Membaca Sastra Alternatif “Sastra Realisme”

PERINGATAN
Jika rakyat pergi. Ketika penguasa pidato. Kita harus hati -hati. Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi, Dan berbisik-bisik. Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar.
Bila rakyat berani mengeluh, Itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, kebenaran pasti terancam.
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan! .
(Wiji Thukul, 1986)

SAJAK
Di mana harga karangan sajak, Bukanlah dalam maksud isinya, Dalam bentuk, kata nan rancak
Dicari timbang dengan pilihnya,Tanya pertama keluar di hati.
Setelah sajak dibaca tamat, Sehingga mana tersebut sakti, Mengikat diri di dalam hikmat.
Rasa bujangga waktu menyusun, Kata yang datang berduyun -duyun, Dari dalam, bukan nan dicari,
Harus kembali dalam pembaca, sebagai bayang di muka kaca, harus bergoncang hati nurani.
(Sanusi Pane)

Dua karya sastra diatas merepresentasikan mazhab dalam dunia sastra. Puisi karya Wiji Thukul memperlihatkan kritik langsung terhadap penguasa dan seruan untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa yang menindas. Sementara puisi yang ditulis oleh Pane menggambarkan mengenai sajak, bagaimana ia diramu dan diciptakan. Perbedaan mendasar dari kedua genre sastra tersebut adalah puisi Tukul ditulis dengan bahasa lugas, politis dan berisi kritik sosial. Berbeda dengan karya Sanusi Pane yang menonjolkan keindahan bahasa dan pilihan kata. Puisi Tukul dalam kategorisasi sastra termasuk dalam mazhab sastra realis sementara karya Pane tergolong dalam sastra romantis. Tulisan ini sedikit mendiskusikan tentang realisme sastra. 

Realisme sastra adalah sebuah gerakan sastra yang berusaha menggambarkan hidup tanpa melebih-lebihkan atau khayalan (attempts to describe life without idealization or romantic subjectivity). Menurut Encarta Encyclopedia, Sastra dan seni realis berusaha menggambarkan perilaku manusia dan sekitar atau menghadirkan sosok atau objek secara nyata sebagaimana terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Disebutkan dalam writershistory.com terdapat beberapa ciri yang dimiliki oleh sastra realis, antara lain:  Setia dalam menghadirkan wajah kehidupan danm menggambarkannya secara apa adanya,  Kritik terhadap kondisi sosial, penggambaran karakter sebagai inti yang paling penting dibanding plot atau alur cerita, Jujur, lebih mementingkan pengungkapan fakta, objek dan sosok dihadirkan secara sempurna dan objektif.

Secara historis sastra realis pertama kali ditulis di Eropa dan Amerika Serikat sejak 1840 hingga 1890an. Bermula dari novel Gustave Flaubert dan cerita pendek Guy de Maupassant. Di Rusia, realisme diangkat oleh cerita-cerita pendek Anton Chekhov, George Eliot di Inggris, di Amerika ada Mark Twain dan William Dean Howells. Penulis-penulis tersebut menggambarkan suasana dalam karya-karya mereka dengan gaya tutur yang sederhana. Seperti karya masterpiece Gustave Flaubert L’éducation sentimentale  yang menggambarkan sosok-sosok pemeran dalam novelnya tersebut sebagai representasi masyarakat Perancis  yang dianggap mediocrity, novel tersebut secara riil mengindera suasana di Perancis serta momen-momen bersejarahnya.

Salah satu jenis karya sastra realisme adalah realisme sosialis yang diperkenalkan pertama kali oleh Maxim Gorki 1868-1936, tulisan-tulisannya menyorot kondisi-kondisi masyarakat kelas bawah di Rusia, para pekerja, gelandangan dan orang-orang tersingkirkan lainnya diantara karyanya, seperti kumpulan cerpen, Sketches and Stories (1898, “Twenty-Six Men and a Girl” (1899; translated 1902), Novel, Ibu (1907), The Life of Klim Samgin (1927-1936),  The Lower Depths (1902), tirlogi Childhood (1913-1914, In the World (1915-1916),  My University Days (1923; translated as Reminiscences of My Youth, 1952) dsb. 

Menurut Gorki, fungsi realisme sastra itu tidak saja melukiskan keadaan manusia yang sebenarnya, tetapi juga bagaimana keadaan yang seharusnya dan bagaimana pula keadaan hari esok. Pendapat Gorki sejalan dengan Lenin kalau sastra itu harus bagian daripada kepentingan umum kaum proletariat dan harus menjadi unsur dari garapan partai gabungan sosial-demokratik yang terorganisasi dan terencana.  Kemudian dalam kongres pengarang rusia tahun 1934 dihasilkan rumusan resmi mengenai definisi realisme sosialis bahwa:

“Realisme sosialis adalah metode dasar sastra dan kritik sastra Rusia yang menuntut agar para pengarang memberikan penyajin yang setia, penuh kebenaran dan konkret berdasarkan sejarah, tentang kenyataan dalam perkembangannya yang revolusioner. Realisme sosialis harus menggabungkan kesetiaan yang penuh kebenaran dan sifat konkret berdasarkan sejarah dalam penyajian artistik itu dengan tugas memberikan pendidikan ideology dan latihan bagi para buruh dalam semangat sosialisme”  .

Realisme Sosialis di Indonesia

Pioner sastra realisme sosialis di Indonesia  adalah Lekra, Lembaga Kebudayaan Rakyat yang didirikan oleh aktifis-aktifis Marxis tahun 1950 seperti, D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S. Dharta dan Nyoto. Secara ideologis gerakan ini sepaham dengan Partai Komunis Indonesia. Isu-isu yang diperjuangkan adalah menjadikan kesenian untuk kepentingan rakyat dan sebagai sarana perjuangan menghancurkan feodalisme dan imperialisme. Rakyat yang dimakusid adalah kelas buruh dan Tani sebagai golongan mayoritas rakyat Indonesia .

Salah satu aktifis Lekra yang terkenal adalah Pramoedya Ananta Toer. Buku-bukunya hingga saat ini masih tetap diburu masyarakat. Seperti tetralogi Bumi Manusia, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Gadis Pantai, Sepoeloeh Kepala Nica, Arok Dedes, Arus Balik dsb. Dalam tetralogi Bumi Manusia, Rumah Kaca, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Pramoedya menggambarkan runtutan perjuangan nusantara di awal abad dua puluh semenjak organisasi perjuangan belum dikenal hingga perjuangan melalui organisasi dan politik di kenal masyarakat Indonesia. Empat buku tersebut berlatar beberapa daerah di Indonesia termasuk beberapa daerah di Jawa Timur khususnya Surabaya, dan Batavia. Dalam rangkaian cerita yang disusun, kita akan dibawa meresapi kondisi masyarakat di bawah kekuasaan kolonial: ketidak adilan hukum, feodalisme, perampasan tanah, tradisi pergundikan, pembentukan kelas-kelas sosial oleh Belanda (pribumi, Indo, Eropa) dsb dan berbagai diskriminasi sosial yang terjadi. Di buku tetralogi itu juga kita bisa melihat bagaimana upaya pemerintah Belanda mengawasi dan meredam gerakan-gerakan politik yang berpotensi melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda di Nusantara.

Dalam buku Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Pram menulis beberapa semboyan dalam sastra realis yaitu: Pertama, Garis yang Tepat dan Garis yang Salah. Semboyan ini bermaksud agar tetap menguasai persoalan asasi dalam dunia kebudayaan. Menyadari bahwa kaum yang menganut ‘seni untuk seni’ berhadap-hadapan dengan kaum dengan semangat ‘seni untuk rakyat’. Kedua, Meluas dan Meninggi. Meluas bisa diartikan ‘setia pada garis massa’. Meninggi adalah keseimbangan antara mutu ideologi dan mutu artistis. Ketiga, Politik adalah Panglima. Semboyan ini menginginkan agar para seniman sebelum menggarap karya harus meninjaunya terlebih dahulu dari segi politik. kesalahan ideologi lebih jahat ketimbang kesalahan artistik. Dan terakhir adalah Gerakan Turun ke Bawah (turba). Berdasar pada prinsip bahwa seni sastra realisme sosialis harus mengabdi kepada rakyat, maka cara terbaik untuk memahami rakyat adalah dengan turun ke rakyat, melebur bersama mereka, menangkap suka-duka mereka . Ideolog sastra Pram secara sederhana bisa dipahami dari kutipan bukunya Bumi Manusia, “Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya”.

Realisme Islam, Mungkinkah?

Menyebut mazhab realisme dalam sastra berarti keberfihakan terhadap kepentingan “politik” tertentu atau penggunaan sastra sebagai perjuangan dengan perspektifnya masing-masing.  Islam adalah deen yang mengajarkan kehidupan yang lurus dan benar sesuai dengan tuntunan wahyu. Islam mengajarkan bukan saja hubungan ibadah antara manusia dan pencipta, tapi aturan-aturan mengenai hubungan antar manusia itu sendiri dan semua aspeknya. Islam juga telah mempertegas bahwa ideologi, faham, keyakinan selain Islam harus dihapuskan. Gambaran sederhana mengenai Islam ini menegaskan bahwa Islam itu deen perjuangan dan perlawanan (amar ma`ruf nahi munkar). Nabi Muhammad telah menggariskan beberapa metode amar ma`ruf nahi munkar dengan tiga jalan: kekuasaan, lisan dan hati. Perjuangan melalui seni atau sastra adalah sebuah jalan yang dibolehkan dalam Islam bahkan al-Quran itu adalah “kitab sastra” tercanggih yang tidak ada yang mampu menyaingi keindahan bahasa dan kedalaman maknanya.

Saat ini banyak karya-karya sastra Islam baik dalam bentuk puisi atau cerpen dan novel yang laris di pasaran, seperti Novel Asma Nadia, Cerita Okky Setiana Dewi, Habiburrahman Al-Shirasy, Darwish Tere Liye, dsb. Isinya banyak mengandung pesan-pesan kebaikan dan anjuran menjadi orang muslim yang berakhlak mulia. Namun, dengan kondisi yang menimpa kaum muslimin dan umat manusia saat ini karya-karya bergenre seperti itu kurang pas untuk diproduksi.

Kita bisa belajar dari gerakan realisme sosialis yang menjadikan sastra sebagai alat perjuangan politik untuk membebaskan masyarakat dari penjajahan yang menimpa mereka saat itu. Kaum muslim yang senang sastra juga melakukan gerakan sastra yang sama yaitu untuk membangkitkan masyarakat dari penjajahan sekulerisme-kapitalistik menuju kesadaran Ideologi Islam.  Kalau kita tidak bisa menciptakan karya sastra ideologis minimal kita membaca atau mendukung karya-karya dari penulis-penulis ideologis Islam. Karya Adian Husaini KEMI 1 dan 2 salah satu karya yang saya rasa menarik untuk dicontoh. Sebagai penutup, kita bisa menyimak puisi dari Prof. Fahmi Amhar.

ANEH
Ada orang menolak sistem Khilafah,
katanya ada masa sosok ulama seperti Imam Ahmad sampai dipenjara,
karena beda pendapat dengan khalifahnya,
padahal di sistem baik yang tirani maupun yang demokrasi sebenarnya,
ada lebih banyak sosok ulama yang dipenjara atau dilarang bicara,
di Uzbekistan, di Mesir, di Jerman, juga di Indonesia di masa orba.
ANEH
Ada orang menolak sistem Khilafah,
katanya ada sosok khalifah diktator seperti Yazid yang amat kejamnya,
membantai cucu Nabi karena tidak mendukungnya,
padahal di sistem baik yang presidensil maupun parlementer sebenarnya,
ada lebih banyak lawan yang dihabisi dengan fitnah dan berbagai konspirasinya,
di Malaysia, di Thailand, di Inggris, bahkan juga di Amerika.
ANEH
Ada orang menolak sistem Khilafah,
katanya karena jihad menyulut peperangan sepanjang masa,
menimbulkan korban dan penderitaan manusia yang merata,
padahal di sistem baik kapitalis maupun komunis sebenarnya,
ada dua perang dunia dan ratusan perang lain yang sangat sia-sia,
di Vietnam, di Congo, di Nicaragua, juga di Irlandia Utara.
Kalau begitu halnya,
siapa yang lebih utopis sebenarnya?
(Puisi Pencari Cahaya: 22/11/2013)

1 komentar:

Masih Standar Ganda Amerika Serikat untuk Irak dan Palestina

Hari Jumat tanggal 08 Agustus 2014 Obama  mengumumkan untuk melakukan agresi militer Iraq. Dalam pengumuman itu, Obama menyatakan bahwa, tujuan operasi militer di Iraq adalah untuk menjaga staf Amerika di Iraq dan kedua tujuan kemanusiaan untuk menolong ribuan penduduk Iraq.

Ekspansi Negara Islami Iraq dan Syam, (ISIS) di Iraq memang mengkhawatirkan Amerika Serikat. Beberapa bulan sebelumnya, Obama menyatakan tidak mengkhawatirkan aktifitas ISIS di Iraq tapi, sekarang  Obama tegas menyatakan akan datang untuk menolong pemerintah Iraq dan warga Iraq dari kekejaman ISIS.

Diawal pidatonya, Obama memberikan alasan kenapa Amerika mesti mengirim pasukan udaranya ke Irak.  Antara lain, karena ekspansi ISIS telah mendekati kota Erbil. Erbil adalah tempat para diplomat dan penasehat militer Amerika Serikat.  Obama Menyatakan tidak akan menutup mata terhadap pembantaian massal atau genosida yang dilakukan oleh ISIS di Iraq khususnya terhadap penduduk Yazidis dan Kristen di Erbil .
Dibagian pertengahan dari pidatonya, Obama mempertegas sikap kepahlawanan Amerika Serikat ibarat Spiderman yang datang disaat harapan hampir pupus, “Earlier this week, one Iraqi in the area cried to the world, “There is no one coming to help.”  Well today, America is coming to help.  We’re also consulting with other countries — and the United Nations — who have called for action to address this humanitarian crisis”. Di bagian akhir pidatonya, Obama mempertegas sikap dan posisi Amerika di dunia bahwa, Amerika telah menciptakan dunia menjadi lebih aman dan sejahtera dan kepemimpinan Amerika sangat penting untuk menjamin keamanan dan kesejahteraan global tempat anak-anak dan bernaung. Amerika juga telah berusaha untuk tetap memegang teguh nilai-nilai dasar, “the desire to live with basic freedom and dignity” sebagai nilai fundamental bagi umat manusia dimanapun berada.
Pidato Obama tersebut memperlihatkan sikap serius Amerika Serikat dalam merespon kejadian-kejadian penting di dunia. Beberapa bulan terakhir ISIS telah menghiasi media-media internasional. ISIS telah dicap sebagai teroris yang berbahaya. Berbagai pelanggaran ISIS telah dipertontonkan.
Pidato yang menginstruksikan serangan ke Daulah Islam Iraq dan Syam tersebut selain memperlihatkan ketegasan Amerika dalam menjaga warganya juga memperlihatkan sikap moral Amerika yang responsif terhadap pelanggaran-pelanggaran hak-hak kemanusiaan. Tapi ini pidato special untuk Iraq berbeda di konteks yang lain.
Tanggal 7 Agustus, saat Obama berpidato di depan pers, Palestina masih membara. Terhitung sudah hampir dua ribu orang meninggal dan ribuan lainnya luka-luka. Rumah-rumah, tempat ibadah, rumah sakit, sekolah-sekolah hancur akibat rudal-rudal Israel. Setiap waktu, tergantung keinginan Israel serangan bisa saja terjadi. Saat waktu jeda, tanpa serangan militer, Palestina tetap menjadi penjara karena telah dikelilingi oleh pagar-pagar pembatas Israel, lautnya di kontrol, udara dikuasa bahkan pasokan-pasokan bahan pokok bagi masyarakat Palestina tetap dalam pengawasan dan aturan Israel. Di sisi lain, Israel sibuk memperluas pemukiman ke wilayah-wilayah masyarakat Palestina.
Bagaimana respon Obama terhadap peristiwa pembunuhan sistematis oleh bangsa Zionis Israel tersebut?. Setiap terjadi serangan brutal Israel ke Palestina sejak tahun 2009, 2012, hingga 2014 ini. Bahasa yang keluar dari pemerintah AS adalah menyayangkan kejadian tersebut tapi, membenarkan tindakan Israel sebagai Defense Act, tindakan membela diri.
Masalahnya sebenarnya bukan hanya diperistiwa saling menyerang antara militer Israel atau pihak Palestina, tapi kebijakan Israel terhadap wilayah dan rakyat Palestina. Kalangan ilmuwan, ahli hukum, pengamat telah sepakat tentang sikap Israel yang layak disebut sebagai tindakan genosida, apartheid, pembersihan etnik, kolonialisasi. Tapi tidak ada yang bisa mengadili Israel karena Amerika berada dibelakang sebagai penyokongnya.
Kenapa Amerika Serikat melakukan humanitarian intervention di Iraq sementara di Israel tidak. Jawabnya, jelas Israel adalah sekutu utama Amerika di Timur Tengah. Dan memiliki posisi strategis secara politik di Timur Tengah bagi Amerika Serikat. Menentang atau menghukum Israel bisa jadi mengorbankan kepentingan strategis Amerika di Timur Tengah.
Sementara di Iraq, menurut Brandon Turbeville dalam tulisannya di globalresearch.ca, alasannya adalah daerah sekitar Erbil –wilayah Kurdi, Iraq– merupakan “poros perusahaan-perusahaan minyak AS” dan merupakan pusat administrasi industri minyak di daerah Kurdi. Seperempat produksi minyak Iraq secara nasional berasal dari wilayah ini. Wilayah Erbil menjadi produsen minyak peringkat 9 dunia.  Washington`s blogs mencatat ada banyak perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi di Erbil termasuk perusahaan minyak raksasa milik Amerika seperti, Exxon Mobile, Chevron, Marathon Oil Corporation, Hess Corporation dsb. Ada juga Total milik Perancis, Perusahaan minyak Kanada, Korea Selatan, Turki, Inggris, Perancis, Uni Emirat Arab, Austria, China, Hungaria, India,
Papua Nugini, Rusia, Norwegia, Spanyol dan perusahaan Iraq sendiri.
John B. Judis menulis dalam the New Republic, “jika ISIS mengambil alih Erbil maka mereka akan membahayakan produksi minyak Iraq dan akses minyak secara global. Dan terbukti, ancaman ISIS di Erbil telah mendorong naiknya harga minyal. Para pengusaha minyak berharap intervensi Amerika akan menghentikan kenaikan harga minyak tersebut”.
Jadi jelas sikap Amerika saat menghadapi dua persoalan kemanusiaan Iraq dan Palestina itu berbeda. Sederhana kepentingan politik Amerika diatas segala-galanya. Tapi umat manusia pasti akan semakin paham sikap standar ganda Amerika tersebut dan itu adalah sikap munafik yang dilakukan secara terang-terangan. 

0 komentar:

Kegalauan Politik: Mencari Bentuk Politik Ideal

Komentar-komentar miring mengiringi proses pemilu caleg tahun 2014 ini seperti Ketidakjelasan ideologi partai politik, politik uang, serta saling makan-memakan antar caleg  sendiri. Yusril Ihsa Mahendra ketika mengomentari ideologi partai politik tahun 2014 mengatakan , Tidak ada partai Islam dan nasionalis, yang ada hanya partai uang dan tidak ada uang. Mahfud MD pernah menyatakan hal yang sama bahkan menambahkan bahwa nilai dan idealism di lapangan politik itu tidak ada, tempatnya cuma di ruang kuliah.
Wajah perpolitikan di Indonesia memang sangat mengerikan. Terlihat jelas kesenjangan antara kelompok elit politik dan masyarakat. Di Indonesia pemilu-pemilu yang diadakan ditingkat negara hingga desa hanya menjadikan warga negara sebagai stempel untuk meraih kekuasaan. Warga yang sudah buta politik dipaksa oleh negara untuk ikut pemilu yang mereka juga tidak tahu hakikat dan tujuan pemilu apa. Sementara elit-elit politik sibuk mengatur strategi pembodohan sistematis untuk saling bersaing suara dari masyarakat. Yang paling mengerikan, ada yang membawa dalil-dalil Islam. Tujuan mereka sebenarnya bukanlah karena didorong oleh motivasi komitmen perjuangan Islam tapi, “pemerkosaan” dalil-dalil untuk memenuhi hasrat kekuasaan mereka.
Ada sebuah persepsi salah dikalangan masyarakat dan para elit politik kita bahwa melek politik itu ketika kita sudah bisa merancang strategi jitu untuk menduduki kekuasaan.  Mungkin karena terinspirasi kalimat, Harold Lasswell, politics is who gets what, when and how sehingga fokus pemikiran para elit politik tersebut adalah melulu bagaimana berebut kekuasaan. Ajang perebutan kekuasaan tersebut akhirnya menjadi medan perang terbuka yang mewajibkan untuk memahami teori-teori perang misalnya,  teori perang Sun Tzu: “jika engkau mengenali musuh-musuhmu dan mengenali dirimu sendiri maka, kamu tidak akan mendapatkan bahaya dalam seratus pertempuan”. Atau ada selentingan di kelompok Islam bahwa berpolitik itu ibarat berjihad yang bohong itu dibolehkan sebagai strategi pemenangan. Gaya dan persepsi seperti ini akhirnya menjadi laku negatif yang disaksikan langsung oleh rakyat hingga menjadi persepsi mainstream dalam masyarakat bahwa politik itu kotor, penuh dengan kelicikan dan kemunafikan. Tak heran kalau banyak caleg mengeluh ketika datang ke dapil mereka kemudian mereka dipalak oleh masyarakat.
Padahal, makna politik itu tidak terbatas dalam masalah suksesi kepimpinan atau perebutan kekuasaan semata. Politik itu juga termasuk perumusan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat. Menurut Marcus E. Ethridgedan Howard Handelman, politik adalah proses pembuatan kebijakan bersama dalam sebuah komunitas, masyarakat atau kelompok melalui pengaruh dan kekuasaan.
Masalah Indonesia sudah sangat jelas. Kerusakan masyarakat akibat penerapan demokrasi dan kapitalisme. Kapitalisme menjadikan masyarakat lemah tak berdaya, miskin, bodoh, lemah moral dan psikologisnya. Kondisi ini sangat rentan dieksploitasi, ditipu dan dibodoh-bodohi. Di sisi lain, kuatnya pengaruh dari modal menjadikan politik menjadi ajang bisnis. Kekuasaan dari, oleh, dan untuk pemodal. Demokrasi dan Kapitalisme akhirnya merusak dan menghancurkan negara. Disini sangat jelas kesenjangan yang luar biasa antara rakyat dan penguasa. Konsep kontrol rakyat terhadap penguasa yang menjadi teori andalan demokrasi menjadi sia-sia. Bagaimana rakyat bisa mengontrol kalau mental mereka runtuh akibat miskin dan bodoh. Ketika kontrol rakyat hilang, elit-elit negara menjadi tak terkontrol dan mabuk kekuasaan hingga tak sadar semua aset-aset negara dikorup untuk kepentingan swasta dan asing.
Sebuah negara yang ideal adalah ketika hubungan antara rakyat dan penguasa ibarat piramida terbalik. Rakyat sebagai pemilik rumah dan pemerintah sebagai pelayannya. Apapun sistem aturan yang telah ditetapkan oleh pemilik rumah maka, pelayan harus taat. Ketika pelayan menyimpang maka, pemilik rumah bisa mengeritik dan mengganti kapan saja. Tapi tuan rumah harus pintar, peduli dan tahu aturan yang benar dalam mengelola rumah tangga. Kalau tidak, bisa jadi pelayan menipu atau mencuri diam-diam milik tuan rumah, hingga akhirnya tuan rumah bangkrut dan harus menghutang ke rentenir.
Islam telah mengajarkan konsep negara ideal. Sistem politik Islam adalah sistem politik yang berlandaskan ajaran Islam yang mewajibkan negara menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negara, menjamin pendidikan dan kesehatan setiap warga negara. Serta, Islam mewajibkan aktifis amar ma`ruf nahi munkar bagi secara individu ataupun kelompok. Ketika setiap individu terpenuhi kebutuhan hidup, pendidikan dan kesehatannya maka, pendidikan politik akan berjalan secara maksimal sehingga hubungan kontrol antara rakyat dan negara bisa berjalan optimal. Di sisi lain, elit politik yang bertaqwa akan mencegah tindakan-tindakan asusila terjadi dalam berjalannya roda kekuasaan. Ditambah lagi, lembaga-lembaga negara yang bisa menjamin berjalannya akuntabilitas politik dalam negara.  



0 komentar:

Kontrol Politik Masyarakat dalam Khilafah Vs Demokrasi

Satu waktu terjadi saling mencaci antara khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan dan Jariah bin Qudama  As-Sa`di  pendukung  Saidina  Ali bin Abi Thalib  yang disaksikan  langsung oleh 3 utusan romawi. Kejadian itu dipicu oleh perkataan muawiyah tentang Ali r.a yang yang menjadikan Jariah tersinggung dan ikut mencaci Muawiyah saat itu.  Hingga akhirnya Muawiyah menyuruh Jariyah diam. Namun  Jariyah balik menyuruh Muawiyah diam dan mengatakan..”kami pernah memberikan baiat kami padamu untuk mendengar dan mematuhimu, selama engkau memerintah kami dengan dasar firman Allah. Jadi, bila engkau penuhi janjimu, kami akan tetap setia padamu, dan bila engkau langgar janjimu, ingatlah bahwa di belakang kami berdiri banyak kesatria bersenjata yang tidak akan tinggal diam melihat penyimpanganmu. Utusan Romawi yang ikut menyaksikan terheran-heran dan mempertanyakan kejadian itu kepada Muawiyah yang kemudian dijawab oleh Muawiyah bahwa, “Aku memerintah orang-orang yang tak kenal rasa takut dalam menegakkan kebenaran, dan semua rakyatku memiliki sifat orang arab gurun tadi. Tidak satupun diantara mereka yang lemah dalam menegakkan kalimat Allah Swt, tidak ada diantara mereka yang diam melihat ketidakadilan, dan aku pun berada diatas mereka, selain dalam masalah keimanan. Aku telah berkata-kata kasar pada orang tadi dan ia pun berhak menjawab. Aku yang memulai dan aku pula yang layak disalahkan bukan dia”.

Kutipan pendek diatas hanyalah salah satu dari dinamika dalam sejarah system khilafah islam yang pernah jaya selama kurang lebih 13 abad. Cerita di  atas memberikan kita gambaran  bahwa didalam islam kontrak sosial (bay`at) antara rakyat dengan pemerintah itu adalah standar  kepatuhan rakyat terhadap pemerintah adalah penerapan syariah. Artinya, jika penerapan Syariah  sudah tidak dilaksanakan lagi oleh pemerintah maka secara otomatis kontrak itu batal dan khalifah  harus diturunkan. Karena doktrin yang mendasar yang diyakini oleh seluruh kaum muslimin saat itu  bahwa hanya hukum syariah yang wajib untuk diterapkan ditengah-tengah mereka yang akan  menjaga aqidah, kesejahteraan dan keamanan kaum mereka.

Konflik-konflik yang terjadi pada masa-masa kekhalifahan mulai dari Utsman bin Affan, Ali  bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Muawiyah  terlepas dari banyaknya stigmatisasi  terhadap kejadian itu namun, menurut saya, itu adalah hasil dari kesuksesan pendidikan politik yang diajarkan oleh Islam. Bahwa  Islam telah menjadi bagian inheren dari setiap kehidupan umat islam dan umat islam menjadikan islam sebagai tolak ukur benar salahnya sesuatu dan begitupun juga wajib untuk mengubah jika ada kesalahan atau kemunkaran yang terjadi.  Daya kritis dan intelektualitas  yang kurang lebih setara diantara  kaum muslimin  yang menjadikan mereka  sangat sensitif  terhadap kejadian-kejadian “menyimpang”  dalam penerapan syariah meski  akhirnya pada beberapa kasus terjadi eskalasi konflik yang tak terbendung dan perang pun terjadi. Namun, sekali lagi, pelajaran yang bisa diambil bahwa Penguasa dalam Islam tak bisa berani macam-macam dalam menghadapi rakyatnya karena pedang sangat gampang terhunus jika terjadi penyimpangan. Inilah kesuksesan dari penerapan ideology Islam dalam masyarakat. Hasil kajian politik modern juga telah menemukan teori tersebut.

Ilmuwan-ilmuwan politik  modern  bersepakat bahwa negara bisa menjadi baik ketika hubungan antara masyarakat dan pemerintah itu setara. Setiap masyarakat bisa mengkritisi pemerintah secara  terbuka jika  terjadi penyimpangan atau bahkan masyarakat bisa menurunkan penguasanya jika tak disepakati lagi. Oleh karenanya, Para pemikir tersebut menjadikan Demokrasi sebagai solusi bagi permasalahan  semua negara saat ini. karena menurut mereka hanya demokrasi yang menjamin  kebebasan dan keterbukaan bagi masyarakat dalam sebuah aspek kehidupan khususnya politik. Namun, Demokrasi dianggap tak bisa berjalan dengan baik jika kesejahteraan masyarakat belum meningkat. Semakin sejahtera masyarakat maka demokrasi pun akan semakin berjalan dengan baik begitupun sebaliknya.  Namun fakta berbanding terbalik dengan konsep. Harapan kepada demokrasi untuk menjadikan masyarakat bisa setara dengan pemerintah tak pernah mewujud dalam kehidupan nyata.  Malah trend yang terjadi dalam negara-negara demokrasi  adalah  kesenjangan semakin  melebar. Bahkan struktur masyarakat menjadi berbentuk piramida yang dipuncaknya bertahta para penguasa dan pengusaha. Sementara mayoritas  masyarakat  berada di garis kemiskinan.

Artinya, Jika kesejahteraan diharapkan membantu proses politik supaya bisa lebih kuat/maju maka, demokrasi tak bisa diharapkan. Karena  ternyata, Demokrasi sebagai system politik berjalan beriringan dengan Liberalisme Ekonomi, pendidikan, kesehatan dan layanan publik yang lain akhirnya Rakyat  menjadi termiskinkan, terbodohkan, dan terpinggirkan. Dengan kondisi seperti itu tak mungkin rakyat diharapkan bisa  hirau  terhadap proses politik karena mereka telah terlebih dahulu dijatuhkan oleh system Demokrasi Kapitalisme itu sendiri.  

Begitupun  para politisi, mereka hidup diruang  pragmatisme  politiknya  sendiri,  saling menyandera untuk berebut keuntungan  ekonomis  dari kekuasaan yang dimilikinya.  Sehingga sangat kecil kemungkinan atau bahkan mustahil ada perubahan significant dalam demokrasi untuk membantu kesejahteraan rakyat kecuali semuanya hanyalah menjadi alat untuk berebut kekuasaan para politisi. Pemberantasan korupsi, Penaikan dan penurunan harga BBM, bantuan sosial, pendidikan dan kesehatan menjadi instrument untuk menaikkan atau menurunkan citra para politisi. Betul-betul saling menyandera. Terjadi kesenjangan ekonomi berujung pada kesenjangan politik antar warga. 

Sistem Islam merupakan konsep yang menyeluruh mengenai kehidupan manusia baik secara ekonomi, politik, pendidikan dsb. Dalam Negara Islam aturan yang diberlakukan hanyalah Islam yang aturannya  telah tercatat dalam al-Quran dan ribuan kitab-kitab hadits dan Fiqhi. Dalam Islam kesejahteraan wajib dipenuhi oleh Pemerintah, Khalifah, dengan ukuran tak ada lagi yang kelaparan satu  orang  pun.  Pendidikan  diberikan secara  gratis dengan tujuan membangun  karakter dan kepribadian Islam  dan menciptakan manusia-manusia produktif. Sementara khalifah terpilih hanyalah sebagai person yang diberi wewenang untuk menjalankan aturan syariat yang telah jelas sumbernya. Artinya..Islam mampu untuk menyediakan kondisi di mana hubungan pemerintah dan masyarakat bisa setara. Dengan pendidikan dan penanaman  ideology  Islam begitupun juga jaminan kesejahteraan akan secara otomatis meningkatkan daya kritis masyarakat.  Sehingga kelangsungan pelaksanaan syariah bisa tetap terpelihara. 

Demokrasi memang menjanjikan kebebasan namun kebebasan yang dihasilkan malah memperlemah negara itu sendiri. Masyarakat dilemahkan dengan liberalisasi ekonomi, pendidikan dan budaya. Dan akhirnya demokrasi hanyalah menjadi topeng totalitarianisme baru, yaitu korporatokrasi (negara korporasi).  Sementara Islam sebagai aturan dari pencipta manusia, telah menawarkan perangkat yang jelas untuk menciptakan masyarakat yang maju dan beradab yaitu dengan menerapkan Syariah secara kaffah dalam system khilafah. Wallahua`lam

0 komentar:

CALEG GILA 1

Baru berselang beberapa hari sejak pemilihan legislatif, caleg-caleg yang stress dan frustrasi bermunculan. Di beberapa provinsi para caleg tersebut ada yang sibuk datang ke pesantren-pesantren untuk mencari bimbingan spiritual untuk meredakan stress dan ada juga yang datang ke rumah sakit. Psikiater Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Teddy Hidayat, memprediksikan, akan banyak calong anggota legislatif (caleg) kalah yang mengalami stres usai Pemilu Legislatif 2014 karena mereka sudah mengorbankan banyak uang dan pikiran untuk merebut kursi wakil rakyat. Menurut Teddy, ada tiga golongan stres, yaitu ringan, berat, dan berat. Untuk stres ringan, ditandai dengan cemas, gelisah, dan mudah uring-uringan. Untuk yang (stres) sedang, tandanya, orangnya mulai murung, putus asa, juga mulai menyendiri. Sedangkan gejala caleg yang tingkat stresnya tinggi ditandai dengan bicara sendiri hingga mengamuk. Jika kondisinya seperti itu, maka yang bersangkutan perlu perawatan intensif di rumah sakit. Tingkatan stress yang dialami caleg tersebut salah satu sebabnya dilihat dari banyak atau tidaknya modal yang ia keluarkan untuk kampanye. Potensi stres semakin menguat jika kondisi tubuh sang caleg tidak stabil akibat lelah fisik dan pikiran akibat kampanye (Oris Riswan. 2014. Ini Tanda-Tanda Caleg Stres! http://pemilu.okezone.com). Sebagai perbandingan dengan dampak pemilu 2009, tercatat sekitar 7000 caleg gagal yang menderita ganggugan jiwa mulai dari tingkatan yang ringan sampai yang berat (gila total) dan ada juga yang mencoba bunuh diri.

1 komentar:

ULAMA DALAM DINAMIKA POLITIK KERAJAAN ARAB SAUDI


Ulama dalam tradisi Islam adalah sosok yang sangat penting dalam menjaga berjalannya penerapan syariat Islam di masyarakat atau di negara Islam. Ulama bisa berada di sisi masyarakat dan atau berada disisi penguasa. Peran ulama menjadi berubah saat terjadinya modernisasi politik di negara-negara bekas wilayah kekuasaan Usmani. Banyak ilmuwan yang menganggap bahwa peran ulama tergusur dan akhirnya menjadi subordinat dari penguasa atau bahkan menjadi legitimasi bagi kebijakan-kebijakan pemerintah. Tulisan ini mengkaji peran ulama dalam dinamika kerajaan Saudi dan hasilnya memperkuat argumentasi dari para ilmuwan yang pesimis tadi.Keyword: Ulama, Politik, Kerajaan Arab Saudi, legitimasi

A.    Pendahuluan

Negara yang saat ini memiliki identitas Islam yang sangat kuat adalah Kerajaan Saudi Arabia. Sejak keruntuhan kekuasaan Islam yang berbasis di Turki tahun 1924, negara Saudi inilah yang masih tetap bertahan untuk menyematkan Islam sebagai dasar negara. Meskipun ada banyak perbedaan ketika membandingkan dinamika politik dalam kerajaan Saudi dan kekuasaan-kekuasaan Islam sebelumnya. Bahkan walaupun mengaku sebagai negara Islam ada banyak kelompok dari umat Islam yang tidak mengakui keabsahan kerajaan Saudi sebagai sebuah negara Islam salah satunya kelompok al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden

Ketika sebuah negara melandasi dirinya dengan Islam maka konsekuensinya secara otomatis akan mengarahkan kita untuk menelisik lebih jauh mengenai konstitusi negara tersebut dan sistem-sistem yang dibangun oleh negara itu baik itu sistem politik, ekonomi, pendidikan, hukum, kebijakan pendidikan dan luar negeri. Bagaimana semua sistem itu dibangun dari sudut pandang Islam. Salah satu unsur yang berperan penting dalam merumuskan sistem-sistem tersebut adalah para ulama. Dalam tradisi Islam, ulama telah diakui sebagai pemilik otoritas untuk menafsirkan dan membuat ijtihad-ijtihad baru dalam sebuah masyarakat. Ibnu Taymiyyah pernah menyatakan:  “dua kelompok yang memiliki otoritas untuk memimpin kebaikan masyarakat: ulama untuk memutuskan persoalan hukum dan penguasa untuk menerapkan hukum. Masyarakat harus patuh terhadap penguasa”[1]. 


Kerajaan Arab Saudi sendiri jumlah ulama saat ini diperkirakan sekitar 20.000 orang[2]. Tahun 1971 kerajaan Saudi mendirikan sebuah lembaga untuk para ulama terkemuka sebagai wadah kordinasi antara pemerintah dan para ulama yang disebuh Hay`at kibaril ulama atau dewan ulama senior yang dipimpin oleh seorang mufti besar. Tulisan ini akan menguraikan secara deskriptif dinamika peran ulama dalam politik kerajaan Arab Saudi.

a.      Ulama


Ulama adalah bentuk jamak dari Alim yang berarti seseorang yang memiliki ilmu. Dalam tradisi Islam ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu-ilmu keislaman. Berdasarkan atas keilmuwan yang dimilikinya sehingga ulama dianggap sebagai penjaga atau pewaris ajaran-ajaran Islam dan penjaga Islam itu sendiri. Otoritas sebagai penafsir dan penjaga syariat Islam ini menjadikan ulama berada di posisi yang tinggi dalam masyarakat. Dalam sebuah negara yang berasaskan Islam, para ulama menduduki berbagai posisi dalam masyarakat atau negara baik secara formal maupun informal seperti, sebagai mufti, Qadhi (hakim), Khatib (penceramah), Mudarris (guru, dosen)[3].

Secara historis ulama memiliki otoritas yang kuat dalam masyarakat karena menjadi penafsir dan penjaga sikap dan perilaku masyarakat serta menjadi tempat masyarakat bertanya tentang hukum/legalitas dalam perbuatan mereka. Hubungannya dengan pemerintah, Ulama biasanya menjadi penasehat bagi pemerintah, pemberi fatwa, pemegang otoritas dalam pendidikan dan kehakiman. Ulama juga berperan sebagai penghubung antara rakyat dan penguasa. Sering dimintai masukan oleh pemerintah dan terkadang pula ulama berada di fihak rakyat sebagai oposisi kepada pemerintah yang dianggap zalim dan menindas masyarakat. di Mesir, pada era pendudukan Inggris dan Perancis ulama menjadi bagian penggerak utama dari kelompok oposisi yang melawan penjajah. Posisi istimewa tersebut menjadi berkurang saat negara-negara Islam bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran barat mengenai modernisasi. Modernisasi struktur politik dan pemerintahan, pendidikan, kehakiman perlahan-lahan menggeser peran aktif ulama dalam bidang-bidang tersebut. Peran ulama akhirnya malah menjadi rubber stamp bagi pemerintahan [4]. 

Pengaruh modernisasi terhadap ulama diungkap juga oleh Noah Fieldman bahwa setelah berabad-abad ulama menjadi state balance of power, penyeimbang kekuataan eksekutif dan penjaga penerapan hukum Islam dalam kerajaan Usmani mereka akhirnya tersingkirkan dengan dibuatnya reformasi hukum pada abad 19 yang akhirnya mensubordinasi hukum syariah dan ulama tinggal menjadi alat legitimasi kekuasaan pemerintah. Fieldman menyimpulkan:

The core claim for continuity relies on a set of related observations. First, in the traditional Sunni constitutional order, the shari‘a was a transcendent, divine source of law interpreted exclusively by the scholars; but in the late Ottoman period, and in the constitutional orders that prevailed through most of the Sunni world after World War I, the shari‘a became instead a set of rules defined and applied by authority of the state. In many cases, the jurisdiction of the shari‘a shrank to encompass only matters of family law. Second, the scholars went from quasi-autonomous keepers of the law to, at best, dependent state functionaries. At worst, the scholars turned into purely religious figures irrelevant to adjudication or to governance more generally. Third, as a result of the first two changes, the scholars ceased to be necessary to legitimate the existing government[5].

Dalam konteks yang lebih kontemporer Gibreel Gibreel menuliskan hubungan antara ulama dan pemerintah di Timur Tengah sebagai dua hubungan yang interdependen. Menurut Gibreel, meskipun para ulama tidak menempati posisi legislatif dalam Negara-Negara Arab namun kekuasaan mereka ada pada dua jalan utama yaitu, mempengaruhi opini publik dan memberi legitimasi atau membangkang dari pemerintah. Poin yang pertama, opini publik, bisa dijadikan oleh Ulama untuk memobilisasi umat islam untuk mendukung atau menentang kebijakan pemerintah. Sementara poin kedua, posisi penting ulama membuka akses langsung untuk berinteraksi dengan pemerintah[6].

b.        Histori Hubungan Ulama dan Pemerintah Saudi

Hubungan antara ulama dan penguasa di Arab Saudi  secara historis telah terjalin sejak abad ke 18 di era Muhammad ibnu Abdul Wahhab dan Muhammad ibnu Saudi. Mereka berkoalisi untuk memperluas ajaran Abdul Wahhab yang kini dikenal dengan ajaran Wahhabi dan memperluas kekuasaan ibnu Saudi di Jazirah Arab saat itu[7]. Sejak saat itu, agenda-agenda politik Ibnu Saud mendapatkan dukungan relijius melalui fatwa-fatwa Abdul Wahhab.  Simbiosis mutualisme antara kedua entitas, pemerintah dan ulama masih tetap berjalan meskipun dalam sejarahnya terjadi pasang surut dalam politik kerajaan Saudi. seperti pada peristiwa perang antara kekuasaan Saudi dan kekhalifahan Usmani tahun 1790an yang memenangkan  turki usmani pada dan menghapuskan kekuasaan kerajaan Ibnu Saudi[8]. Kemudian kekuasaan Saudi bangkit lagi tahun 1824 setelah penerus kerajaan Saudi, Muhammad Ali merebut kembali kekuasaan di Riyadh yang telah diambil oleh kekuasaan Usmani dan kemudian mengkonsolidasi kekuasaan dan mengembalikan martabat mazhab wahhabi dan para ulamanya[9]. Namun, runtuh kembali tahun 1837 setelah diserang oleh Mesir. Dan bangkit kembali tahun 1843. Posisi ulama masih tetap menjadi pendukung setia dari Kerajaan Saudi. Dukungan tersebut tetap langgeng hingga berdirinya kerajaan Arab Saudi secara resmi tahun 1932.

Setelah terbentuknya kerajaan Saudi proses modernisasi struktur pemerintahan dan birokratisasi ulama terjadi menjadi hal yang tak terelakkan bagi pemerintah Saudi di masa Raja Faizal tahun 1950an. Modernisasi secara massif terjadi utamanya setelah Raja Saudi mengeluarkan 10 program reformasi dalam kekuasaan dinasti Saudi termasuk, merumuskan konstitusi baru, membentuk bandan konsultasi dan pemerintahan lokal. Setelah itu dibentuk berbagai kementerian, biro-biro dan agensia-agensi yang bertanggung jawab dalam hal perminyakan, urusan-urusan wilayah, pekerjaan dan perencanaan publik. Disamping itu, ulama juga dibirokratisasi melalui pembentukan agensi-agensi pemerintah yang berkaitan dengan penelitian agama, pendidikan perempuan, urusan masjid dan yayasan keagamaan. Reformasi ini, modernisasi dan birokratisasi menurut Yassini, berdampak pada berkurangnya peran ulama atau agama dalam ruang publik serta, birokratisasi ulama menjadikan ulama berada di dalam kontrol kuasa kerajaan Saudi[10].  Sejak reformasi tersebut peran ulama yang berada di kontrol kekuasaan membenarkan tesis dari Gibreel Gibreel mengenai peran ulama di Saudi sebagai pemberi legitimasi atas kebijakan-kebijakan pemerintah.

Tahun 1971 pemerintahan Saudi membentuk Dewan Ulama Senior berfungsi sebagai lembaga konsultatif antara pemerintah dengan ulama. Lembaga ini dipimpin oleh seorang mufti besar yang telah ditunjuk oleh pemerintah Saudi. Kedua lembaga ini melakukan pertemuan rutin setiap minggu. Dalam isu-isu tertentu pemerintah biasanya meminta persetujuan atau sanksi publik dari para ulama senior tersebut[11]. dalam perjalanannya, lembaga ini menjadi sarana konsolidasi publik kerajaan untuk mendukung aktifitas pemerintah. Menurut Madawi Rasheed, para ulama di Saudi, khususnya ulama senior, memiliki tiga mekanisme dalam mendukung konsolidasi politik pemerintah  yaitu, Hijrah, Takfir dan Jihad. Konsep hijrah ini digunakan untuk membuat garis pemisah antara negara Islam Saudi dan negara lain. pada Pada abad 18 wilayah Saudi lah yang dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk berhijrah dibandingkan provinsi-provinsi lain dibawah kekuasaan Usmani yang sudah sesat[12]. 

Metode kedua untuk mengokohkan kedudukan stabilitas politik di Saudi adalah dengan melalui takfir atau penyesatan kepada orang-orang muslim yang berbeda dengan pendapat resmi yang dikeluarkan oleh para ulama Saudi baik dalam perkara aqidah dan ibadah ataupun sosial dan politik.  Orang-orang atau kelompok yang telah disematkan label kafir atasnya maka, pemerintah wajib untuk mengajak orang tersebut bertaubat jika tidak maka, wajib atasnya untuk dibunuh atau diperangi. Sikap ini telah diperlihatkan oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab ketika mengkafirkan masyarakat Muslim dibawah kekuasaan Usmani yang  kemudian menjadi justifikasi bagi kelompok Abdul Wahhab dan Ibnu Saud untuk memerangi mereka. Cara ketiga koalisi Saudi-Wahhabi untuk mengokohkan posisi politiknya adalah melalui Jihad atau memerangi orang-orang kafir. Praktek ini sering didengung-dengungkan oleh ulama Saudi utamanya pada masa-masa pembentukan dan ekspansi kekuasaan Saudi.[13]      

Ketiga poin tersebut menurut Rasheed, meski mengatasnamakan terminology Islam namun kosong dari makna Islam karena telah berubah menjadi senjata politik (political weapon) untuk mengkonsolidasikan kerajaan dan ulama sebagai penjaga moralnya.  [14]

Sebenarnya tidak semua ulama di Saudi menjadi pendukung setia pemerintahan Saudi. ulama yang dimaksud hanyalah yang tergabung dalam Dewan Ulama Senior dan Mufti. Ada banyak ulama independent, dikampus, atau imam yang memiliki pandangan berbeda dengan ulama Senior dan bahkan sering mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah namun, mereka  biasanya diintimidasi, ditangkapi atau dipenjara begitupun juga nasib kelompok-kelompok oposisi yang lain.

c.         Beberapa Kasus

Terdapat beberapa kasus yang memperlihatkan pentingnya peran ulama senior di Arab Saudi dalam mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah. Diantaranya, kasus pendudukan masjidil haram oleh kelompok salafi tahun 1979. Peristiwa perang teluk 1990 dan munculnya kritik dari para tokoh dan ulama di internal Saudi di era perang teluk atau pasca perang teluk.

1.        Pengepungan Masjidil Haram 1979

Tahun 1979 kelompok oposisi yang mengatas namakan diri sebagai al-Jama`a al-Salafiyyah al-Muhtasib dipimpin oleh Juhayman al-Utaybi bersama Muhammad ibn Abdullah al-Qahtani mengepung masjidil haram di Makkah selama tiga minggu dan menyandera sekitar 130 orang yang sedang beribadah.  Gerakan ini muncul sebagai respon terhadap kebijakan modernisasi pemerintah Saudi seperti pengadopsian teknologi baru di Saudi. Pada pernyatan sikap yang disampaikan pada saat penyanderaan masjid, kelompok ini menyerukan untuk menghapus pengaruh budaya barat dan memutus hubungan kepada negara-negara barat yang telah mengeksploitasi negara Saudi. Para ulama juga dianggap gagal untuk mengoreksi kebijakan-kebijakan pemerintah yang menentang Islam oleh karenanya, menurut mereka,  kerajaan Monarki Saudi harus dijatuhkan dan diganti dengan pemerintahan Islam yang benar dan lurus[15]. Ulama juga dianggap telah dibeli oleh Penguasa Saudi untuk mendukung kerajaan. Syekh Abdul Aziz bin Baz, mufti besar Saudi, dianggap sebagai alat manipulasi  keluarga kerajaan  yang korup[16]. Sebagai pemimpin gerakan Salafiyyah, Juhayman menolak pendapat para ulama Wahhabi yang mengharamkan menjatuhkan pemerintah yang sah selama belum kufur dan melarang pelaksanaan ajaran Islam. Juhayman menganggap tidak ada negeri Islam yang betul-betul menjalankan pemerintahan Islam sebenar-benarnya karena telah mengadopsi sistem-sistem pemerintahan asing. Kelompok ini akhirnya bisa ditumpas setelah Saudi mendapatkan bantuan dari 100.000 tentara Pakistan dan bantuan intelijen dari pemerintah Perancis, Amerika dan Jerman. Juhayman dieksekusi mati dan al-Qahtani meninggal dalam peperangan. 

Yang penting dalam peristiwa ini adalah, tindakan keras pemerintah terhadap para “pemberontak” baru diambil setelah raja Khalid meminta fatwa dari dewan ulama senior dan fatwa tersebut keluar dan mendukung untuk bertindak tegas pada kelompok salafi tersebut . Dalam fatwa yang diputuskan tahun 1979 tertulis:

“…..On Tuesday, His Majesty  King Khalid  ibn 'Abd al-'Aziz  al-Sa'ud  called us, the undersigned, and we met in his majesty's office  in al-Ma'dhar.  He informed us that at dawn that day…. We told him that it is incumbent to call on them to surrender and lay down their arms.  If they did, their surrender would be accepted and they would be imprisoned until their case was considered according to the Sharia.  If  they  refused,  all measures  would  be  taken to seize  them  and  to kill  those who were  not arrested  or had not surrendered”[17].

2.        Perang Teluk 1990

Pada saat terjadinya Invasi Irak terhadap Kuwait, Raja Fahd  merasa khawatir bahwa ekspansi Irak akan berlanjut ke Saudi setelah Kuwait ditaklukkan. Raja Fahd juga khawatir untuk meminta bantuan dari Amerika Serikat karena akan menjatuhkan citranya sebagai Khadimul Haramain (penjaga dua kota suci) jika memanggil tentara kafir untuk datang ke Arab Saudi. Bahkan saat pertama kali AS menawarkan bantuan keamanan ke Saudi para ulama dan masyarakat domestik menolak rencana tersebut. Setelah diskusi yang panjang akhirnya mufti besar yang saat itu dipegang oleh Abdul Aziz bin Baz  dan para ulama dalam dewan senior ulama bersepakat untuk mendukung kebijakan pemerintah dengan syarat-syarat yang ketat bagi pasukan asing tersebut seperti, harus menghormati tradisi kerajaan, harus segera meninggalkan Saudi jika tidak dibutuhkan lagi dan harus tunduk pada polisi agama atau Komite amar ma`ruf nahi munkar. Berikut kutipan singkat fatwa dewan ulama senior: 

“ Dengan segala kemungkinan, Dewan ulama senior mendukung tindakan yang diambil oleh pemerintah, semoga Allah menganugerahinya kesuksesan; mempersiapkan kekuatan yang dilengkapi dengan perlengkapan yang bisa menggentarkan dan menimbulkan rasa takut bagi siapa saja yang ingin menyerang negeri Ini. kewajiban ini dituntut oleh kondisi tertentu dan menjadi tak terelakkan karena situasi yang sangat menyakitkan tersebut. Dasar hukum dan fakta menuntut bahwa yang memegang urusan kaum muslimin harus mencari bantuan kepada yang lain yang mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini telah diperintahkan dalam quran dan sunnah agar bersiap siaga sebelum terlambat”[18].

Fatwa ini menjadi pendukung kebijakan pemerintah Saudi untuk memberikan kebebasan kepada militer Amerika Serikat untuk membuat pangkalan militer di wilayah kerajaan. Kebijakan pemerintah Saudi yang didukung oleh fatwa ulama menimbulkan kemarahan di kalangan kelompok mujahidin al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden. Kemarahan ini menjadi sebab dari deklarasi Kecaman dan Tokoh-tokoh Islam perang al-Qaeda terhadap Amerika dan kerajaan Saudi tahun 1996 untuk mengusir Pendudukan Amerika di dua kota suci.[19] Kritik juga muncul dari banyak tokoh-tokoh ulama yang menganggap Arab Saudi  telah menguasai rumah Islam. para tokoh tersebut mengingatkan dengan mengirim surat ke Dewan Ulama Senior dan Institusi fatwa dan penelitian bahwa musuh yang lebih besar bukan Saddam tapi Amerika dan negara barat[20].

3.        The age of petitions

Setelah Perang Teluk berlangsung, tahun 1991 terjadi kegoncangan ekonomi di internal kerajaan Saudi sebagai dampak dari Perang Teluk dan mengakibatkan munculnya ketidakpuasan terhadap pemerintah. Legitimasi penguasa dihadapan sebagian ulama juga berkurang akibat aliansi Saudi dan Amerika Serikat dalam Perang Teluk.

Pada saat yang sama, di kubu kelompok islam muncul petisi yang ditujukan ke pemerintah, Khitab al-Mathalib, yang ditandatangani sekitar 52 petinggi ulama terhadap pemerintah Saudi yang berisi tuntutan-tuntutan kepada pemerintah untuk lebih taat pada aturan syariah seperti, bidang kehakiman, angkatan bersenjatan, ekonomi, sosial dan administrasi publik. Juga, meminta pemerintah untuk mencabut kebijakan pembatasan terhadap para ulama, khatib dan ilmuwan.  Surat tuntutan tersebut juga disebarkan ke publik baik domestik dan internasional. Tiga tokoh yang paling populer melakukan penyebaran opini publik pembangkangan terhadap pemerintah adalah Safar Hawali, Salman al-Awdah, dan `Aidh al-Qarni. Kaset-kaset ceramah mereka beredar di publik yang berisi kritik atas kebijakan-kebijakan pemerintah. Safar Hawali dan Salman al-Awdah dikenal sebagai syekh sahwa Islamiyyah (kebangkitan) simbol yang disematkan bagi ulama para pejuang kebangkitan Islam (revivalis Islam)  di Saudi.

Kemudian tahun  1992, Mudhakkirat al-Nasihah (memorandum of advice) yang ditandatangani oleh 100 ulama  dikirim ke Mufti abdul Aziz bin Baz sebagai nasehat kepada pemerintah untuk menerapkan Islam secara lebih utuh. Dan pemberian kebebasan politik bagi para ulama, sarjana, dan guru untuk menulis dan mencetak tulisan serta berceramah. Pemberian kebebasan bagi ulama untuk berpartisipasi dalam setiap aktifitas pemerintahan untuk memastikan penerapan syariah Islam; revisi kurikulum universitas, menghentikan nepotisme, sensor terhadap produk-produk asing dsb[21].

            Akibat tekanan-tekanan dari kalangan oposisi Islam dan opini yang gencar yang dibentuk di masyarakat pemerintah Saudi meminta dewan ulama senior mengeluarkan fatwa mengecam para oposisi sebagai provokator pemecah kerajaan, melanggar aturan dengan melakukan kritik publik yang lebih menonjolkan kekurangan kerajaan dibandingkan kebaikan-kebaikannya. Dewan juga mengecam ulama oposisi yang melanggar etika nasehat-menasehati seperti yang telah dituntunkan oleh Islam. Sejak tahun 1992 hingga tahun 1994 pemerintah sibuk melakukan stabiliasi opini publik dan mengawasi, mengintimidasi dan menahan kalangan oposisi, mayoritas dari kalangan islamis, Syekh Safar Hawali dan Syekh Salman al-Awdah ditahan tahun 1994 dan dilarang oleh fatwa mufti besar, Syekh bin Baz,  untuk mengajar, mengadakan pertemuan dan merekam ceramah. [22]  Tokoh-tokoh Sahwa Islamiyyah dibebaskan oleh rezim pada tahun 1999.



4.        Kontraterorisme dan Arab Spring

Peristiwa teror yang menimpa Amerika Serikat tahun 2001 juga menimpa kerajaan Arab Saudi. sejak tahun 1995 telah terjadi serangan teror di Arab Saudi. Osama bin Laden dianggap sebagai aktor utama di balik serangan tersebut. Serangan teror yang terjadi secara massif di Saudi dimulai tahun 2003 oleh kelompok al-Qaeda di Jazirah Arab yang dipimpin oleh Yusuf al-Uyayri [23]. Serangan teror tersebut diarahkan pada fasilitas-fasilitas asing, warga-warga asing, fihak keamanan dan pemerintahan Saudi, pengeboman konsulat Amerika, ledakan bom mobil, penembakan mati pekerja asing [24].  Tahun 2008 al-Qaeda di Saudi berhasil diberantas,  pemimpin-pemimpinnya berhasil ditembak mati,  Yusuf al-Uyayri, Turki al-Dandani dan Ahmad  al-Dukhayy. [25] Sekitar 9.000 orang telah ditahan atas tuduhan terindikasi terlibat dalam gerakan teror dalam operasi kontraterorisme antara tahun 2003-2007 [26].

Kesuksesan program-program kontraterorisme yang dibuat oleh pemerintah Saudi juga tak lepas dari dukungan dewan ulama senior dan mufti. Fatwa menjadi alat untuk mengontrol opini publik mengenai ketidakabsahan tindakan teror dan sesatnya para pelaku teror tersebut sehingga tindakan-tindakan pemerintah mendapatkan legalitas secara religius untuk memberantas terorisme. 

Sejak peristiwa 9/11 tahun 2001 mufti dan dewan ulama senior telah mengeluarkan fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat mengenai respon ulama terhadap aktifitas terorisme.  Dewan Senior Ulama telah mengeluarkan fatwa mengenai respon terhadap terorisme sebanyak dua kali yaitu pada tahun 2003 dan tahun 2010. Fatwa pertama dikeluarkan tanggal 11 Februari 2003 sebagai respon terhadap serangan massif yang dilakukan oleh al-Qaeda di internal negara Saudi.  Fatwa tersebut menyatakan bahwa penumpahan darah orang-orang yang tak berdosa, pengeboman bangunan dan kapal laut, penghancuran instalasi publik dan privat adalah tindakan kriminal dan bertentangan dengan Islam. dan mengharuskan bagi yang memiliki pemahaman dan ideologi yang menyimpang untuk bertanggung jawab atas tindakan kriminalnya tersebut. Fatwa tersebut juga memberikan dukungan yang besar bagi otoritas pemerintah Saudi untuk mengusir atau membasi terorisme sampai ke akar-akarnya, dan mengajak bagi semua masyarakat untuk bekerjasama dengan pemerintah untuk melawan terorisme dan memperingatkan untuk tidak menyediakan dukungan, perlindungan bagi para teroris dan jaringannya. Serta, dewan ulama senior mengecam segala fatwa yang menjustifikasi segala aksi teror terhadap kaum Muslim sebagai tindakan jihad. Siapa saja mengeluarkan fatwa tersebut, menurut Dewan Senior,  maka harus dibawa ke pengadilan atau dihukum[27].

Kemudian Dewan ulama senior tahun 2010 mengeluarkan fatwa lagi mengenai pendanaan untuk terrorisme, Fatwa on terror financing, May 7, 2010. Fatwa tersebut menyatakan bahwa membantu pendanaan terror, insepsi, membantu, atau mencoba untuk melakukan tindak terrorisme atau apa bentuk atau dimensinya yang berkaitan dengan itu dilarang oleh syariah bisa dikenai hukuman kriminal. Termasuk juga, proses mengumpulkan dan menyediakan dana, atau berpartisipasi dalam berbagai bentuk termasuk finansial dan non-finansial ases tanpa memandang asalnya legal atau illegal[28].

Kebijakan kontraterrorisme pemerintah Saudi yang didukung oleh para ulama memperoleh banyak kritik dari para tokoh dan ulama seperti, Dr. Sa`id al- Zu`air,  Professor di Universitas Imam Muhammad dan Imam di Masjid Riyadh.  al-Zu`air yang pernah dipenjara tahun 1995 kemudian bebas tahun 2003 ditangkap kembali oleh pemerintah Saudi tahun 2007 setelah dianggap menyatakan dukungannya terhadap aksi teror di Riyadh serta mengkritik kebijakan kontraterorisme pemerintah Saudi dalam sebuah wawancara dengan TV Al-Jazeera[29]. Kemudian, Syekh Ali al-Khudhair, Syekh Ahmed al-Khalidi dan Syekh Nasser al-Fahad adalah tiga ulama yang menolak kebijakan kontraterorisme pemerintah. Tahun  2003, ketika pemerintah merilis 19 buronan terroris,   ketiga ulama tersebut membuat pernyataan bersama yang menolak pengumuman pemerintah tersebut dan memfatwakan melarang setiap orang untuk membantu pemerintah mencari 19 orang tersebut baik melalui poster, melaporkan keberadaan, atau berusaha untuk mencari mereka. Para ulama itu beralasan bahwa pemerintah Saudi mengeluarkan data tersebut dibawah dukungan program war on terror pemerintah Amerika Serikat sehingga mendukung pemerintah Saudi sama saja dengan mendukung Amerika Serikat. Setelah mengeluarkan pernyataan tersebut, ketiga ulama ini akhirnya ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah Saudi. [30]

Sejak tahun 2003 hingga masa revolusi Dunia Arab, Banyak tokoh-tokoh, ilmuwan dan ulama yang ditangkapi oleh pemerintah dengan alasan-alasan kontraterrrorisme. Mereka itu secara umum menentang berbagai kebijakan pemerintah Saudi baik dalam kontraterrorisme, penentangan terhadap kerjasama Saudi dan Amerika ataupun tuntutan reformasi terhadap pemerintah Arab Saudi. Mereka itu antara lain, Dr. Sa’ud Mukhtar al-Hashimi, Dr. Musa al-Qarni and Dr. Suleiman al-Rushoodi, Ali al-Demaini,  Dr. Matrouk al-Faleh, Dr. Abdullah al-Hamed, Syekh Khalid al-Rashed dan Dr. Bisher Fahad al-Bisher.

5.     Arab Spring di Kerajaan Saudi

Revolusi Dunia Arab tahun 2011 yang berawal dari Tunisia kemudian menjalar ke Mesir, Libya, Bahrain, Yaman dan negara-negara lainnya di Timur Tengah juga berdampak pada kerajaan Arab Saudi. Tuntutan-tuntutan reformasi juga menjadi marak pada tahun 2011 tersebut dari aktifis-aktifis pro-reformasi yang menuntut reformasi konstitusional, dialog nasional, pengadaan pemilu dan memberikan hak partisipasi politik bagi wanita.  Serta mengkritik birokrasi pemerintah yang tidak efisien, fanatisme beragama, dan kesenjangan sosial antara negara dan rakyat. Mereka yang terlibat antara lain dalam kalangan aktifis, akademisi,  pebisnis dan ulama. [31]

Untuk merespon permasalahan munculnya protes secara internal di negara Saudi, Pemerintah Saudi membuat beberapa kebijakan untuk menghentikan aksi-aksi dan mengembalikan stabilititas diantaranya. Tindakan keras bagi para demonstran, penambahan bantuan sosial bagi masyarakat, dan menjanjikan pemberian hak perempuan dalam politik[32].

Pada saat gencarnya seruan-seruan untuk melakukan demonstrasi di Saudi, pada 6 Maret 2011, dewan  ulama senior mengeluarkan fatwa yang menentang protes-protes yang dilakukan oleh masyarakat. Isi fatwa tersebut menyatakan dukungan terhadap keamanan dan stabilitas di dalam kerajaan Arab Saudi yang merupakan kepimpinan yang  sah, diakui dalam Islam dan telah diridhoi oleh Allah Swt karena keteguhan penguasa untuk menjaga Islam dan dua kota suci. oleh karena itu, tidak ada yang mampu untuk memecah belahnya dari kelompok manapun, bahkan kelompok-kelompok asing[33].

Dewan ulama senior menyerukan kepada semua masyarakat untuk menjaga keutuhan dan kesatuan dalam masyarakat dan bersama-sama menentang segala yang bertentangan dengan hal tersebut seperti, ketidakadilan, penindasan, dan kebencian terhadap kebenaran.  Ulama senior mengajak untuk saling nasehat-menasehati, saling memahami dan bekerjasama dalam kebenaran dan kesalehan dan mencegah dalam kejahatan dan kebencian. Dan selama penguasa Saudi masih berlandaskan al-Quran dan Sunnah maka wajib ditaati dan tidak boleh melakukan demonstrasi untuk menuntut perbaikan karena bisa menimbulkan kerusuhan dan perpecahan umat.  Sikap ini, menurut  fatwa tersebut, adalah bentuk dari ketaatan terhadap mazhab/tradisi para pendahulu/ salafus sholeh dan para pengikut mereka dari dulu hingga sekarang. Fatwa ini kemudian diperintahkan untuk dicetak sebanyak 1,5 juta kopi untuk disebarkan ke masjid-masjid dan masyarakat, juga disebarkan lewat media-media online[34]. Media-media lokal juga memuat fatwa tersebut untuk memperkuat dukungan terhadap penyebaran fatwa tersebut.

Dampak dari fatwa-fatwa yang dibuat oleh ulama tersebut mendeligitimasi segala demonstrasi yang dibuat oleh masyarakat Saudi. Dan memberikan legitimasi kepada pemerintah untuk bertindak sesukanya untuk mengendalikan suasana baik represi, penahanan  ataupun pembunuhan.      Laporan   Komisi HAM Islam (Commission of Islamic Human Right)  tahun 2011, menuliskan sekitar 5.000 tambahan tahanan politik di penjara-penjara Saudi yang dikutip dari data pemerintah. Sementara yang dicatat oleh para pengacara/pakar hukum dan aktifis HAM sekitar 7.000 orang tahanan politik yang menambah jumlah tahanan menjadi sekitar 30.000 orang  di negara tersebut. [35] Sementara yang tewas karena ditembak oleh pihak keamanan sejak tahun 2011 hingga 2012 sebanyak 22 orang yang mayoritasnya adalah anak-anak muda dibawah usia 20 tahun[36].

Sikap dari dewan ulama senior, mufti dan pemerintah banyak dikritik oleh tokoh-tokoh dan ulama non pemerintah. Diantaranya adalah figure ulama sahwa islamiyyah Syekh Dr. Salman al-Awdah. Di tengah-tengah terjadinya protes di Saudi Arabia, dia membuat surat terbuka kepada pemerintah melalui Twitternya yang diikuti oleh 2,4 juta followers.  Disitu ia  menggambarkan suasana stagnan yang menurut dia disebabkan oleh kurangnya perumahan, masalah pengangguran, kemiskinan, korupsi, sistem pendidikan dan kesehatan yang buruk, nasib buruk tahanan dan ketiadaan prospek reformasi politik. Al-Awdah memperingatkan, jika revolusi ditindas, aksi demonstrasi akan berubah menjadi aksi bersenjata, dan jika para aktifis demonstran diabaikan maka mereka akan meluas dan menyebar. Penyelesaiannya adalah keputusan bijaksana dan tepat pada waktunya untuk menghindari percikan kerusuhan[37].

Tokoh-tokoh ulama lain yang juga ikut mengkritisi pemerintah dan tidak ikut menentang para demonstran adalah Seperti, Syekh Sulaiman al-Duwaish, yang menggunakan youtube untuk mengkritisi pemerintah yang dianggap tidak Islami dan korup. Problem ini menurutnya, menjadi pemicu dari meningkatnya pembangkangan dan kerusuhan secara meluas di Masyarakat Saudi. al-Duwaish akhirnya ditahan oleh pemerintah bulan juni 2011. Ulama yang lain, Dr. Yusuf al-Ahmad, terkenal dengan fatwa kontroversialnya  yang mengharamkan perempuan untuk bekerja sebagai pilot pesawat dan seruannya untuk membangun kembali masjid al-Haram di Makkah dengan konsep laki-laki dan perempuan terpisah. Dia mengunggah video ceramahnya di youtube yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah, menuntut keadilan bagi para tahanan politik, dan mengecam penahanan massal yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para demonstran laki-laki ataupun perempuan. Setelah tiga videonya diunggah di youtube, akhirnya dia ditahan tanggal 8 Juli 2011[38].

Kesimpulan

Dalam kasus-kasus yang terjadi sejak tahun 1979 hingga Arab Spring 2011. Ulama memperlihatkan peran yang sangat penting dalam memberikan dukungan terhadap penguasa Saudi dalam kebijakan-kebijakan yang akan dibuat. Ulama Senior bertugas membuat fatwa yang fatwa itu berfungsi melegitimasi setiap kebijakan Saudi dan menstabilkan opini publik serta menyingkirkan suara-suara yang bertentangan dengan fatwa ulama senior.

Pada masa perang teluk dan setelahnya, banyak ulama non-pemerintah yang mengkritisi sikap kerajaan  Saudi yang bekerjasama dengan negara kafir barat dan mengkritisi buruknya penerapan Islam di Saudi. Namun, kritik tersebut tidak merubah sikap pemerintah dan mufti atau ulama terhadap kebijakan yang telah dibuat. Bahkan para tokoh yang kritis tersebut ditangkapi dan diintimidasi atas tuduhan melanggar syariah dengan mengkritisi pemerintah terang-terangan.

Politik fatwa juga diterapkan dalam kasus-kasus terakhir, kontraterorisme dan Revolusi dunia arab. Setelah keluarnya fatwa ulama mengenai kontraterorisme. Pemerintah gampang saja menuduh dan menangkap siapa saja yang dianggap teroris dan mendukung aktifitas terorisme. Banyak tokoh yang ditangkap hanya karena mengkritisi kebijakan pemerintah Saudi dalam kontraterorisme. Disisi lain, ribuan orang ditangkap hanya karena diperkirakan terlibat dalam terorisme atau memiliki pemikiran radikal.  Pada peristiwa revolusi dunia arab. Fatwa ulama memberikan kekuatan bagi pemerintah untuk menangkap atau bahkan membunuh para demonstran.

Kasus-kasus yang pernah terjadi dalam kerajaan Saudi memperlihatkan peran besar ulama dalam setiap kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun, peran ulama tersebut tidak langsung dalam merumuskan kebijakan yang diambil. Ulama hanya menjadi pendukung setiap kebijakan pemerintah dengan fatwa yang dibuatnya. Posisi ulama ini sangat rentan dimanipulasi atau diperalat oleh pemerintah. Terbukti, banyak kebijakan-kebijakan Saudi yang didukung oleh ulama dikritik oleh tokoh-tokoh ulama sendiri di internal kerajaan Saudi. 


Disampaikan di Jakarta International Islamic Conference of Muslim Intellectuals, Wisma Makara, Universitas Indonesia Sabtu, 14 Desember 2013

[1] James Wynbrandt.2004. A Brief History of Saudi Arabia. New York: Facts On File, Inc, hal:120

[2] Sherifa Zuhur. 2011. Saudi Arabia. California: ABC-CLIO, hal: 189

[3] Alejandra Galindo Marines .2001. The relationship between the ulama and the government in the contemporary Saudi Arabian Kingdom: an interdependent relationship?, Durham theses, Durham University, Hal: 2-3

[4] Meir Hatina. 2010. ʿUlamaʾ , Politics, and the Public Sphere An Egyptian Perspective. Salt Lake City: The University of Utah Press, hal: 5

[5] Noah Feldman. 2008. The fall and rise of the Islamic state.New Jersey: Princeton University Press, 41 William Street, hal: 81

[6] Gibreel Gibreel. 2001. The Ulema: Middle Eastern Power Brokers. Middle East Quarterly.

Volume VIII: Number 4, http://www.meforum.org/105/the-ulema-middle-eastern-power-brokers, diakses 13/11/13

[7] Anthony B. Toth. 2008. Saudi Arabia. Microsoft® Student 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation,.

[8]  David Commins. 2006. The Wahhabi Mission and Saudi Arabia. London: I.B.Tauris & Co Ltd, Hal: 42

[9]  Ibid, hal: 45

[10]  Ibid, hal: 106

[11] Global Security. Council of Senior Ulama. http://www.globalsecurity.org/military/world/gulf/sa-ulama.htm, 13/11/2013

[12] Madawi Rasheed. 2007. Contesting the Saudi State: Islamic Voices from a New Generation. New York: Cambridge University Press, Hal: 34-37

[13] Ibid, hal: 37-42

[14] ibid, Hal: 45


[16] Joseph A. Kechichian. 1986. The Role of the Ulama in the Politics of an Islamic State: The Case of Saudi Arabia. International Journal of Middle East Studies, Vol. 18, No. 1, Hal 59

[17] Ibid, hal 66-67

[18] Charles Kurzman. Pro-U.S. Fatwas. Global Middle East Policy, Vol. X, No. 3, Fall 2003, Hal: 157

[19] David Commins, op.cit,Hal: 187-188

[20] James Wynbrand, Hal: 256

[21]R. Hrair Dekmejian. 1994. The Rise of Political Islamism in Saudi Arabia. Middle East Journal, Vol. 48, No. 4,Hal: 633-634

[22] James Wynbrandt, op.cit, Hal: 263

[23] Thomas Hegghammer. 2010. Jihad in Saudi Arabia: Violence and Pan-Islamism since 1979.    Cambridge: Cambridge University Press, hal:  200

[24] James Wynbrandt, op.cit, Hal: 283

[25] Thomas Hegghammer, op.cit, hal: 202

[26] Amnesty International. 2011. Saudi Arabia Repression  in the Name  of Security. London: Amnesty Internasional, hal: 18

[27] Saudi Press Agency.2003. 17th August 2003 - Statement by Senior Ulema Commission condemns terrorism. www.saudinf.com/display_news.php?id=910 diakses 13/11/2013

[28]Saudi Embassy. 2010. Council of Senior Ulema Fatwa on terror-financing. (http://www.saudiembassy.net/announcement/announcement05071001.aspx). diakses 13/11/2013

[29] Steven Stalinsky. 2011. American-Yemeni Al-Qaeda Cleric Anwar Al-Awlaki Highlights the Role and Importance of Media Jihad, Praises Al-Jazeera TV Journalists and WikiLeaks. Inquiry & Analysis Series Report No. 677, http://www.memri.org/report/en/print5096.htm , diakses 15/11/2013

[30] Ihrc . 2011. Saudi Arabia’s Political Prisoners: Towards a  Third Decade of Silence 1990, 2000, 2010. Wembley:  Islamic Human Rights Commission, hal: 6

[31] Ahmed Al Omran. Saudi Arabia: A new mobilisation,  dalam ECFR. 2014.  What does  The gulf think  about the arab Awakening?. London:  European Council   on Foreign Relations (ECFR), hal: 6-7

[32]Devin Entrikin, Amy Grinsfelder, dkk. 2011. The Arab Spring in the Arabian Peninsula. http://saudirevolt.files.wordpress.com/2011/12/saudi-group-final-paper.pdf,diakses 13/11/2013, hal:25

[33] Asharq al-Awsat. 2011. A fatwa from the Council of Senior Scholars in the Kingdom of Saudi Arabia warning against mass demonstrations Fatwa.   http://islamopediaonline.org/fatwa/fatwa-council-senior-scholars-kingdom-saudi-arabia-warning-against-mass-demonstrations, Diakses 13/11/2013

[34] The Guardian. 2011. Saudi Arabia prints 1.5m copies of religious edict banning protests.. http://www.guardian.co.uk/world/2011/mar/29/saudi-arabia-edict-banning-protests. diakses 13/11/2012

[35] Ihrc . 2011. Saudi Arabia’s Political Prisoners: Towards a  Third Decade of Silence 1990, 2000, 2010. Wembley:  Islamic Human Rights Commission, hal: 11

[36]______,2011–13 Saudi Arabian protests. http://en.wikipedia.org/wiki/2011%E2%80%9313_Saudi_Arabian_protests#cite_note ThReut_LaessingDeported-170 diakses 13/11/2013

[37] Inilah. 2013. Ulama Arab Saudi keluarkan peringatan langka soal reformasi. http://m.inilah.com/read/detail/1947868/ulama-arab-saudi-resah-akibat-kebijakan-raja.diakses 13/11/2013

[38] IHRC . opcit. Hal: 10

0 komentar:

Sual Jawab dengan Kawan tentang Khilafah Tahun 2012

Assalamu'alaikum Hasbi..
Apa khabar..?
Semoga kita sentiasa dalam Lindungan dan Rahmat Allah.. (amin..

Ini di email kita bisa lebih luas sharing..
Ttg Islam, Khilafah dan Ke Depan..
KHILAFAH
Ana sebetulnya mendukung Khilafah..
DUlu sembunyi sembunyi 
Karena Ayah Ana tidak Suka
Ana dan Ayah lain Pemikiran
Terkadang Kontra
Dan Ana Terkadang Pro
Tapi Ana Berusaha
Untuk Menjadi Anak yg Baik

baginya.

KHILAFAH ITU DICICIL
MUNGKIN SEKALIGUS TIDAK BISA
KITA BISA MEMANFAATKAN TEMAN KITA PKS

DALAM KHIALAFAH NEGARA INI ADALAH SEBUAH PROVINSI
SEPERTI GUBERNUR MESIR (MUADZ) GUBERNUR MADINAH (ALI) DLL
DI ZAMAN RASULILLAH (SAW)

LALU BEBERAPA DAERAH DIPILIH LANGSUNG BUPATINYA (GUBERNURNYA-Indonesia)
DAN BUPATI MEMILIH CAMAT (KABUPATEN-Indonesia)
DISINI MENGHEMAT BIAYA PEMILU
TIDAK BOROS
DAN ISLAM SEBAGAI SYARIATNYA
HIJAB SEBAGAI PAKAINNYA
PERSAUDARAN SEBAGAI ASAS SOSIALNYA (MASYARAKAT)
dll

0 komentar:

0 komentar:

STRATEGI POLITIK PENGETAHUAN AMERIKA SERIKAT DALAM PENJAJAHAN KEMBALI INDONESIA PASCA 1945



 Kalau Indonesia dikatakan telah memproklamasikan kemerdekaan tahun 1945 dan lepas dari dominasi Jepang dan Belanda namun, substansi dari penjajahan itu secara riil masih sangat terasa di Indonesia. Contoh yang sangat nyata adalah penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia masih didominasi swasta atau asing. Pemerintah juga masih tetap istiqomah mengikuti negara-negara kapitalis dan lembaga-lembaga Internasional dalam kebijakan perdagangan, layanan-layanan sosial, keuangan, pendidikan dan kesehatan. Dampak yang dihasilkanpun sama, kesengsaraan dan penderitaan masyarakat terjadi secara massif. Salah satu sumber masalahnya adalah hadirnya para ilmuwan yang tidak sadar telah menjadi agen dari negara kolonial barat atau Amerika. Dengan berkedok bantuan-bantuan pembangunan, pendidikan dsb, sedikit demi sedikit, negara kolonial mengisi otak-otak anak bangsa untuk menjadi agen aktif untuk menyerahkan negaranya kepada kolonial tersebut.
 Strategi politik AS untuk memenangkan idenya terhadap Indonesia merupakan bentuk dari politik pengetahuan. Tampakan luarnya hanya sekedar program-program pendidikan dan penelitian, tapi kepentingannya adalah untuk menghegemoni / menjajah dengan ideologi yang diajarkan.   tulisan ini akan membahas mengenai proses berjalannya politik pengetahuan yang dijalankan oleh AS di Indonesia.
Program Pendidikan Amerika tuk Anak Negeri 
Sejak Indonesia merdeka dan dipimpin oleh Soekarno, sebenarnya ada keinginan untuk betul-betul melepaskan diri dari semua unsur kolonialisme. Hal itu tercermin dari sikap tegas Soekarno terhadap Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya namun, yang menjadi kendala adalah semangat Soekarno tidak menjadikan Soekarno bisa lepas dari ketergantungan terhadap bantuan-bantuan negara lain baik dari kutub Sosialisme Sovyet maupun Kapitalisme Amerika Serikat saat itu. Pada saat yang sama Amerika Serikat diam-diam telah membuat program untuk menjerat Indonesia dalam dominasi Amerika Serikat.
Salah satu yang menjadi sasaran Amerika Serikat untuk menjalankan strateginya adalah proyek pengembangan pendidikan di Indonesia dengan membantu pembenahan kurikulum di kampus-kampus dan memberikan program beasiswa bagi para mahasiswa dan dosen untuk belajar ke beberapa universitas di Amerika Serikat. Beberapa Lembaga donor yang aktif untuk proyek pengembangan pendidikan di Indonesia adalah  Ford Foundation yang dipimpin oleh Paul Hoffmen dan Rockefeller Foundation yang dipimpin oleh Dean Rusk . 
Untuk menjalankan program modernisasi di Indonesia, Ford Foundation yang dipimpin oleh Hoffmen bekerjasama dengan  universitas-universitas terbaik Amerika seperti, MIT, Massachusette Institute of Tecnology, Universitas Cornell, Berkeley, dan Harvard  yang secara tidak langsung bekerja dibawah perintah Amerika untuk menciptakan para elit pembaharu , modernizing elit  dari Indonesia (Ransom, 2006: 31).   MIT dan Cornell bertugas untuk membuat hubungan, mengumpulkan  data dan mendidik tenaga ahli. sementara Universitas Berkeley bertugas mengkader tokoh- tokoh Indonesia yang akan memegang peranan dalam pemerintahan untuk kemudian mempraktekkan segala ilmu  yang telah didapatkan dari Universitas-universitas tersebut (Ransom, 2006: 36). Di  antara banyak orang-orang Indonesia yang dibawa kampus-kampus tersebut antara lain Selo Sumardjan, Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Subroto, Ali Wardhana, Moh. Sadli, Miriam Budiardjo dan Barli Halim.
Di Indonesia sendiri, Universitas Indonesia menjadi tujuan untuk pengembangan pendidikan yang berdasarkan atas metode barat. Tahun 1951 presiden Ford, Paul Hoffman mengirim team dari berkeley yang dipimpin oleh Michael Harris ke Indonesia untuk membuatkan program-program baru bagi Sumitro Djojohadikusumo di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia  setelah Soekarno mengusir professor ­ professor Belanda dari kampus tersebut. Serta untuk membantu para akademisi di kampus tersebut untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas-Universitas di Amerika. (Ransom, 2006: 38).
Secara keseluruhan biaya yang dihabiskan oleh Ford Foundation dan Rockefeller Foundation untuk  membiayai berbagai program di Indonesia adalah sekitar 20 juta dollar AS. Harga ini menurut Howard Jones, Dubes AS untuk Indonesia tahun 1958-1965, adalah  harga yang dibayar untuk “perjuangan jangka panjang untuk otak Indonesia” (Simpson, 2010: 27).
Salah seorang anggota Team Berkeley Bruce Glassburner setelah menyelesaikan tugasnya di Indonesia tahun 1962 mengatakan, “Team Berkeley telah melaksanakan tugasnya dengan baik. “Jaga semuanya. Kita sudah memulainya .... dan dengan uang bantuan Ford Foundation, kita berhasil mendidik sekitar 40 ahli ekonomi”. Apa yang didapat Universitas dari itu? “Yaa, uang dan kepuasan telah melaksanakan tugas dengan baik” (Ransom, 2006:41). 
Untuk semakin memperkuat strateginya, Amerika Serikat melalui Team Berkeley  juga ikut serta membina angkatan darat dengan mengisi program-program pendidikan di Sekolah Komando Angkatan Darat, SESKOAD, Bandung. Setelah Team itu kembali ke Amerika, yang melanjutkan program tersebut adalah para akademisi lulusan Amerika, Muhammad Sadli, Widjojo Nitisastro, dkk dari Fakultas Ekonomi. Disamping sebagai tempat pelatihan, SESKOAD juga menjadi tempat konsolidasi politik angkatan darat dan para akademisi untuk menghancurkan komunisme di Indonesia dan mengkritik segala kebijakan Soekarno yang prokomunis.
Puncak dari segala strategi yang telah dibangun tersebut adalah setelah peristiwa Gerakan 30 September PKI tahun 1965, Soekarno jatuh dari kekuasaanya tahun 1966  dan Soeharto, seorang panglima komando angkatan darat mengambil alih kekuasaan. Terlepas dari banyaknya versi siapa yang menjadi dalang dibalik peristiwa berdarah tersebut, tapi setelah kejadian itu yang paling diuntungkan adalah Amerika Serikat. Peristiwa itu membalikkan keberfihakan politik Indonesia dari pro nasionalis komunis kubu Soekarno menjadi totaliter kapitalistik, kubu Soeharto, angkatan darat dan akademisi-akademisi didikan Amerika. 
Setelah pengambil alihan kekuasaan Soeharto tahun 1966, Indonesia tiba-tiba menjadi negara yang mengikut metode liberal-kapitalisme dalam menyelesaikan segala masalah ekonomi yang ditinggalkan oleh Soekarno dan untuk membangun Indonesia. Hal itu semakin mantap karena Soeharto dikelilingi oleh didikan Amerika dan militer yang mendukungnya seperti, Sumitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Subroto, Ali Wardhana, Moh. Sadli, Barli Halim
Peristiwa besar yang menandai suksesnya strategi kapitalisme Amerika Serikat di Indonesia yang terjadi pada masa Soeharto adalah dilaksanakannya sebuah konferensi istimewa di Jenewa Swiss tahun 1967 yang disponsori oleh  The Time-Life Corporation. Acara ini dihadiri oleh para kapitalis dunia seperti David Rockefeller, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation dan US Steel. Mereka disana bertemu dengan perwakilan dari Indonesia untuk secara khusus membahas mengenai pengambilalihan Indonesia.
Selama tiga hari pertemuan, perwakilan-perwakilan korporasi internasional itu mendikte perwakilan pemerintah untuk membuat infrastruktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia.  setelah pertemuan tersebut,  perusahaan Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat. Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Setelah itu para ekonom itu membawa Indonesia tergantung pada utang luar negeri baik kepada (IGGI) kelompok negara-negara pengutang bagi Indonesia, IMF dan World Bank (kwikkiangie.com, 2013)  
Inilah alasannya, sehingga David Ransom menjuluki para ekonom tersebut sebagai Mafia Berkeley. Mafia Berkeley menjadi julukan bagi para ilmuwan yang memiki mazhab yang sama mengenai liberalisme ekonomi atau fundamentalisme pasar. sejak zaman Soeharto hingga sekarang kelompok ini masih tetap ada dalam lingkaran kekuasaan yang mengarahkan pemerintah untuk tetap setia pada korporasi internasional, lembaga donor internasional dan berbagai kebijakan liberalisasi.
Rujukan:
Ransom, David. 2006. Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal Di Indonesia. Jakarta Selatan: Koalisi Anti Utang (KAU)
Simpson, Bradley R. 2010. Economics with Guns: Amerika Serikat, CIA da Munculnya pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Gie, Kwik Kian. Tt. Proses Terjajahnya kembali Indonesia sejak tahun 1967 (Bagian 1). Kwikkiangie.com, diakses 06/05/2013¬

0 komentar:

MENUJU KEHANCURAN PERADABAN BARAT (Liberalisme dan Krisis demografi di Eropa )



“The problem has also become very difficult because we are no longer sure of the norms to transmit; because we no longer know what the correct use of freedom is, what is the correct way to live, what is morally correct and what instead is inadmissible”. (Pope Benedictus XVI)

Telah berak-rak buku yang telah tertuliskan tentang kehancuran peradaban barat. Peradaban yang menjadi proyektor ajarana-ajaran liberalisme ini tinggal menunggu waktu untuk musnah. Krisis demi krisis silih berganti. Krisis ekonomi, moral, demografi dsb. Padahal ketiga hal ini penting dalam membangun sebuah peradaban. Hal ini justru terjadi bukan karena kesalahan dari para penjaga peradaban tersebut, Politisi, agamawan, media dsb. Tapi karena memang sejak lahir konsep liberalism sebagai basis dari peradabannya yang bermasalah sehingga saat ia diterapkan akhirnya menjadi semakin bermasalah.
Krisis Demografi
Menurut sebuah hasil penelitian bahwa sebuah kebudayaan bisa bertahan hingga diatas 25 tahun jika rata-rata jumlah kelahiran di wilayah tersebut adalah 2,11 persen. Dan jika hanya 1,9 atau 1,3 persen maka bisa dikatakan mustahil kebudayaan tersebut bisa bertahan. Melihat Eropa Saat ini, tingkat kelahirannya sangat memperihatinkan. Tingkat kelahiran 31 negara di bawah Uni Eropa hanya sekitar 1,38 persen. 1,8 di perancis, 1,6 di Inggris, 1,4 Yunani, 1,3 Jerman, 1,2 italia, dan 1,1 Spanyol. Hal ini tentunya sangat menghawatirkan bagi barat itu sendiri. saya kira kita patut untuk menyimak sedikit keluh kesah dari paus benedict XIV seperti yang ditulis oleh Joseph A. D'Agostino, wakil presiden Population Research Institute, “Before these families with their children, before these families in which the generations hold hands and the future is present, the problem of Europe, which it seems no longer wants to have children, penetrated my soul. To foreigners this Europe seems to be tired, indeed, it seems to be wishing to take its leave of history,”. Periode sebelumnya, menurut sang Paus, Keluarga-keluarga masih bersama dengan anak-anak mereka dan kemudian berpegangan tangan untuk melanjutkan masa depan peradaban dan saat ini masyarakat Eropa tampaknya sudah tidak berminat lagi untuk memiliki keturunan dan kita mesti merebut kembali sejarah yang hilang itu.
Penyebab
Bermula dari pembangkangan atas otoritas gereja akhirnya Eropa memulai kehidupannya dengan kebebasan atas individu (liberalism). Kebebasan tanpa norma agama sebagai aturan positifnya dan kebebasan dengan interpretasi mereka sendiri dan dijaga dengan institusi demokratis. Ternyata kebebasan tersebut akhirnya menjadi boomerang bagi masyarakat itu sendiri. kebebasan idealnya menjadi sarana untuk meraih kesejahteraan dan kenyamanan hidup bersama nyatanya menghasilkan budaya individualistis, budaya bersenang-senang (hedonism) dsb, seks bebas dan bahkan atas nama kebebasan atau persamaan akan Hak Asasi Manusia, perkawinan sesama jenis telah dibolehkan menurut Paus “The anti-human nature of same-sex “marriage”. Paham feminisme juga mengajak para ibu rumah tangga untuk memberontak dan keluar dari rumah dan menjadi bagian dari produksi. Paus benedictus XVI, “dalam masyarakat modern, karena pengaruh feminisme sehingga produktifitas dalam bidang ekonomi lebih dibutuhkan sebagai sebuah lifestyle dalam masyarakat level kelas menengah daripada menghasilkan generasi penerus peradaban hingga tidak ada waktu lagi untuk menghasilkan keturunan.”
Populasi Islam di Eropa
Belum reda kegelisahan di Eropa karena krisis demografi, Populasi muslim semakin meningkat tajam. Secara demografi masyarakat Eropa memang minus tapi jumlah populasi tidak berkurang bahkan bertambah. Tapi, imigran-imigran muslimlah yang menjadi penambahnya. Sumber daya manusia di negara-negara barat yang pertumbuhan ekonominya sangat tinggi tentu sangat disukai oleh penduduk negeri-negeri muslim yang kebanyakan miskin dan dekat dengan Eropa seperti Turki atau Maroko.
Ketika rata-rata kelahiran di perancis adalah 1,8 maka imigran muslim di perancis rata-rata 8,1 dan diperkirakan tahun 2027 satu dari lima penduduk perancis adalah Islam dan hanya dalam waktu 39 tahun perancis menjadi negara Islam. begitupun di Inggris, Jerman, Belanda, dan Rusia dan negara-negara eropa lainnya. hal ini juga diakui oleh German Federal Statistic Office, kejatuhan populasi jerman tidak bisa lagi dihentikan. Putaran Spiral yang terus menerus menurun tidak bisa diputar keatas lagi dan Jerman akan menjadi negara Islam tahun 2050.
Selain Imigran, masyarakat barat yang sudah bosan dengan kehidupannya juga sudah banyak yang beralih menjadi Muslim setiap harinya dan semakin menambah jumlah umat islam di Eropa.
Sebagai orang muslim semestinya kita bercermin pada kondis yang ada pada masyarakat barat saat ini yang tinggal menunggu kehancurannya karena keyakinan atau pandangan hidup yang mereka anut sendiri dan perlahan-lahan mereka kembali ke Islam sebagai fitrahnya. Sementara masyarakat Islam saat ini terkhusus Indonesia masih menganggap barat dan segala produk budayanya sebagai hal yang superior. Anak-anak muda mengadopsi pergaulan bebasnya, Faham-faham liberal, sekuler, Demokrasi, HAM, feminisme dsb. padahal islam dan segala produknya adalah diatas segalanya.
Kemudian Paus Benedictus memberikan Solusi, “what can save it but a profound spiritual renewal? Given the risible self-destruction of Europe’s moribund Protestant churches, can any force other than the Catholic Church provide this renewal for Europe? Or perhaps Europe’s fast-growing high-fertility Muslim population will provide its own spiritual reformation for the continent”.
 هوالذي ارسل رسوله با الهدي و دين الحق ليظهره علي الدين كله ولو كره المشركون
“Dialah yang telah mengutus rasulnya dengan petunjuk dan din yang benar untuk menjadikannya superior atas semua keyakinan walaupun orang-orang musyrik membencinya” (At-Taubah: 33)  

0 komentar: