/12/2014

The Week Staff. 2012. How marriage has changed over centuries Critics of gay marriage see it as an affront to sacred, time-tested traditions. How has marriage been defined in the past?.  http://theweek.com/article/index/228541/how-marriage-has-changed-over-centuries

Tirkides, Yiannis. 2011. Europe`s Demographic Challenge And Immigration. http://www.notre-europe.eu/media/tgae20111itirkides.pdf?pdf=ok diakses 11/12/2014

______. 2011. 6 Manfaat Kesehatan Yang Didapat Setelah Menikah. http://www.fimadani.com/6-manfaat-kesehatan-yang-didapat-setelah-menikah/, diakses 10/12/2014

________, Marriage, http://en.wikipedia.org/wiki/Marriage#cite_note-1 diakses 11/12/2014



[1] Skolnick, Arlene. "Marriage." Microsoft® Student 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008.

[2] ________, Marriage, http://en.wikipedia.org/wiki/Marriage#cite_note-1

[3] The Week Staff. 2012. How marriage has changed over centuries

Critics of gay marriage see it as an affront to sacred, time-tested traditions. How has marriage been defined in the past?.  http://theweek.com/article/index/228541/how-marriage-has-changed-over-centuries

[4] Sayyid Sabiq.1977. Fiqh Sunnah. Beirut: Darul Kutub Al-Arabi. Edisi Maktabah Syamilah.

[5] Sayyid Sabiq, Op.cit

[6] Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri.2012. Ringkasan Fiqih Islam. islamhouse.com, Hal: 5 diakses 10/12/2014

[7] Ibid, Hal: 5

[8] Sayyid Sabiq, ibid


[9] Al-`Allamah Salih Fauzan bin Fauzan. 2007. Bekal-Bekal Pernikahan Menurut Sunnah Nabi. http://dear.to/abusalma, Hal: 3 diakses 10/12/2014

[10] Vera Farah Bararah. 2010. Menikah Banyak Manfaat Kesehatannya Buat Pria. http://health.detik.com/read/2010/10/29/170000/1478941/766/menikah-banyak-manfaat-kesehatannya-buat-pria?l771108bcj, diakses 10/12/2014

[11] ______. 2011. 6 Manfaat Kesehatan Yang Didapat Setelah Menikah. http://www.fimadani.com/6-manfaat-kesehatan-yang-didapat-setelah-menikah/, diakses 10/12/2014

[12] Julianto Simanjuntak. 2012. Dampak Perkawinan Terhadap Kesehatan Fisik. http://health.kompas.com/read/2012/06/20/08512123/Dampak.Perkawinan.Terhadap.Kesehatan.Fisik, diakses 10/12/2014

[13] Maya Sofia & Anda Nurlaila. Ini 5 Manfaat Menikah di Usia Muda: Tidak ada keuntungan menunda pernikahan dengan alasan belum siap. http://life.viva.co.id/news/read/459025-ini-5-manfaat-menikah-di-usia-muda, diakses 11/12/2014

[14] Yiannis Tirkides. 2011. Europe`s Demographic Challenge And Immigration. http://www.notre-europe.eu/media/tgae20111itirkides.pdf?pdf=ok diakses 11/12/2014

[15] Irish Hobmann dkk. 2008. Europe`s Demographic Future: Growing Imbalances. Germany: The Berlin Institute for populatin and development, Hal: 9

[16] Libreria Editrice Vaticana. 2006. Address of His Holiness Benedict XVI to The Members Of The Roman Curia at The Traditional Exchange of Christmas Greetings, Clementine Hall. http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/speeches/2006/december/documents/hf_ben_xvi_spe_20061222_curia-romana_en.html diakses 11/12/2014

[17] Sarah Eberspacher.2014. Everything you need to know about Japan's population crisis

Japan's birthrate is plummeting. Why have so many young Japanese given up on getting married?

http://theweek.com/article/index/254923/everything-you-need-to-know-about-japans-population-crisis, diakses 11/12/2014

[18] Neil Howe and Richard Jackson. 2011. Global Aging and the Crisis of the 2020s. Current History.  http://csis.org/files/publication/110104_gai_jackson.pdf, Hal: 25


0 komentar: