Menjadi Ilmuwan Hubungan Internasional dengan Akhlak Al-Kariimah


SIASIDI Prajabatan Calon Dosen Tetap Universitas Islam Indonesia 2014

Sebagai seorang yang berprofesi dibidang kajian hubungan internasional tidaklah mudah mendefinisikan bagaimana seharusnya berperilaku yang paling tepat dalam menjalani profesi keilmuwan tersebut dan mendidik para mahasiswa untuk berperilaku sebagaimana yang diinginkan. Sebab, hubungan internasional merupakan salah satu rumpun dalam kajian Ilmu Sosial dan norma telah menjadi bagian yang terpisahkan dalam perdebatan-perdebatan interprespektif antar mazhab pemikiran dalam kajian hubungan internasional. Perspektif-perspektif tersebut lahir dari sebuah basis pemikiran filsafat baik dari segi ontology, epistemology dan methodology. Basis filsafat ini yang membentuk norma-norma yang akan menjadi panduan dalam menentukan perilaku atau sikap dalam berpolitik baik dalam lingkup lokal atau internasional.

Memasukkan terminologi Akhlakul Kariimah sebagai tata perilaku yang berdasarkan atas syariah Islam berarti harus dimulai dari kritik terhadap paradigma atau filsafat yang beraneka ragam dalam kajian hubungan internasional. Oleh sebab itu, tidak ada akan pernah bisa ketemu ketika Akhlakul Kariimah hanya dibatasi oleh ekspresi nilai-nilai Islam tertentu saja tanpa mengikut sertakan secara keseluruhan system berpikir (paradigm) yang membentuk akhlak tersebut. Seperti, seorang muslim yang berakidah Islam, perilakunya jujur, amanah, taat beribadah, bertanggung jawab, baik kepada sesama manusia akan tetapi paradigma berfikir dalam berpolitiknya adalah liberal, atau komunis. Ini adalah ketidak cocokan antara penerapan akhlakul kariimah dalam profesi sebagai seorang akademisi di bidang sosial khususnya di bidang kajian  hubungan internasional.  Atau seorang ulama atau sekumpulan ulama yang menjadi penasehat sebuah negara yang negara tersebut tunduk pada kepentingan ideologi negara-negara yang berideologi liberalisme dan kapitalisme.

Dalam kelas pengantar hubungan internasional,  mahasiswa baru universitas Islam Indonesia tahun 2014, saya pernah memperlihatkan kepada mahasiswa satu tokoh politik perempuan kaliber dunia yaitu Condolezza Rice. Sebagai seorang perempuan berkulit hitam Afro-Amerika, dia adalah salah satu perempuan tersukses berkarir dalam dunia politik dan akademisi di Amerika Serikat. Dia adalah professor di Universitas Stanford di bidang ilmu politik. Dia juga Menteri luar negeri AS ke 66, menjadi menteri luar negeri perempuan pertama beretnis Afrika Amerika; menjadi perempuan kedua yang menjabat sebagai Menlu Amerika; dan menjadi perempuan pertama yang menjabat sebagai penasehat keamanan nasional presiden George W. Bush tahun 2001-2005. Dia juga menduduki posisi penting di beberapa perusahaan multionasional.   Seperti Chevron, Transamerica Corporation dan Hewlett-Packard.

Karir yang sangat cemerlang yang diraih oleh Rice tersebut pastinya karena dia memiliki integritas, loyalitas, kecerdasan dan kemampuan untuk berinteraksi dengan baik antar manusia. Orang akan berdecak kagum dengan prestasi Rice. Tapi siapa sangka kalau dia adalah salah satu pendukung invasi Amerika Serikat ke Iraq dan Afghanistan yang menghasilkan banyak korban rakyat sipil; menghancurkan fasilitas publik, membunuh bayi-bayi, wanita dan orang-orang yang tak berdosa. Dan membawa negara tersebut  dalam peperangan yang tak pernah selesai.

Para penganut Islam Liberal yang dianggap sesat oleh para ulama bukan karena perilaku mereka buruk, tidak jujur, tidak amanah, pembohong dsb tapi karena paradigma liberal mereka yang digunakan untuk menafsirkan teks-teks agama sehingga hasil pemikiran mereka banyak mendobrak hal-hal yang sudah mapan dalam Islam[1]. Seperti, bolehnya perkawinan sejenis, ide semua agama sama (pluralisme agama), konsep relativisme kebenaran, sekulerisme penggunaan metode hermeneutika dalam menafsirkan al-Quran, dsb[2].

Termasuk juga para ulama yang masuk dalam jajaran Dewan Ulama Senior Arab Saudi. Mereka adalah para ulama Islam yang memahami Islam secara mendalam dari berbagai aspeknya. Namun, mereka dikritik oleh banyak ulama dan ilmuwan karena dianggap sebagai “boneka” dari penguasa Arab Saudi. Banyak kebijakan-kebijakan kontroversial yang dikeluarkan oleh kerajaan Saudi dan didukung oleh Fatwa Ulama di Dewan Ulama Senior dan Mufti Saudi. Termasuk kerjasama Amerika Serikat dan Saudi dalam perang teluk dan perang melawan terorisme. Professor Madawi Rasheed, mengungkapkan kritiknya terhadap fatwa - fatwa yang sering digunakan oleh para ulama di Saudi yang menurutnya bukan lagi murni sebagai bentuk ketaatan pada tuhan tapi menjadi alat politik penguasa semata untuk semakin meneguhkan kekuasaan raja Saudi[3].

Akhlakul Karimah tidak bisa dipisahkan dari perilaku itu sendiri. Jujur, amanah, bertanggung jawab, tidak bisa dikatakan Akhlakul Kariimah ketika diarahkan untuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT. Menurut Syaikh Taqiuddin An-Nabhani, Syariat Islam tidak menjadikan akhlak sebagai bagian khusus yang terpisah.  Syariat Islam telah mengatur hukum-hukum akhlak berdasarkan suatu anggapan bahwa akhlak adalah bagian dari perintah dan larangan Allah SWT. Akhlak adalah bagian dari rincian-rincian hukum atau melekat dalam hukum-hukum yang ada dalam Islam[4]. Seperti, sifat jujur yang harus ada dalam bertransaksi jual beli, sifat amanah yang harus adalah disaat diberi pekerjaan, sifat loyal ketika menjadi bagian dari sebuah kerjasama atau organisasi, tidak sombong dalam bergaul sesama manusia, dan tegas ketika melihat kemungkaran.

Oleh sebab itu, untuk menjadi sebuah Ilmuwan, akademisi dalam bidang kajian ilmu sosial, politik dan hubungan internasional yang berakhlakul kariimah, mesti mengubah paradigma dasar atau worldview yang membentuk perilaku politik dari isme-isme hasil kreasi intelektualitas manusia menjadi Islam sebagai din yang berasal dari wahyu pencipta. Allah berfirman dalam al-Quran, surah Al-An`am, 116:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Dan jika engkau mengikuti jalan mayoritas orang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah SWT. Yang mereka itu sejatinya hanyalah dugaan semata dan mereka hanyalah membuat kebohongan”[5].

Ideologi dan Perspektif dalam Hubungan Internasional

Dalam kajian hubungan internasional perilaku dan cara pandang para ilmuwan dalam melihat persoalan manusia dan negara tergantung atas nilai-nilai yang dianut oleh mereka. Diantara mereka ada yang menganut paham bahwa, pada dasarnya manusia memiliki karaktek yang brutal, egois dan tak bermoral. Sudut pandang ini berpengaruh pada cara pandangnya dalam menganalisis persoalan yang terjadi dalam hubungan antar negara. bahwa negara harus berfikir untuk menjaga kekuasaannya dari negara-negara lain, perilaku negara adalah terus curiga pada negara-negara lain kelompok ini masuk dalam mazhab Realisme dalam hubungan internasional[6].

Ada juga sudut pandang yang menganggap bahwa, manusia pada dasarnya baik, rasional dan cenderung menyukai perdamaian. Dalam memandang persoalan antar negara, isu-isu yang diperjuangkan adalah demokrasi, liberalisme pasar, Hak Asasi Manusia, dan berdirinya organisasi internasional. Kelompok ini disebut, mazhab liberalisme. Kelompok yang lain, menganggap bahwa sejarah masyrakat itu adalah pertentangan antar kelas. Akan selalu ada kelas yang akan mendominasi kelas yang dalam masyarakat. Dan persaingan itu akan terus menerus terjadi dan akan menghasilkan wajah masyarakat secara berbeda. Isu utama dalam pertentangan tersebut adalah persoalan ekonomi politik. Perubahan struktur ekonomi sebuah masyarakat akan akan mengubah wajah masyarakat tersebut. mazhab ini disebut, Marxisme atau strukturalisme.[7]

Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan dalam sudut pandang berbagai mazhab diatas, namun secara historis mereka berasal dari satu induk sejarah yaitu berasal dari era modernisme. Trend dalam budaya modernisme adalah menjadikan rasio atau ilmu pengetahuan sebagai hal yang utama yang bisa membimbing manusia. Rasio menggantikan otoritas tuhan dalam mengatur umat manusia baik secara hukum maupun moral[8].

Berbagai sudut pandang tersebut diatas berbeda karena dilatari oleh pandangan mendasar mengenai hakikat manusia sehingga lahirlah sebuah kesimpulan bagaimana seharusnya manusia itu bersikap, kemudian juga implikasi terhadap negara dan hubungannya antar negara yang lain.  Ini yang disebut sebagai ideologi.

“An ideology is a system of values and beliefs regarding the various institutions and  processes of society that is accepted as fact or truth by a group of people. An ideology  provides the believer with a picture of the world both as it is and as it should be, and, in  doing so, it organizes the tremendous complexity of the world into something fairly simple  and understandable”[9].
"Ideologi adalah sebuah system nilai dan kepercayaan mengenai institusi-institusi yang berbeda-beda dari masyarakat yang diterima sebagai sebuah kebenaran oleh sekelompok orang. Sebuah ideologi mewadahi pengikutnya gambaran mengenai dunia sebagaimana adanya, dan bagaimana seharusnya dan oleh sebab itu, ideologi mengelola kompleksitas dunia yang sangat luas ini menjadi sangat sederhana dan bisa dipahami".

Islam sebagai sebuah asas dari sebuah peradaban tentunya memiliki perspektif yang berbeda dalam melihat masyarakat, negara dan hubungan antar negara. sebab Islam memiliki sudut pandang yang khas dalam menjelaskan mengenai gambaran dunia dan hakikat manusia. Taiquddin An-Nabhani, menyebut Ideologi sebagai mabda yang maknanya adalah, Aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Mabda, tersebut lahir baik melalui wahyu atau dari kejeniusan seseorang. Mabda` yang benar menurut An-Nabhani adalah yang bersumber dari Allah SWT[10].
Shaykh  Atif  al-Zayn  mengartikan  mabda’  sebagai  aqidah  fikriyyah   (kepercayaan  yang rasional) yang berdasarkan pada akal. Sebab setiap Muslim wajib beriman kepada hakekat wujud Allah,  kenabian Muhammad saw, dan kepada al-Qur’an dengan akal. Iman kepada hal-hal yang ghaib……..itu  berdasarkan  cara  penginderaan  yang  diteguhkan  oleh  akal  sehingga  tidak  dapat  dipungkiri  lagi.  Iman  kepada  Islam  sebagai  Din  yang  diturunkan  melalu  Nabi  Muhammad  saw  untuk  mengatur  hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya dan lainnya[11].
al-Mauwdudi, menyebut ideologi Islam sebagai Islami Nazariyat (worldview) pandangan hidup yang  dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan  manusia  di  dunia.  Sebab  shahadah  adalah  pernyataan  moral  yang  mendorong  manusia  untuk  melaksanakannya dalam kehidupannya secara menyeluruh[12].

Beberapa definisi mengenai ideologi Islam diatas memberikan gambaran bahwa Islam memiliki pemahaman dasar mengenai hakikat manusia yang berasal dari Allah SWT dan harus taat dan patuh dalam melaksanakan perintah Allah SWT.

Dalam sudut pandang Islam, semua aktifitas manusia baik, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan hubungan internasional haruslah mengikuti rel yang telah ditetapkan oleh Islam. Secara epistomologi, Islam mendudukkan akal dalam posisi yang sangat tinggi sebagai alat untuk memahami berbagai persoalan akan tetapi akal tersebut harus tunduk pada hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh wahyu. 

Perspektif Islam dalam Politik dan Hubungan Internasional

Graham E Fuller mendefinisikan mengenai politik Islam sebagai sebuah istilah yang merujuk pada setiap muslim yang meyakini bahwa Quran dan Hadits mengatakan sesuatu hal yang penting mengenai pemerintahan dan masyarakat Islam. Mereka menganggap wajib untuk menerapkannya  meskipun mereka tidak sepakat bagaimana seharusnya diterapkan. Namun, pandangan politik dalam Islam menurut Fuller,  tidak monolitik, tapi berbeda-beda. Ada yang menganggap Islam itu mesti memiliki sebuah negara sendiri dan tidak kompromi terhadap system negara modern. Ada juga yang akomodatif terhadap negara eksistensi negara modern[13]. Mengenai Politik Islam, Mohammad Ayoob, menuliskan bahwa, gambaran politik Islam yang tunggal itu adalah mitos. Ayoob mengutip salah satu perkataan tokoh politik Islam, “it is intellectually imprudent and historically misguided to discuss the relationship between Islam dan Politics as if there were on Islam timeless and eternal[14]”.

Ada yang menganggap wajah politik islam itu berbeda-beda, tapi ada juga yang menganggap wajah politik Islam yang diakui oleh sumber-sumber ajaran Islam adalah satu yaitu system politik Khilafah. Diantara pendukungnya adalah, Syekh Muhammad Rashid Ridha, Dr. Diauddin Rais dan Gerakan politik global Hizb-Tahrir.

Syekh Muhammad Rasyid Ridha mengatakan dalam kitabnya Al-Khilafah:

الْخلافَة، والإمامة الْعُظْمَى، وإمارة الْمُؤمنِينَ، ثَلَاث كَلِمَات مَعْنَاهَا وَاحِد، وَهُوَ رئاسة الْحُكُومَة الإسلامية الجامعة لمصَالح الدّين وَالدُّنْيَ

“Al-Khilafah dan Imamah Uzma, Imarah al-Muslimin, adalah tiga kata yang bermakna satu. Yang berarti kepemimpinan yang berdasarkan hukum-hukum islam secara keseluruhan untuk kemaslahatan agama dan dunia”.

Hukum mendirikan khilafah adalah wajib bagi seluruh kaum muslimin atau Fardhu Kifayah. Diwajibkan karena beberapa alasan, pertama kesepakatan para sahabat (ijma sahabat) setelah meninggalnya nabi Muhammad, Nas-nas al-Quran dan Sunnah, kemudian tidak sempurna penerapan hukum Islam jika Khilafah tidak ditegakkan[15].

Khilafah adalah sebuah bentuk pemerintahan yang monolith yang diakui dalam Islam. Dengan wajah politik Islam yang berbeda-beda saat ini hal itu tidak bisa menegasikan bahwa, wajah politik Islam adalah satu yaitu Khilafah. Kewajiban tersebut menurut Dr. Dhiauddin Rais disepakati oleh mayoritas kaum muslim baik Ahlu Sunnah, Murjiah, Khawarij, Muktazilah dan Syiah. Sebagai rujukan untuk menerapkan Khilafah, Kelompok ulama ahlu sunnah menganggap bahwa Khulafaa Rasyidin dapat dijadikan contoh, prototype, yang menjadi sumber kaidah fundamental, teladan inspiratif, dan landasan-landasan sebuah system pemerintahan yang Islami[16]. Hizbut Tahrir mengeluarkan sebuah buku yang cukup lengkap mengenai system pemerintahan dalam Islam, mulai dari system pemerintahan dalam Islam, prosedur memilih pemimpin, kriteria memilih dan menurunkan pemimpin, lembaga-lembaga negara dan fungsi-fungsinya[17].

Usaha untuk menghadirkan perspektif Islam dalam Hubungan Internasional pernah digagas oleh Sosial Kajian TImur Tengah (Association of Middle East Studies) dalam pertemuan tahunan pada tahun 2011. Salah satu misi dalam diskusi tersebut adalah menengahi dua struktur pengetahuan (body of knowledge) antara studi hubungan internasional yang bersumber dari negara-negara Barat (Inggris dan Amerika) dan Kajian Islam yang dikembangkan dari negara-negara muslim. Tulisan-tulisan dari hasil pertemuan tersebut dikumpulkan dan menjadi sebuah buku. Dalam pengantar buku tersebut, Nasef Annabilang Adiong, mengatakan, jika pemikir Hubungan Internasional di barat mampu menghubungkan antara kajiah HI dengan sejarah barat dan Kristen, Islam juga pasti mampu dan memungkinkan untuk memahami, dan menginterpretasi hubungan internasional.

Namun, dalam buku tersebut belum merumuskan sebuah perspektif baru bagaimana Islam dihadirkan sebagai perspektif baru dalam Hubungan Internasional. Dalam tulisan pengantarnya, Adiong hanya mengeritik para ilmuwan yang cenderung melihat kajian Islam dalam sudut pandang epistimologi sekuler yang berasal dari tradisi judeo-kristen dalam hal pemisahan gereja dan pemerintahan. Sementara menurut, Adiong, Islam dan politik adalah satu dan tidak terpisah sebagaimana tradisi sekuler Hubungan Internasional saat ini[18]. Adiong menutup komentarnya dengan menuliskan harapan untuk mengkonstrukis proposes ontologi dan epistimologi untuk menghadirkan Islam dalam sebuah skema atau perpektif  yang spesifik dan tetap dalam teori hubungan internasional[19].

Politik dalam Islam atau siyasah, dalam pandangan Adnan Khan, mengatur persoalan sebuah negara baik di dalam atau di luar negeri. Dalam aspek luar negeri, negara Islam menjalin hubungan dengan negara, masyarakat dan bangsa lain serta menyebarkan ideologi Islam ke seluruh dunia. Menurut Adnan, konsep politik internasional dalam Islam tidak berubah dan bersifat tetap. Yakni menyebarluaskan Islam kepada setiap negara dan masyarakat. Konsep ini tidak berubah sejak zaman rasul, khulafaaur rasyidin, hingga era Usmani.  Terdapat beberapa panduan hubungan internasional yang ada di dalam Islam[20]:

1.        Mengemban dakwah Islam di seluruh dunia dan Islam menjadi panduan kerjasama antar negara.

2.        Yang menjadi dasar negar adalah Islam

3.        Manuver politik penting dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri.

4.        Salah satu cara dalam bermanuver adalah membuka kejahatan negara yang lain, membongkar konspirasi yang berbahaya, dan juga orang-orang yang menyesatkan.

5.        Tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara.

6.        Negara-negara yang bekerjasama dengan negara Islam diperlakukan sama. Dan untuk beberapa aspek terjadi pembatasan kerjasama seperti dalam perdagangan.

7.        Negar Islam tidak boleh bekerjasama dengan negara-negara penjajah[21].

Adnan Khan disini telah memberikan sedikit gambaran terkait Islam dalam hubungan internasional. Bagaimana Islam melakukan hubungan dengan negara-negara yang lain. Namun dalam bukunya, Adnan Khan tidak menjelaskan secara lebih detail bagaimana ideologi Islam bisa menjelaskan fenomena-fenomena dalam hubungan internasional. Tapi, ini adalah langkah positif atau maju dalam usaha untuk merumuskan sebuah perspektif baru dalam hubungan internasional yaitu Islam.
Kesimpulan
Untuk membangun akhlakul Kariimah dalam profesi sebagai dosen hubungan internasional maka, yang perlu dikonstruksi dulu adalah paradigma dasar dalam ilmu hubungan internasional. Paradigma dalam hubungan internasional saat ini lahir dari era modernisme yang menjauhkan negara dari agama. Sehingga, perilaku negara-negara saat ini begitupun halnya dengan pemikir-pemikir dalam hubungan internasional sangat terpengaruh oleh paradigma-paradigma tersebut. Islam adalah sebuah bangunan paradigma tersendiri yang berbeda dengan ideologi-ideologi yang lain. Oleh sebab itu, untuk menciptakan karakter negara dan karakter ilmuwan yang berakhlak mulia maka, ilmu hubungan internasional dan politik harus dibentuk dengan asas Islam.

Referensi:

Rachman, Budhy Munawar. 2010. Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat

Al-Rasheed, Madawi. 2007. Contesting the Saudi State: Islamic Voices from a New Generation. New York: Cambridge University Press

An-Nabhani, Taqiuddin.2007. Peraturan Hidup dalam Islam. Jakarta Selatan. HTI Press

Al-Quran Al-Kariim

Burchill, Scott. 2005. Theories of International Relations. Third edition. New York: Palgrave Macmillan

Bennett, Clinton. 2005. Muslims and Modernity: An Introduction to the Issues and Debates. London: Continuum

Sargent, Lyman Tower. 2009. Contemporary  Political Ideologies: A Comparative Analysis

Fourteenth Edition. Belmon: Wadsworth

Syarkazy, Hamid Fahmi. Tt. Pandangan Hidup dan Tradisi Intelektual Islam (Eksposisi awal framework pemikiran Islam). Makalah yang disampaikan di Institute of Islamic Thought and Civilization. Jakarta: Insist

Fuller, Graham & Marcel Kurpershoek. 2005. What Future for Political Islam?: dilemmas and opportunities

for  the  next  decade. The Hague: WRR / Scientific Council For Government Policy

Ayoob, Mohammed. 2011. The many Faces of Political Islam: Religion and politics in the Muslim World. United States of America: The University of Michigan Press

Ridha, Muhammad Rashid. 1354 H. Al-Khilafah. Kairo: Az- Zahra Lil I`lam Al-Arabi, Versi Maktabah Syamilah

Rais, M. Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press

Hizb Tahrir. 2005. Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah. Beirut: Dar al-Ummah

Adiong, Nassef Manabilang. 2013. International Relations and Islam: Diverse Perspectives. UK: Cambridge Scholars Publishing

Khan, Adnan. 2009. Constructiong Khilafah Foreign Policy. United Kingdom: Khilafah. Com

Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme Dan Sekularisme Agama. http://mui.or.id/files/07-Fat%20Munas-Pluralisme.pdf, diakses 12/09/2014







[1] Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme Dan Sekularisme Agama. http://mui.or.id/files/07-Fat%20Munas-Pluralisme.pdf, diakses 12/09/2014

[2] Budhy Munawar-Rachman. 2010. Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta:   Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)

[3] Madawi Al-Rasheed. 2007. Contesting the Saudi State: Islamic Voices from a New Generation. New York: Cambridge University Press, Hal 45

[4] Taqiuddin An-Nabhani. Peraturan Hidup dalam Islam. Jakarta Selatan. HTI Press, Hal: 196-198

[5] Al-Quran Al-Kariim

[6] Scott Burchill. 2005. Theories of International Relations. Third edition. New York: Palgrave Macmillan

[7]Ibid,

[8] Clinton Bennett. 2005. Muslims and Modernity: An Introduction to the Issues and Debates. London: Continuum, hal: 24

[9] Lyman Tower Sargent. 2009. Contemporary  Political Ideologies: A Comparative Analysis

Fourteenth Edition. Belmon: Wadsworth, hal: 2

[10] Taqiuddin An-Nabhani. Op.cit, hal: 43

[11] Hamid Fahmi Syarkazy. Tt. Pandangan Hidup dan Tradisi Intelektual Islam (Eksposisi awal framework pemikiran Islam). Makalah yang disampaikan di Institute of Islamic Thought and Civilization. Jakarta: Insist

[12] Ibid,

[13] Graham Fuller & Marcel Kurpershoek. 2005. What Future for Political Islam?: dilemmas and opportunities

for  the  next  decade. The Hague: WRR / Scientific Council For Government Policy, hal: 15-18

[14] Mohammed Ayoob. 2011. The many Faces of Political Islam: Religion and politics in the Muslim World. United States of America: The University of Michigan Press, Hal: 15

[15] Muhammad Rashid Ridha. 1354 H. Al-Khilafah. Kairo: Az- Zahra Lil I`lam Al-Arabi, Versi Maktabah Syamilah

[16] M. Dhiauddin Rais. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press. Hal: 124-126

[17] Hizb Tahrir. 2005. Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah. Beirut: Dar al-Ummah

[18] Nassef Manabilang Adiong. 2013. International Relations and Islam: Diverse Perspectives. UK: Cambridge Scholars Publishing, hal: 6-7

[19] Ibid, 8

[20] Adnan Khan. 2009. Constructiong Khilafah Foreign Policy. United Kingdom: Khilafah. Com, Hal:  6

[21] Ibid, hal: 24-25

0 komentar:

HIKMAH DISYARIATKANNYA PERNIKAHAN DALAM ISLAM: Tinjauan Kesehatan Fisik, Psikologis dan Politik


Makalah SIASIDI Prajabatan Calon Dosen Tetap Universitas Islam Indonesia 2014 

     A.    Pendahuluan

Sudah menjadi Sunnatullah bahwa jalan satu-satunya untuk mempertahankan keberlangsungan spesies manusia di permukaan bumi ini adalah dengan bersatunya sperma laki-laki dan sel telur perempuan melalui hubungan seksual yang terjadi diantara mereka. Bapak Manusia, Adam Alaihissalam manusia pertama yang diciptakan Allah swt dalam sebuah riwayat diceritakan bawah dia  diperintahkan oleh Allah untuk menikahkan ke empat anak kembarnya secara silang. Qabil yang kembar dengan Iqlimah, sementara Habil kembar dengan Labuda. Keempat anak ini dinikahkan untuk beranak-pinak lagi sampai seterusnya.

Namun, hubungan seksual meski menjadi jadi jalan untuk mewariskan keturunan tapi, dalam sejarah manusia  hubungan tersebut mesti dilandasi pengakuan atau legitimasi dari masyarakat bahwa sepasang laki dan perempuan tersebut sah untuk menjalin hubungan dan hidup secara bersama. Legitimasi itulah yang disebut sebagai marriage atau pernikahan. Notes dan Queries dan Kathleen Gough mendefinisikan pernikahan sebagai “reference to the legitimacy of children”.

Menurut Arlene Skolnick, Marriage atau pernikahan adalah:

Mariages, socially recognized and approved union between individuals, who commit to one another with the expectation of a stable and lasting intimate relationship. It begins with a ceremony known as a wedding, which formally unites the marriage partners. A marital relationship usually involves some kind of contract, either written or specified by tradition, which defines the partners’ rights and obligations to each other, to any children they may have, and to their relatives. In most contemporary industrialized societies, marriage is certified by the government[1].


William A aviland dkk  (2011) dalam buku  Cultural Anthropology: The Human Challenge disebutkan defenisi, pernikahan sebagai:

Marriage (also called matrimony or wedlock) is a socially or ritually recognized union or legal contract between spouses that establishes rights and obligations between them, between them and their children, and between them and their in-laws. The definition of marriage varies according to different cultures, but it is principally an institution in which interpersonal relationships, usually sexual, are acknowledged. In some cultures, marriage is recommended or considered to be compulsory before pursuing any sexual activity. When defined broadly, marriage is considered a cultural universal[2].


Secara historis pernikahan pertama yang tercatat dalam sejarah sekitar 4.000 tahun yang lalu di Mesopotamia. Secara umum dimasyarakat kuno, pernikahan berfungsi untuk menjaga hubungan kekuasaan antara seorang raja dengan penguasa yang lain melalui aliansi dan melahirkan keturunan yang akan mewarisi kekuasaan sah dari kerajaraan.  Dalam sejarah kuno juga banyak dikisahkan lazimnya praktek poligami seperti, yang tercantum dalam bible, Raja Sulaiman (king Salomon) memiliki 700 istri dan 300 gundik. Praktek poligami itu juga dipraktekkan di China, Africa dan masyarakat Mormon di Amerika.

Dalam sejarah Romawi Kuni, pernikahan diatur dalam imperial law, hukum imperium. Namun, abad 5 masehi, saat imperium rowami runtuh gereja mengambil alih fungsi pengatur pernikahan dan menjadikannya sebagai sebuah ikatan suci. Pernikahan dibarat kemudian semakin beragam di era modern saat ini. Marilyn Yalom, Penulis buku A History of the Wife, mengatakan bahwa di tahun 1970 hukum pernikahan menjadi netral gender dalam demokrasi barat. "marriage law had become gender-neutral in Western democracy." Munculnya alat kontrasepsi juga  secara fundamental mentransformasi pernikahan. Pasangan bisa memilih berapa banyak anak yang ingin atau tidak ingin dilahirkan. Jika mereka tidak bahagia mereka bisa saja bercerai. Menurut, Yalom, pernikahan tinggal menjadi kontrak personal antara dua pihak yang setara yang sedang mencari cinta, kenyamanan dan kebahagiaan. Defenisi baru ini, dianggap oleh Yalom sebagai pembuka pinta bagi praktek pernikahan gay dan lesbianisme. Mengutip E.J. Graff  "We now fit under the Western philosophy of marriage,"[3].

Di masyarakat Arab sendiri sebelum Islam datang dan mengubah tradisi pernikahan Arab telah dikenal terdapat 4 jenis pernikahan sebagaimana disebutkan dalam Kitab Shahih Bukhari:

1.         pernikahan sebagaimana dilakukan orang-orang pada saat sekarang ini, iaitu seorang laki-laki meminang kepada wali sang wanita, kemudian memberikannya mahar lalu menikahinya.

2.        Seorang suami berkata kepada isterinya pada saat suci (tidak haid/subur): “Temuilah si Fulan dan bergaullah (bersetubuh) dengannya.” Sementara sang suami menjauhinya sementara waktu (tidak menjimaknya) hingga benar-benar ia (isteri) positif hamil dari hasil persetubuhannya dengan laki-laki itu. Dan jika dinyatakan telah positif hamil, barulah sang suami tadi menggauli isterinya bila ia suka. Ia melakukan hal itu, hanya untuk mendapatkan keturuan yang baik. Istilah nikah ini adalah Nikah Al Istibdlaa’.

3.        Sekelompok orang (kurang dari sepuluh) menggauli seorang wanita. Dan jika ternyata wanita itu hamil dan melahirkan. Maka setelah masa bersalinnya telah berlalu beberapa hari, wanita itu pun mengirimkan surat kepada sekelompok laki-laki tadi, dan tidak seorang pun yang boleh menolak. Hingga mereka pun berkumpul di tempat sang wanita itu. Lalu wanita itu pun berkata: “Kalian telah tahu apa urusan kalian yang dulu (setubuh). Dan aku telah melahirkannya, maka anak itu adalah anakmu wahai Fulan.” Yakni, wanita itu memilih nama salah seorang dari mereka yang ia sukai, dan laki-laki yang ditunjuk tidak dapat mengelak.

4.        Orang ramai berkumpul, lalu menggauli seorang wanita, dan tak seorang pun yang dapat menolak bagi yang orang yang telah menggauli sang wanita. Para wanita itu adalah wanita pelacur. Mereka meletakkan tanda pada pintu-pintu rumah mereka sebagai tanda, siapa yang ingin mereka maka ia boleh masuk dan bergaul dengan mereka. Dan ketika salah seorang dari mereka hamil, lalu melahirkan, maka mereka (orang banyak itu) pun dikumpulkan, lalu dipanggilkanlah orang yang ahli selok belok nasab (Al Qafah), dan Al Qafah inilah yang menyerahkan anak sang wanita itu kepada orang yang dianggapnya sebagai bapanya, sehingga anak itu dipanggil sebagai anak darinya. Dan orang itu tidak boleh mengelak[4].

B. Nikah dalam Perspektif Islam

Nikah dalam Islam adalah sebuah ibadah yang agung dan sangat dianjurkan oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Terdapat banyak ayat atau hadits yang mengungkapkan keutamaan-keutamaan bagi orang yang menikah. Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri dalam kitab Ringkasan Fiqih Islam, mendefiniskan nikah sebagai ikatan syar'i yang menghalalkan percumbuan dari setiap suami  dan isteri. Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah mengatakan, Nikah itu adalah jalan yang dipilih oleh Allah dalam mewariskan keturunan dan memperbanyak jumlah keturunan serta untuk melanjukan kehidupan.

وهي الاسلوب الي اختاره الله للتوالد والتكاثر، واستمرار الحياة، بعد أن أعد كلا الزوجين وهيأهما[5]


Ayat-ayat Al-Quran banyak yang mengutarakan persoalan pernikahan dan keutamaan-keutamaan menikah seperti antara lain[6]:

 “Dan  di  antara  tanda-tanda  kekuasaan-Nya  ialah  Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu  sendiri,  supaya  kamu  cenderung  dan  merasa  tenteram  kepadanya,  dan  dijadikan-Nya  diantaramu  rasa  kasih  dan sayang.  Sesungguhnya  pada  yang  demikian  itu  benar-benar  terdapat  tanda-tanda  bagi  kaum  yang  berfikir”  (QS.  ArRuum:21).

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rosul sebelum kamu dan Kami  memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan .." (Ar-Ra'd: 38)

Dalam hadits-hadits nabi juga disebutkan mengenai pentingnya menikah ini[7]:

Berkata Abdullah bin Mas'ud r.a: suatu ketika kami beberapa orang pemuda  sedang bersama Nabi SAW dalam keadaan tidak memiliki apa-apa, berkatalah kepada kami Rasulullah SAW:

"Wahai sekalian pemuda, barang siapa diantara kalian yang telah mampu  hendaklah dia menikah, karena yang demikian itu lebih menjaga pandangan dan lebih menjaga kemaluannya, dan barang siapa yang belum mampu hendaklah dia  berpuasa, karena itu merupakan benteng baginya" (Muttafaq Alaihi).

Dalam hadits nabi yang lain disebutkan bahwa, salah satu dari sunnah-sunnah para rasul adalah menikah. Dalam hadits nabi yang lain disebutkan bahwa, salah satu dari sunnah-sunnah para rasul adalah menikah. dan beliau juga menyatakan, bahwa harta yang paling baik dari emas dan perak adalah menikahi perempuan yang beriman yang akan bersama bahu membahu dalam keimanan[8].

C.      Hikmah dan Manfaat Pernikahan

Syariat Islam menyuruh umatnya menikah bukan semata kewajiban tanpa hikmah atau manfaat baik dari sudut pandang setiap individu, laki-laki atau perempuan secara biologis, psikologis atau medis ataupun dari sudut pandang kemanfaatan terhadap masyarakat atau negara secara keseluruhan.  Syaikh  Shalih Fauzan Al-Fauzan mengungkapkan terdapat banyak manfaat besar yang bisa diraih dari sebuah pernikahan antara lain[9]:

1.      Tetap  terjaganya  keturunan  manusia,  memperbanyak  jumlah  kaum  muslimin  dan \ menggetarkan orang kafir dengan adanya generasi  yang  berjuang  di  jalan  Allah  dan  membela agamanya.

2.      Menjaga  kehormatan  dan  kemaluan  dari  berbuat  zina yang diharamkan yang merusak masyarakat

3.      Terlaksananya  kepemimpinan  suami  atas  istri  dalam  memberikan  nafkah  dan  penjagaan kepadanya.

4.      Menjaga  masyarakat  dari  akhlak  yang  keji  (zina,  pent)  yang  menghancurkan  moral  serta menghilangkan kehormatan.

5.      Terjaganya  nasab  dan  ikatan  kekerabatan  antara  yang satu dengan yang lainnya serta terbentuknya  keluarga  yang  mulia  yang  penuh  kasih  sayang,  ikatan  yang  kuat  dan  tolong-menolong  dalam kebenaran.

6.      Mengangkat  derajat  manusia  dari  kehidupan  ala  binatang menjadi kehidupan insan yang mulia. 

Saking pentingnya sebuah institusi keluarga dan praktek pernikahan dalam Islam sehingga Islam mengatur pernikahan dari mulai memilih calon pasangan, suami atau istri, meminang, aturan-aturan dalam pernikahan, melakukan hubungan seksual antara suami istri, etika dalam berkeluarga dan mendidik anak. Semua aturan tersebut telah dijabarkan dalam praktek-praktek dalam berkeluarga Nabi Muhammad SAW. Di dalam Islam, nikah adalah sunnah yang sangat agung sebaliknya, hubungan yang terjadi antara pria dan wanita diluar nikah dianggap perbuatan keji dan merupakan cara yang sangat buruk. Perbuatan tersebut di sebut Zina dan dihukum cambuk 100 kali bagi pelaku yang masih lajang dan dihukum rajam, dilempari kepalanya dengan batu setelah ditanam sampai leher hingga pelaku zina tersebut mati.

D.    Manfaat dari Segi Kesehatan

Selain hikmah dari sudut pandang para ulama Islam, manfaat pernikahan juga telah ditemukan dari perspektif kesehatahan Fisik maupun Psikologis. William Farr, ahli epidemiologi Inggris pernah melakukan penelitian mengenai hubungan antara penikahan dan kesehatan pria tahun 1858. Menurut Farr, Dengan menikah akan membuat kadar hormon stres kortisol pria berkurang sehingga mengurangi kemungkinan terkena penyakit kronis dan membuat seseorang hidup sehat lebih lama. Hormon kortisol bisa mempercepat pembentukan plak arteri yang nantinya mengarah pada penyakit aterosklerosis dan jantung.

Hasil Studi tahun 1996  yang berjudul Marital Status and Mortality: The Role of Health juga menyebutkan mengenai hubungan antara menikah dan kesehatan laki-laki. Disebutkan bahwa laki-laki menikah berusia 50-70 tahun memiliki tingkat kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak menikah. Hal in karena laki-laki yang sudah menikah cenderung lebih sedikit terlibat dalam perilaku berisiko seperti mengonsumsi alkohol dan juga tidak merawat diri. Selain itu jika ia sudah memiliki anak akan lebih jauh berperilaku sehat[10]. Dalam AOLHealth disebutkan manfaat menikah, diantaranya:

1.      Menikah bisa mengurangi stress

Studi dari University of California menemukan bahwa orang yang menikah akan lebih bahagia dan mampu mengurangi kadar stressnya dibandingkan dengan orang yang tak menikah. Peneliti mengambil sampel air liur partisipan untuk menguji tingkat kortisol (hormon stress), diketahui orang yang menikah memiliki kadar kortisol yang lebih rendah sehingga tingkat stressnya lebih kurang.

2.      Menikah bisa mengurangi kemungkinan terkena stroke.

Pernikahan bahagia bisa membantu mencegah stroke fatal pada laki-laki. Didapatkan laki-laki yang tidak menikah memiliki risiko 64% lebih tinggi terkena stroke fatal dibandingkan dengan laki-laki menikah.

3.      Menikah mengurangi risiko terkena demensia

Berdasarkan penelitian dari Swedish Medical University Karolinska Institutet,  Orang setengah baya yang hidup sendiri dua kali lebih mungkin mengalami demensia dan penyakit Alzheimer dibandingkan dengan orang yang menikah. Sedangkan orang yang bercerai pada usia setengah baya akan membuatnya memiliki risiko 3 kali lipat.

4.      Menikah dapat menurunkan tekanan darah

Berdasarkan penelitian dari Brigham Young University diketahui laki-laki dan perempuan yang menikah akan memiliki tekanan darah lebih rendah dibandingkan dengan lajang. Hal ini karena pada umumnya orang-orang tersebut memiliki sistem yang lebih teratur dan tidak terlalu cuek lagi dengan kesehatan dirinya sendiri.

5.      Menikah menjauhkan seseorang dari depresi

Pernikahan dapat mengurangi depresi serta kecemasan seseorang. Hasil studi yang dilaporkan dalam Journal of Health and Social Behavior, menunjukkan orang yang sudah memiliki depresi akan mendapatkan dorongan psikologis dari pernikahannya.

6.      Menikah bisa menjauhkan seseorang dari tindakan berisiko

Sebelum menikah umumnya seseorang tidak terlalu memperhatikan kondisi tubuhnya dan bertindak sesuka hati. Tapi studi menunjukkan pernikahan bisa membuat seseorang lebih sedikit terlibat dalam perilaku berisiko seperti mengonsumsi alkohol, sering pulang malam dan juga tidak merawat diri. Hal ini karena ada orang-orang yang harus ia perhatikan selain dirinya sendiri. Selain itu jika ia sudah memiliki anak umumnya akan lebih jauh berperilaku sehat[11].

Dalam artikel di kompas.health online disebutkan, bahwa di Amerika Serikat Di Amerika, para pria yang menikah menduduki tingkat kematian terendah. Pada penelitian yang dilakukan untuk pria berkulit putih, dibandingkan dengan pria menikah maka tingkat perilaku bunuh diri 4x lebih tinggi pada yang menjadi duda, dan 3x lebih tinggi pada pria bercerai. Penelitian untuk pria berkulit hitam, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan pria menikah, kematian karena kanker hati 4x lebih tinggi pada pria bercerai, dan 3x lebih tinggi pada duda. Dalam sebuah hasil laporan penelitian, Pasien yang menikah mempunyai kemampuan bertahan hidup 23% lebih tinggi dibandingkan pasien yang tidak menikah. Para peneliti menyatakan bahwa bertambahnya harapan hidup ini diperoleh dari perlindungan emosi yang dihasilkan oleh pernikahan. Dalam kasus perceraian atau keretakan dalam rumah tangga, sebuah penelitian oleh Kiecolt-Glaser dkk, 1987, menemukan bahwa kekacauan pernikahan berdampak terhadap lemahnya imunitas tubuh. Kekacauan pernikahan akan mempengaruhi kesehatan mental dan dampaknya lebih jauh adalah memperlemah system imun dalam tubuh[12].

Bagi yang berusia muda manfaat kesehatan akan berbeda lagi, Huffington Post mencatat beberapa fakta manfaat nikah muda bagi kesehatan.

1.        Pasangan lebih bahagia

Menurut laporan National Marriage Project's 2013 di Amerika Serikat (AS), persentase tertinggi orang yang merasa sangat puas dengan kehidupan pernikahan adalah mereka yang menikah di usia 20-28 tahun. Sementara wanita yang menggambarkan pernikahan mereka sangat bahagia paling banyak dialami wanita yang menikah pada usia 24-26 tahun.

2.        Pasangan pria berpenghasilan lebih tinggi

Menurut Analisis data survei masyarakat Amerika 2008-2010 mengungkap, para suami yang menikah di usia 20-an akan memiliki tingkat pendapatan tertinggi ketika usia mereka menginjak pertengahan 30-an.

3.        Menikmati lebih banyak bercinta

Pasangan yang menikah di usia 20-an cenderung berhubungan seks lebih sering daripada mereka yang menikah lebih lambat. Dana Rotz dari Harvard University menulis tahun 2011 bahwa menunda usia menikah empat tahun terkait dengan penurunan satu hubungan seks dalam sebulan. Secara keseluruhan, pasangan menikah lebih sering menikmati sesi intim daripada lajang.

4.        Tak ada keuntungan menunda pernikahan

Studi pada 2010 oleh sosiolog Norval Glenn dan Jeremy Uecker menyatakan, usia 25 atau 35 bukan takaran seseorang merasa siap menjalani biduk rumah tangga. Selain itu, menunda pernikahan hingga di atas pertengahan usia 20-an mengakibatkan hilangnya sebagian manfaat emosional dan kesehatan masa dewasa muda yang diperoleh dari pernikahan[13].

E.       Manfaat Menikah Bagi Negara

Menikah adalah sebuah aktifitas yang mengesahkan sebuah hubungan antar dua manusia. Dari pernikahan itu mereka akan saling menjaga dan akan melahirkan generasi-generasi selanjutnya. Dengan adanya institusi pernikahan itu, sebuah proses keberlangsungan kehidupan umat manusia akan terus terjaga dan segala aktifitas dalam sebuah negara akan tetap berjalan dengan baik baik perekonomian, politik, militer dan pendidikan. Seandainya lembaga pernikahan tidak ada, manusia bisa saja tetap bisa melahirkan anak-anaknya. Sulitnya jika tanpa pernikahan, adalah sulitnya menjalani tanggung jawab sebagai kedua orang tua untuk mendidik anak. Sebab motivasi seksual selain dalam lembaga pernikahan kebanyakan hanyalah bersenang-senang belaka. Walhasil, ketika lembaga pernikahan ini sudah tidak dipedulikan lagi bagi umat manusia maka, otomatis akan mengurangi atau memperlambat pertumbuhan penduduk dan mempersulit aktifitas sebuah negara.

Masyarakat yang tidak terlalu peduli terhadap pernikahan dan melahirkan anak saat ini mengalami ancaman krisis populasi. Diantara wilayah yang mengalami ancaman tersebut adalah, negara-negara di Eropa. Menurut laporan PBB, Populasi masyarakat eropa diperkirakan akan jatuh antara tahun 2010-2050. Berdasarkan asumsi fertilitas secara konstan atau standar (under constant fertility assumptions) , populasi seluruh masyarakat Eropa akan merosot dari jumlah 732 juta orang 2010 menjadi 657 juta orang di tahun 2050. Asumsi difawah fertilitas  standar (under low fertility) jumlah populasi Eropa akan merosot dari 609 juta di tahun 2050 menjadi 124 juta orang[14].

            Penurunan kelahiran yang terjadi di Eropa salah satu sebabnya adalah perubahan peran perempuan dalam masyarakat. Sejak tahun 1960an, perempuan di barat mendapatkan akses yang sama dalam bidang pendidikan dan pekerjaan. Dampaknya banyak perempuan yang menjadi pemburu karir dan mencari kerja untuk kebutuhan diri mereka sendiri[15]. Ditambah lagi makna pernikahan di negara-negara barat sudah tidak terbatas lagi pernikahan antar lawan jenis, tapi berbeda jenis juga sudah tidak terlalu dipermasalahkan, seperti pernikahan Homoseksual,  Lesbian atau Gay.

Paus Benedictus  XI dalam salah satu pidatonya tahun 2006 pernah mencurahkan kekhawatirannya mengenai ancaman krisis populasi tersebut dengan mengatakan bahwa:

 “Before these families with their children, before these families in which the generations hold hands and the future is present, the problem of Europe, which it seems no longer wants to have children, penetrated my soul. To foreigners this Europe seems to be tired, indeed, it seems to be wishing to take its leave of history,”[16]

“Sebelumnya keluarga-keluarga ini (eropa) bersama dengan anak-anak mereka, Sebelumnya keluarga-keluarga ini bersama generasi-generasi yang mereka saling berpegangan tangan dan masa depan menanti mereka. Persoalan masyarakat Eropa yang saat ini nampanya sudah tidak ingin memiliki anak lagi merasuk ke dalam jiwaku. Bagi orang asing, kondisi Eropa saat ini seakan terlihat telah letih tapi sungguh seandainya, sejarah yang hilang itu diambil kembali”.

Kasus di Jepang juga sama, dengan jumlah penduduk sekitar 128 juta orang, diperkirakan akan menurun sekitar 1 juta pertahun. Dan  tahun 2060, pemerintah jepang memperkirakan jumlah penduduk jepang menurun menjadi 87 juta orang sekitar seperdua diantaranya lebih dari 65 tahun. Penyebab penurunan tersebut, karena orang-orang Jepang sudah tidak punya hasrat lagi untuk menikah dan berhubungan seks. Sebuah survey menemukan, 45% perempuan dan 25% laki-laki antara 16-24 tahun tidak mengingikan hubungan seks lagi.  Angka pernikahan juga jatuh, dari 21 % perempuan dan 49 % pria usia dibawah 30 yang tidak menikah di tahun 1975 menjadi 60% perempuan dan 72% laki-laki di tahun 2005.

Alasan Pekerjaan menjadi salah satu alasan perempuan tidak menikah. Menikah di Jepang berarti mengakhiri karir dalam kerja. Jika perempuan menikah dan punya anak, akan ada tekanan sosial yang akan dihadapinya dalam lingkungan kerja yang memaksanya untuk berhenti. Begitupun perempuan yang ingin bekerja sambil berkeluarga, perusahaan akan sulit menerimanya.  Di sisi lain, tempat penitipan anak juga sangatlah mahal di Jepang. Bagi pria muda di jepang standar hidup akan jatuh secara drastic jika dia memilih berkeluarga, memiliki istri dan mengasuh anak[17].

Dampak dari krisis populasi yang menimpa negara-negara tersebut diatas adalah, berkurangnya tenaga-tenaga kerja masa depan yang akan menggantikan orang-orang yang sudah tidak produktif lagi. Selain itu, negara butuh sumber daya yang akan mewariskan pemerintahan, pegawai-pegawai di lembaga-lembaga milik pemerintah, angkatan militer, dan lembaga pendidikan. Selain itu, semakin bertambahnya jumlah orang-orang diusia tidak produktif akan menambah beban negara dalam memberikan pension dan bantuan-bantuan sosial yang lain. Seorang pakar demografi, Nicholas  Eberstadt, pernah menyatakan bahwa, demographic  change  may  be  “even  more  menacing  to  the  security  prospects  of  the  Western  alliance  than  was  the  cold  war  for  the past  generation. “perubahan demografi bahkan mungkin saja lebih membahayakan prospek keamanan aliansi negara-negara barat dibandingkan peristiwa perang dingin di masa yang lalu  [18].

F.       Kesimpulan

Menikah merupakan sunnatullah atau law of nature,  sesuatu yang Allah tetapkan bagi manusia dan untuk kebaikan manusia. Jika manusia mengikuti sunnah ini maka, akan berdampak baik bagi kehidupan manusia sendiri baik secara fisik, psikologis maupun manfaatnya terhadap kemajuan umat manusia.

Nikah adalah satu-satunya lembaga yang sah yang diakui oleh masyarakat dalam membangun hubungan antar laki-laki dan perempuan untuk mewariskan keturunan dan membangun rumah tangga. Jika lembaga ini sudah tidak diperhatikan sakralitasnya, maka nasib umat manusia akan terancam. Meremahkan pernikahan dan keluarga secara otomatis mempengaruhi proses lahirnya manusi-manusia baru yang akan mewariskan peradaban umat manusia. Jepang dan negara-negara Eropa telah memberikan contoh untuk hal tersebut.

Dalam Islam, pernikahan telah ditetapkan sebagai sebuah hal yang mulia dan mendapatkan pahala yang tinggi disisi Allah, bahkan orang yang menikah dijamin rejekinya oleh Allah SWT. Sementara bagi yang tidak menikah dianggap tidak mengikuti sunnah para nabi dan rasul. Nikah sebagai sunnatullah saat ini terbukti, bukan saja manfaatnya secara ukhrawi (pahala yang tinggi) tapi telah dibuktikan manfaatnya secara kesehatan, fisik maupun psikologis. Maha benar Allah dalam firmannya dalam surah Ar-Rahman, “ maka nikmat tuhahmu yang manakah yang engkau dustakan”.

Referensi

Sabiq, Sayyid 1977. Fiqh Sunnah. Beirut: Darul Kutub Al-Arabi. Edisi Maktabah Syamilah.

Bararah, Vera Farah. 2010. Menikah Banyak Manfaat Kesehatannya Buat Pria. http://health.detik.com/read/2010/10/29/170000/1478941/766/menikah-banyak-manfaat-kesehatannya-buat-pria?l771108bcj, diakses 10/12/2014

Hobmann, Irish dkk. 2008. Europe`s Demographic Future: Growing Imbalances. Germany: The Berlin Institute for populatin and development

Howe, Neil & Richard Jackson. 2011. Global Aging and the Crisis of the 2020s. Current History.  http://csis.org/files/publication/110104_gai_jackson.pdf, diakses 11/12/2014

Ibrahim At-Tuwaijri, Syaikh Muhammad bin.2012. Ringkasan Fiqih Islam. islamhouse.com, diakses 10/12/2014

Eberspacher, Sarah.2014. Everything you need to know about Japan's population crisis

Japan's birthrate is plummeting. Why have so many young Japanese given up on getting married?

http://theweek.com/article/index/254923/everything-you-need-to-know-about-japans-population-crisis, diakses 11/12/2014

Fauzan, Al-`Allamah Salih Fauzan bin. 2007. Bekal-Bekal Pernikahan Menurut Sunnah Nabi. http://dear.to/abusalma, diakses 10/12/2014

Libreria Editrice Vaticana. 2006. Address of His Holiness Benedict XVI to The Members Of The Roman Curia at The Traditional Exchange of Christmas Greetings, Clementine Hall. http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/speeches/2006/december/documents/hf_ben_xvi_spe_20061222_curia-romana_en.html diakses 11/12/2014

Skolnick, Arlene. 2008. Marriage. Microsoft® Student 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation.

Simanjuntak, Julianto. 2012. Dampak Perkawinan Terhadap Kesehatan Fisik. http://health.kompas.com/read/2012/06/20/08512123/Dampak.Perkawinan.Terhadap.Kesehatan.Fisik, diakses 10/12/2014

Sofia, Maya & Anda Nurlaila. Ini 5 Manfaat Menikah di Usia Muda: Tidak ada keuntungan menunda pernikahan dengan alasan belum siap. http://life.viva.co.id/news/read/459025-ini-5-manfaat-menikah-di-usia-muda, diakses 11/12/2014

The Week Staff. 2012. How marriage has changed over centuries Critics of gay marriage see it as an affront to sacred, time-tested traditions. How has marriage been defined in the past?.  http://theweek.com/article/index/228541/how-marriage-has-changed-over-centuries

Tirkides, Yiannis. 2011. Europe`s Demographic Challenge And Immigration. http://www.notre-europe.eu/media/tgae20111itirkides.pdf?pdf=ok diakses 11/12/2014

______. 2011. 6 Manfaat Kesehatan Yang Didapat Setelah Menikah. http://www.fimadani.com/6-manfaat-kesehatan-yang-didapat-setelah-menikah/, diakses 10/12/2014

________, Marriage, http://en.wikipedia.org/wiki/Marriage#cite_note-1 diakses 11/12/2014



[1] Skolnick, Arlene. "Marriage." Microsoft® Student 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008.

[2] ________, Marriage, http://en.wikipedia.org/wiki/Marriage#cite_note-1

[3] The Week Staff. 2012. How marriage has changed over centuries

Critics of gay marriage see it as an affront to sacred, time-tested traditions. How has marriage been defined in the past?.  http://theweek.com/article/index/228541/how-marriage-has-changed-over-centuries

[4] Sayyid Sabiq.1977. Fiqh Sunnah. Beirut: Darul Kutub Al-Arabi. Edisi Maktabah Syamilah.

[5] Sayyid Sabiq, Op.cit

[6] Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri.2012. Ringkasan Fiqih Islam. islamhouse.com, Hal: 5 diakses 10/12/2014

[7] Ibid, Hal: 5

[8] Sayyid Sabiq, ibid


[9] Al-`Allamah Salih Fauzan bin Fauzan. 2007. Bekal-Bekal Pernikahan Menurut Sunnah Nabi. http://dear.to/abusalma, Hal: 3 diakses 10/12/2014

[10] Vera Farah Bararah. 2010. Menikah Banyak Manfaat Kesehatannya Buat Pria. http://health.detik.com/read/2010/10/29/170000/1478941/766/menikah-banyak-manfaat-kesehatannya-buat-pria?l771108bcj, diakses 10/12/2014

[11] ______. 2011. 6 Manfaat Kesehatan Yang Didapat Setelah Menikah. http://www.fimadani.com/6-manfaat-kesehatan-yang-didapat-setelah-menikah/, diakses 10/12/2014

[12] Julianto Simanjuntak. 2012. Dampak Perkawinan Terhadap Kesehatan Fisik. http://health.kompas.com/read/2012/06/20/08512123/Dampak.Perkawinan.Terhadap.Kesehatan.Fisik, diakses 10/12/2014

[13] Maya Sofia & Anda Nurlaila. Ini 5 Manfaat Menikah di Usia Muda: Tidak ada keuntungan menunda pernikahan dengan alasan belum siap. http://life.viva.co.id/news/read/459025-ini-5-manfaat-menikah-di-usia-muda, diakses 11/12/2014

[14] Yiannis Tirkides. 2011. Europe`s Demographic Challenge And Immigration. http://www.notre-europe.eu/media/tgae20111itirkides.pdf?pdf=ok diakses 11/12/2014

[15] Irish Hobmann dkk. 2008. Europe`s Demographic Future: Growing Imbalances. Germany: The Berlin Institute for populatin and development, Hal: 9

[16] Libreria Editrice Vaticana. 2006. Address of His Holiness Benedict XVI to The Members Of The Roman Curia at The Traditional Exchange of Christmas Greetings, Clementine Hall. http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/speeches/2006/december/documents/hf_ben_xvi_spe_20061222_curia-romana_en.html diakses 11/12/2014

[17] Sarah Eberspacher.2014. Everything you need to know about Japan's population crisis

Japan's birthrate is plummeting. Why have so many young Japanese given up on getting married?

http://theweek.com/article/index/254923/everything-you-need-to-know-about-japans-population-crisis, diakses 11/12/2014

[18] Neil Howe and Richard Jackson. 2011. Global Aging and the Crisis of the 2020s. Current History.  http://csis.org/files/publication/110104_gai_jackson.pdf, Hal: 25


0 komentar:

AQIDAH ISLAM DI TENGAH-TENGAH TANTANGAN ZAMAN: Debat Liberalisme di Internal Kaum Muslim di Indonesia

 
Tugas Makalah prajabatan SIASIDI Calon Dosen Universitas Islam Indonesia

a.        Pendahuluan

Tahun 2005 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa dalam Musyawarah Nasional di Jakarta mengenai Pluralisme, Liberalisme Dan Sekularisme Agama (SIPILIS). Fatwa tersebut secara tegas mengatakan bahwa ketiga itu bertentangan dengan ajaran agama islam. Dan Umat Islam haram mengikuti paham tersebut. Fatwa itu keluar berdasarkan pertimbangan MUI bahwa bahwa paham SIPILIS mulai berkembang di masyarakat dan menciptakan keresahan dalam masyarakat[1].

Fatwa itu direspon oleh kaum kalangan muslim di Indonesia secara beragam. Ada yang berbahagia dan ada yang menolak fatwa tersebut. Para penentang fatwa tersebut mengatakan bahwa Fatwa MUI sebagai lembaga di bawah pemerintah bisa menghasilkan peminggiran atas minoritas karena penguasa telah menggunakan dalil-dalil agama atau memasukkan nilai-nilai agama  dalam negara[2].  Kelompok-kelompok dan para tokoh yang anti fatwa tersebut sering disebut sebagai kelompok beraliran liberal seperti, Jaringan Islam Liberal dan Wahid Institute. Kelompok pendukung fatwa MUI adalah kelompok-kelompok atau tokoh-tokoh yang sering disebut golongan radikal atau fundamentalis seperti, Front Pembela Islam, Hizbut-Tahrir Indonesia, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan Forum Ulama Umat Islam.  Makalah ini akan membahas lebih jauh mengenai isu hubungan liberalisme Islam di Indonesia dan pandangan-pandangan para pendukung dan para penentangnya.

b.        Liberalisme

Dalam Encarta Encyclopedia disebutkan, Liberalism, attitude, philosophy, or movement that has as its basic concern the development of personal freedom and social progress[3]. “liberalisme, dari segi perilaku, filosofi dan gerakan memiliki kepedulian utama yang berkaitan dengan kebebasan individu dan kemajuan sosial.

Liberalism  refers  to  a  broad  array  of  related  ideas  and  theories of government that consider individual liberty to be the most important political goal. Modern liberalism has its roots in the Age of Enlightenment.  Broadly speaking, liberalism emphasizes individual rights and equality of results. Different forms of liberalism may propose very different policies, but they are generally united by their support for a number of principles, including extensive freedom of thought and speech, limitations on the power of governments, the rule of law, the free exchange of ideas, a market or mixed economy, and a transparent system of government.

Liberalisme merujuk pada pada sebuah medan yang luas yang berkaitan dengan ide-ide dan teori-teori pemerintahan yang menganggap bahwa kebebasan individu mesti menjadi tujuan yang terpenting. Liberalisme modern berakar sejak era pencerahan. Lebih luas, liberalisme menekankan hak-hak individu dan kesetaraan hasil. Bentuk-bentuk yang berbeda dari liberalisme bisa saja mengusulkan kebijakan-kebijakan yang berbeda tapi, mereka disatukan oleh sejumlah prinsip termasuk perluasan kebebasan berfikri dan berbicara, pembatasan kekuasaan pemerintah, aturan hukum, pertukaran ide secara bebas, pasar bebas atau campuran, dan system pemerintahan yang transparan[4].

Beberapa defenisi diatas memperlihatkan gambaran yang jelas mengenai liberalisme sebagai sebuah pemikiran yang menekankan pada kebebasan individu. Kebebasan dalam segala aspek kehidupan baik politik, ekonomi, dan berbudaya. Kebebasan itu juga menjadi pondasi dari berdirinya sebuah negara yang lazim di sebut sebagai negara demokrasi. 

John Locke, salah seorang pemikiran aliran liberal dalam karyanya From The Second Treatise on Government, mengatakan bahwa, Seorang manusia disaat dilahirkan ke permukaan bumi ini telah mewarisi sebuah kebebasan yang sempurna dan kesenangan atas semua hak-hak dan previlij yang diberikan oleh Law of Nature (Hukum Alam) atau kehendak tuhan (will of god). Hak-hak dasar tersebut sama untuk semua manusia. Kekuasaan atau negara hadir untuk menjaga hak-hak dasar manusia, termasuk hak hidup, kebebasan dan hak atas harta juga kewajiban negara untuk menghilangkan segala ancaman fisik antar manusia satu dan yang lain kecuali pelaksanaan hukuman bagi yang melanggar hukum[5]. Dalam karya itu juga, Locke menyatakan ketidak setujuannya terhadap sebuah kekuasaan monarki absolut karena bertentangan dengan konsep masyakarat sipil yang diakui dalam Law of nature, John Locke mengatakan “evident that absolute monarchy, which by some men is counted for the only government in the world, is indeed inconsistent with civil society, and so can be not form of civil government at all”. 

Menurut Murray, Prinsip ini sebenarnya menunjukkan penentangan locke terhadap doktrin divine rights of Kings, konsep yang menyatakan bahwa seorang raja tidak akan bisa melakukan kesalahan karena otoritasnya berasal dari tuhan dan segala aktifitasnya adalah pengejawantahan kehendak tuhan. Locke menganggap bahwa para raja adalah manusia biasa yang bisa saja berbuat salah sehingga juga harus taat pada hukum moral dan raja bisa saja melanggar hukum-hukum tersebut[6].

Liberalisme meskipun berasal dari sejarah panjang peradaban barat akan tetapi juga merasuk ke dalam pemikiran umat islam di dunia dan akhirnya di kenal sebagai salah satu mazhab pemikiran di kalangan intelektual muslim dengan nama Islam Liberal. Penamaan ini pertama kali diperkenalkan oleh Asaf Ali Asghar Fyzee, seorang muslim intelektual dari India tahun 1950an. Jauh sebelumnya diabad 19, banyak pemikir Islam juga yang sering dianggap sebagai pencetus ide-ide liberal dalam Islam seperti Jamal al-Din al Afghani, Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Abduh yang menekankan pada ide kebebasan dari taqlid dan memperluas hak-hak kebebasan untuk berijtihad.

Disebut sebagai Islam liberal karena mazhab pemikiran ini memperjuangkan kebebasan individu dan pembebasan dari dominasi struktur sosio-politiks yang tidak sehat dan menindas. Mazhab Liberal ini menginginkan sebuah praktek keberagamaan yang inklusif dan memperjuangkan reinterpretasi ajaran-ajaran[7]. Reinterprestasi terhadap ajaran Islam, menurut aliran ini, dibutuhkan karena tafsir terhadap teks-teks keberagamaan atau wahyu dalam Islam tidak mungkin bisa mencakup semua makna dari teks-teks tersebut. Sehingga dalam perspektif Liberal, tidak boleh ada kata eksklusif dalam memahami agama.

Pandangan Islam liberal dalam bermasyarakat atau bernegara mengadopsi tradisi pemikiran liberal barat dalam isu-isu yang berkaitan dengan demokrasi, pemisahan otoritas agama dalam negara, hak-hak perempuan, kebebasan dalam berfikir dan memperjuangkan kemajuan umat manusia.  Ahmad Bunyan Wahib memberikan gambaran sederhana mengenai Islam Liberal bahwa, terminologi Islam Liberal mengacu pada pemahaman Islam melalui pendalaman makna-makna essensial dalam teks-teks wahyu dalam Islam dengan menggunakan buah dari modernitas[8]. Pemikir-pemikir Islam Liberal yang terkenal di dunia diantaranya adalah Prof. Dr. Nasr Hamid  Abu  Zayd  dan  Mohammed  Arkoun.

c.         Liberalisme Islam di Indonesia

Istilah Islam liberal di Indonesia mendapatkan ketenarannya di awal-awal tahun 2000an. Ide ini dikampanyekan oleh kelompok  yang bernama Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dipimpin oleh Ulil Abshar Abdallah. Sebelum generasi ini muncul, sebelumnya sudah banyak tokoh-tokoh yang berpandangan liberal di Indonesia seperti, Harun Nasution, Dadwam Rahardjo, Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid dan Musdah Muliah. Namun, secara terorganisir, Jaringan Islam Liberal inilah yang gencar melakukan berbagai aktifitas untuk mendiseminasi ide-ide Islam liberal di Indonesia.

Kegiatan utama kelompok ini adalah berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam, negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Anggota-anggotanya adalah para penulis, intelektual dan para pengamat politik seperti, Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep Saefullah Fatah, Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Muzani, Hamid Basyaib, Ade Armando dan Luthfi Assaukanie.

Selain diskusi rutin yang diadakan oleh kelompok ini, mereka juga menyebarkan ide melalui media massa seperti Jawa Pos yang terbit di Surabaya, Tempo di Jakarta dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta Mereka  juga rajin menulis buku-buku dan artikel-artikel yang memuat mengenai pemikiran-pemikiran Islam Liberal seperti, Buku seperti Fiqih Lintas Agama (Tim Penulis Paramadina), Menjadi Muslim Liberal (Ulil Abshar-Abdalla) Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Musda Mulia dkk), Indahnya Perkawinan Antar Jenis (Jurnal IAIN Walisongo)[9].

Dalam website resmi JIL tertulis tujuan dari gerakan ini bahwa tujuan utamanya adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Sementara visi dan misinya, Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut kelompok islam liberal, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak. Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Dengan terbukanya ruang dialog, menurut mereka,  akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat. Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi[10].

Islam liberal dalam perspektif Jaringan ini juga tertulis dan terjabarkan dalam website kelompok ini: 

a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.

Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).

b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.

Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur'an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.

c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.

Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.

d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.

Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.

e. Meyakini kebebasan beragama.

Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.

f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.

Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.

Tahun 2001 Ulil Abshar Abdallah membuat tulisan di kompas yang berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, tulisan itu bagi kaum muslimin mayoritas Indonesia sangatlah sensitif karena isi dari tulisan tersebut menggugat berbagai hukum-hukum yang sudah dianggap qath`ie atau tidak perlu dipersoalkan lagi bagi kaum muslimin seperti kewajiban jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubbah yang merupakan ekspresi kebudayaan Arab dan tidak wajib diikuti. Larangan kawin beda agama, antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam yang dalam pemahaman umat Islam mayoritas tidak boleh dianggap oleh Ulil sudah tidak relevan lagi. Kemudian penolakan terhadap campur tangan kekuasaan agama terhadap negara[11].

Tulisan ini menuai banyak protes dan kritikan dari berbagai kalangan di Indonesia. Diantara respon serius terhadap artikel Ulil tersebut yaitu respon FUUI, Forum Ulama Umat Islam, yang dipimpin oleh Athian Ali. Tidak lama setelah artikel Ulil dipublis Kompas, FUII mengadakan pertemuan di Bandung. Salah satu topik diskusinya adalah berkaitan dengan artikel Ulil. Disimpulkan dari pertemuan tersebut, artikel Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, adalah tindakan yang menghina Islam. Dan pihak kepolisian harus mencegah segala aktifitas dari penghinaan terhadap ajaran agama Islam. Serta, bagi orang-orang yang menghina Islam harus di hukum mati[12].

d.        Bantahan terhadap Ide Liberalisme Islam

Diantara yang gencar menentang pemikiran-pemikiran dari jaringan Islam Liberal di Indonesia adalah kelompok insist, (institute Islamic thought and civilization), Hizbut-tahrir Indonesia dan tokoh seperti Hartono Ahmad Jaiz. Dalam Website resmi Insist dimuat banyak artikel dan makalah yang menuliskan bantahan terhadap berbagai pemikiran Islam Liberal terkait kebebasan beragama, sekularisme, pluralisme, pernikahan beda agama, tafsir dengan metode hermeneutika dan gender.

Adian Husaini, anggota Insist dan juga ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, menuliskan bantahannya terhadap ide Pluralisme yang dibawa oleh Islam Liberal.  Menuruti Adian, dalam pandangan Islam paham pluralisme agama adalah racun yang melemahkan keimanan dan keyakinan akan kebenaran Islam. Adian Mengutip ayat dalam al-Quran yang membantah klaim dari faham pluralisme agama[13]:

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu daripada dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali Imran: 85). “Sesungguhnya agama yang (diridhoi disisi Allah hanyalah Islam” (QS Ali Imran: 19)

Dalam sebuah hadist nabi disebutkan:

“Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tiada ada seorang pun baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yangaku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni negara.” (HR. Muslim)

Kesimpulannya, Adian Husaini mengungkapkan, Pluralisme agama jelas membongkar Islam dari konsep dasarnya. Dalam faham ini, tidak ada lagi konsep mukmin, kafir, syirik, sorga, negara dan sebagainya. Karena itu, mustahil paham pluralisme agama bisa hidup berdampingan secara damai dengan tauhid Islam. Sebab, keduanya bersifat saling menegasikan.

Islam tidak mengakui konsep pluralisme agama akan tetapi bukan berarti Islam tidak toleran terhadap agama yang lain selain Islam. Menurut Adian, Di dalam Islam telah sangat dikenal konsep bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Sebagai konsep toleransi antar umat beragama[14].

Adian Husaini juga mengeritik faham kebebasan beragama ala kelompok Liberal.  Kelompok Islam liberal memberikan kebebasan dalam beragama apapun. Contoh polemik mengenai kebebasan beragama di Indonesia, saat munculnya aliran-aliran yang telah dianggap sesat oleh Majelis Ulama Indonesia dan ormas-ormas Islam di Indonesia seperti, Ahmadiyah dan Aliran Lia Eden. Bagi kelompok liberal, kelompok-kelompok tersebut tidak boleh diganggu apalagi diberantas karena melanggar hak asasi mereka sebagai manusia yang punya hak memilih keyakinannya masing-masing.  Namun, di kalangan mayoritas umat Islam dan kelompok Islam, pendapat kelompok liberal ini salah. Aliran Ahmadiah dan Lia Eden adalah bentuk penghinaan dan penistaan agama.

Menurut Adian, Konsep kebebasan beragama dalam Islam berbeda dengan konsep kebebasan barat. Konsep kebebasan barat memiliki batasan yang tidak jelas, sementara Islam memiliki konsep ikhtiyar yakni Islam mengajak manusia memilih kebaikan bukan kejahatan. Sebab tujuan hidup manusia adalah menjadi orang yang taqwa kepada Allah[15].

Nuim Hidayat mengatakan bahwa  dalam Islam dikenal konsep amar ma`ruf nahi munkar, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran. Di negara barat tidak memiliki konsep mengenai hal ini. Terkadang negara barat, melakukan amar ma`ruf dan terkadang melakukan amar mungkar. Atau terkadang nahi ma`ruf dan terkadang nahi mungkar. Karena dibarat memang tidak mengenak defenisi ma`ruf (baik) dan munkar (keburukan). Dalam  Islam  yang  disebut  makruf  adalah  hal-hal  yang  sesuai  atau  tidak  bertentangan  dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah, sedangkan  yang  disebut  mungkar  adalah  hal-hal  yang bertentangan  dengan  Al-Qur’an  dan  asSunnah. Seperti Islam melarang pornografi, zina, lesbian, minum alkohol, makan riba, mewajibkan menutup Aurat dan mengharamkan murtad dari Islam.  Sementara dalam perspektif kebebasan barat, yang juga diadopsi oleh Islam Liberal, batasan kebebasan tidak jelas sehingga berbagai hal yang diharamkan oleh Islam dalam sudut pandang liberal boleh[16]. 

Kritik terhadap relativisme kebenaran[17]  dilontarkan oleh Adnin Armas, mengutip Sa’d a-Din al-Taftazani (1312-1390) bahwa  kalangan  relativis  adalah  kaum  Sophis.  Mereka  terbagi  kepada  3  golongan,  yaitu  al-‘inadiyah (keras  kepala),  al-‘indiyyah (subjektifisme)  dan  al-laadriyah (agnostisme). Kesemua itu tidaklah sesuai dengan konsep ilmu dalam Islam. Konsep ilmu dalam Islam  bersumber  kepada  Wahyu  yang  didukung  oleh  akal  dan  panca-indera.  Wahyu  dalam  Islam  telah  lengkap,  sempurna  dan  otentik.  Nama  Islam,  keimanannya,  amalannya,  ibadahnya dan doktrinnya telah ada dalam wahyu seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah saw[18].

Hendri Salahuddin menuliskan bahwa dalam Islam hanya ada dua konsep yaitu antara Ilmu (yakin)  dan Shakk (ragu). Orang-orang yang bertauhid, meyakini keesaan Allah, kerasulan Muhammad dan Al-Quran disebut sebagai orang memiliki ilmu yang pasti atau yakin sementara orang-orang yang meragukan konsep-konsep aqidah dalam Islam sering disebut kalangan shakk atau digelari orang-orang yang jahil atau bodoh. Oleh sebab itu, dalam Islam tidak ada ruang untuk relativisme kebenaran[19].

Mengenai sekulerisme, Hizbut-Tahrir adalah kelompok yang paling menentang ide ini. Menurut Syekh Taqiuddin An-Nabhani, pendiri Hizbut-Tahrir,  Islam dan negara bukanlah sebuah entitas yang terpisah. Negara dalam Islam berfungsi mengatur seluruh urusan rakyat dan melaksanakan aktifitasnya sesuai dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya[20]. Negara yang dimaksud oleh Hizbut Tahrir adalah Khilafah Islamiyah. Hukumnya wajib bagi seluruh kaum muslimin dan berdosa jika tidak dilaksanakan. Sebab kewajiban mengangkat seorang khalifah telah ditetapkan berdasarkan Al-Quran, As-Sunah dan Ijma’ Sahabat[21]. Pendapat ini bertentangan secara mutlak dengan pendapat Islam Liberal yang berpandangan Islam tidak mewariskan konsep-konsep tentang negara dan umat Islam bebas untuk bereksperimen untuk mencari sendiri bentuk negara yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Aliran Islam Liberal ini menurut Hartono Ahmad Jaiz memiliki banyak kelemahan-kelemahan pokok yang secara otomatis menjadikan pendapat-pendapat mereka tidak memiliki nilai ilmiah sedikit pun. Kelemahan-kelemahan pokok tersebut antara lain :

1.  Tidak punya landasan/ dalil yang benar.

2.  Tidak punya paradigma ilmiyah yang bisa dipertanggung jawabkan.

3.  Tidak mengakui realita yang tampak nyata.

4.  Tidak mengakui sejarah yang benar adanya.

5.  Tidak punya rujukan yang bisa dipertanggung jawabkan.

Kelemahan-kelemahan itu bisa dibagi dua:

1.  Lemah dari segi metode keilmuan.

2.  Lemah dari segi tinjauan keyakinan atau teologis[22].

Liberalisasi di dunia Islam yang mengkampanyekan ide-ide, sekuleralisme, relativisme agama, dan pluralisme  menurut Adian Husaini adalah bagian dari agenda negara-negara barat. Setelah perang dingin, Islam dianggap menjadi ancaman terbesar oleh negara-negara barat. Oleh sebab itu, barat berusaha sekuat tenaga untuk melemahkan Islam. Dan salah satu programnya adalah liberalisasi pemikiran Islam. Adian mengutip, David E. Kaplan, mengenai penggelontoran dana pemerintah Amerika Serikat untuk mendanai kampanye mengubah Islam. Termasuk mendanai acara-acara radio Islam, TV, pusat-pusat kajian, sekolah-sekolah dsb untuk mempromosikan Islam moderat[23].

e.         Kesimpulan

Paham Islam Liberal atau penggunaan metodolog aliran Liberal dalam Islam menimbulkan respon positif ataupun negatif di dunia Islam. Di Indonesia, kelompok yang terkenal dengan gerakan kampanye Islam Liberal ini adalah Jaringan Islam Liberal. Gerakan ini mengkampanyekan tafsir ulang terhadap tafsir al-Quran yang selama ini sudah mapan di pahami oleh mayoritas umat Islam. Mempertanyakan ulang praktek-prakek keberagamaan umat Islam seperti, hukum-hukum pidana dalam Islam, pernikahan beda agama, dan penggunaan jilbab. Kelompok liberal juga anti dengan campur tangan agama dalam negara. tidak ada negara Islam dalam kamus aliran Islam Liberal.

Kelompok-kelompok yang gencar mengkampanyekan penolakan terhadap aliran Islam Liberal ini sering digolongkan sebagai kelompok Islam berpaham radikal, literalis atau fundamentalis. Seperti Insist dan Hizbut- Tahrir. Kelompok-kelompok ini sangat anti dengan pemikiran-pemikiran yang dibawa oleh kalangan Islam liberal. Pemikiran-pemikiran Islam liberal dianggap sesat dan bisa merusak ajaran Aqidah Islam sendiri.

Demikianlah gambaran polemik antar umat Islam dalam merespon sebuah ide baru yang berinteraksi dengan dinamika pemikiran di tengah-tengah umat Islam. Munculnya polemik ini sangat potensial terjadi sebab memang dalam Islam mengoptimalkan potensi berfikir adalah sebuah hal yang sangat diutamakan dan mendapatkan predikat yang tinggi. Namun, interaksi dengan berbagai pemikiran yang bukan bersumber dari ajaran Islam haruslah dengan pertimbangan-pertimbangan logis dan memiliki legitimasi dari sumber-sumber ajaran Islam itu sendiri.

Referensi

An-Nabhani, Taqiyuddin. 2007. Peraturan Hidup dalam Islam. Edisi Mutamadah. Jakarta Selatan: HTI Press

An-Nabhani, Taqiyuddin. 2009. Daulah Islam. Jakarta: HTI-Press

Husaini,  Adian. 2010. Pluralisme Agama: Musuh Agama-Agama. Jakarta : Dewan Dakwah Islamiah

Jaiz, Hartono Ahmad. 2002.Bahaya Islam Liberal  Sekular dan Menyamakan Islam dengan Agama Lain. Jakarta:  Pustaka Al-Kautsar

Rachman, Budhy Munawar. 2010. Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta:   Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)

Rachman, Budhy  Munawar-.2011. Islam dan liberalisme. Jakarta Selatan: Friedrich Naumann Stiftung

Murray, A.R.M.2010. An Introduction to Political Philosophy. New York. Routledge & Kegan Paul Ltd

Locke, John.1690. From The Second Treatise on Government. Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved.

Nurdin, Ahmad Ali. 2005. Islam and State: A Study of the Liberal Islamic Network in Indonesia, 1999- 2004. New Zealand Journal of Asian Studies. New Zealand: State Institute for Islamic Studies

Shalahuddin, Henri. Bahaya Relativisme Terhadap Keimanan. Makalah  disampaikan  pada  acara  pengajian  di Masjid  Babuttaubah,  Kemang  Pratama,  Bekasi,  5  Mei  2007

Wahib, Ahmad Bunyan. 2006. Questioning Liberal Islam In Indonesia: Response and Critique to Jaringan Islam Liberal. Al-Jami‘ah, Vol.44, No.1. Yogyakarta: Al-Jami'ah Research Centre of State Islamic University Sunan Kalijaga

______. 2009. Liberalism. Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved.

Abdalla, Ulil Abshar. 2001. Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Harian Kompas. http://www.tufs.ac.jp/blog/ts/g/aoyama/files/Menyegarkan_Kembali_Pemahaman_Islam.doc, diakses 09/12/2014

Armas, Adnin. Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-Qur’an. http://insistnet.com/ diakses 10/12/2014

Husaini, Adian. Liberalisasi Islam Di Indonesia, http://insistnet.com/ diakses 10/12/2014

JIL. Tentang Jaringan Islam Liberal. http://islamlib.com/?site=1&cat=page-tentang. Diakses 09/12/2014

Mudzhar,  M. Atho. Perkembangan Islam Liberal di Indonesia.

http://balitbangdiklat.kemenag.go.id/indeks/artikel-ilmiah/395-perkembangan-islam-liberal-di-indonesia.html, diakses 10/12/2014

MUI. 2005. Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme Dan Sekularisme Agama. http://mui.or.id/files/07-Fat%20Munas-Pluralisme.pdf, diakses 12/09/2014



[1] Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme Dan Sekularisme Agama. http://mui.or.id/files/07-Fat%20Munas-Pluralisme.pdf, diakses 12/09/2014

[2] Budhy Munawar-Rachman. 2010. Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta:   Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)Hal: 447

[3] Liberalism. Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved.

[4] Budhy  Munawar-Rachman.2011. Islam dan liberalisme. Jakarta Selatan: Friedrich Naumann Stiftung, hal: 3

[5] John Locke.1690. From The Second Treatise on Government. Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved.

[6] A.R.M. Murray .2010. An Introduction to Political Philosophy. New York. Routledge & Kegan Paul Ltd, Hal: 76

[7] Ahmad Ali Nurdin. 2005. Islam and State: A Study of the Liberal Islamic Network in Indonesia, 1999- 2004. New Zealand Journal of Asian Studies. New Zealand: State Institute for Islamic Studies, hal: 26

[8] Ahmad Bunyan Wahib. 2006. Questioning Liberal Islam In Indonesia: Response and Critique to Jaringan Islam Liberal. Al-Jami‘ah, Vol.44, No.1. Yogyakarta: Al-Jami'ah Research Centre of State Islamic University Sunan Kalijaga , Hal: 24

[9] M. Atho Mudzhar. Perkembangan Islam Liberal di Indonesia.

http://balitbangdiklat.kemenag.go.id/indeks/artikel-ilmiah/395-perkembangan-islam-liberal-di-indonesia.html, diakses 10/12/2014

[10] Tentang Jaringan Islam Liberal. http://islamlib.com/?site=1&cat=page-tentang. Diakses 09/12/2014

[11] Ulil Abshar Abdalla. 2001. Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Harian Kompas. http://www.tufs.ac.jp/blog/ts/g/aoyama/files/Menyegarkan_Kembali_Pemahaman_Islam.doc, diakses 09/12/2014

[12] Ahmad Bunyan Wahib, op.cit, hal: 39-40

[13] Pluralisme agama memiliki ide bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju tuhan yang sama. Semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju tuhan yang sama. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa agamanya lebih benar atau lebih baik dari yang lain. (Adian Husaini. 2010. Pluralisme Agama: Musuh Agama-Agama. Jakarta : Dewan Dakwah Islamiah)


[14] Adian Husaini. 2010. Pluralisme Agama: Musuh Agama-Agama. Jakarta : Dewan Dakwah Islamiah, hal: 22-24

[15] Adian Husaini. Kebebasan: Muslim atau Liberal dalam Penerbit dalam  buku Hamid Fahmy Zarkasyi, dkk. 2010.  Islam versus Kebebasan/Liberalisme (Menjawab Gugatan terhadap UU Penodaan Agama, UU No. 1/PNPS/1965). Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia

[16]Nuim Hidayat. Amar Makruf Nahi Mungkar vs Kebebasan dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, dkk, op.cit. hal: 74-75

[17] Dalam Kamus Encarta Encyclopedia, 2008, disebutkan bahwa relativism: belief in changeable standards: the belief that concepts such as right and wrong, goodness and badness, or truth and falsehood are not absolute but change from culture to culture and situation to situation.

 Relativisme Kebenaran menurut Hendri Salahuddin, bahwa setiap orang dengan perbedaan tingkat intelektual  dan  kapabilitasnya,  berhak  memberikan  pemaknaan  terhadap  ayat-ayat  al-Qur'an  maupun  Hadits  dan  masing-masing  tidak  berhak  mengklaim  dirinya  lebih  benar dari  lainnya.  Sebab  menurut  mereka,  kebenaran  mutlak  hanyalah  milik  Allah  SWT,  sedangkan  al-Qur'an  adalah  Firman-Nya  yang  kebenarannya  dijamin  secara  mutlak.  Namun  kebenaran  mutlak  tersebut  hanyalah  diketahui  oleh  Allah;  dan  manusia  tidak  akan  pernah  dapat  mencapainya. Sebab  manusia  adalah  makhluk  yang  nisbi  dan  relatif,  maka  kebenaran  yang  dicapainya  juga  bersifat  relatif,  samar  dan  senantiasa  berbeda  antara  satu  individu  dan  individu  lainnya.  Bahkan  terkadang  kebenaran  tersebut  kerap  berubah seiring  dengan kondisi,  situasi  dan kecenderungan  manusia  yang berkaitan.  Para  penganut  paham  ini  biasanya  menguatkan  pandangannya  dengan  dalih  bahwa manusia  tidak  pernah  tahu  maksud  Tuhan  yang  sebenarnya.  Oleh  karena  itu  manusia  tidak  boleh  mengklaim  dirinya  paling  benar atau menyalahkan pihak yang berbeda dengannya. (Henri Shalahuddin. Bahaya Relativisme Terhadap Keimanan. Makalah  disampaikan  pada  acara  pengajian  di Masjid  Babuttaub ah,  Kemang  Pratama,  Bekasi,  5  Mei  2007)

[18]Adnin Armas. Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-Qur’an. http://insistnet.com/ diakses 10/12/2014

[19] Henri Shalahuddin. Bahaya Relativisme Terhadap Keimanan. Makalah  disampaikan  pada  acara  pengajian  di Masjid  Babuttaubah,  Kemang  Pratama,  Bekasi,  5  Mei  2007

[20] Taqiyuddin An-Nabhani. 2007. Peraturan Hidup dalam Islam. Edisi Mutamadah. Jakarta Selatan: HTI Press, Hal,52

[21] Taqiyuddin An-Nabhani. 2009. Daulah Islam. Jakarta: HTI-Press. Hal: 274

[22] Hartono Ahmad Jaiz. 2002.Bahaya Islam Liberal  Sekular dan Menyamakan Islam dengan Agama Lain. Jakarta:  Pustaka Al-Kautsar, hal: 21

[23] Adian Husaini. Liberalisasi Islam Di Indonesia, http://insistnet.com/ diakses 10/12/2014


0 komentar: