STRATEGI POLITIK PENGETAHUAN AMERIKA SERIKAT DALAM PENJAJAHAN KEMBALI INDONESIA PASCA 1945



 Kalau Indonesia dikatakan telah memproklamasikan kemerdekaan tahun 1945 dan lepas dari dominasi Jepang dan Belanda namun, substansi dari penjajahan itu secara riil masih sangat terasa di Indonesia. Contoh yang sangat nyata adalah penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia masih didominasi swasta atau asing. Pemerintah juga masih tetap istiqomah mengikuti negara-negara kapitalis dan lembaga-lembaga Internasional dalam kebijakan perdagangan, layanan-layanan sosial, keuangan, pendidikan dan kesehatan. Dampak yang dihasilkanpun sama, kesengsaraan dan penderitaan masyarakat terjadi secara massif. Salah satu sumber masalahnya adalah hadirnya para ilmuwan yang tidak sadar telah menjadi agen dari negara kolonial barat atau Amerika. Dengan berkedok bantuan-bantuan pembangunan, pendidikan dsb, sedikit demi sedikit, negara kolonial mengisi otak-otak anak bangsa untuk menjadi agen aktif untuk menyerahkan negaranya kepada kolonial tersebut.
 Strategi politik AS untuk memenangkan idenya terhadap Indonesia merupakan bentuk dari politik pengetahuan. Tampakan luarnya hanya sekedar program-program pendidikan dan penelitian, tapi kepentingannya adalah untuk menghegemoni / menjajah dengan ideologi yang diajarkan.   tulisan ini akan membahas mengenai proses berjalannya politik pengetahuan yang dijalankan oleh AS di Indonesia.
Program Pendidikan Amerika tuk Anak Negeri 
Sejak Indonesia merdeka dan dipimpin oleh Soekarno, sebenarnya ada keinginan untuk betul-betul melepaskan diri dari semua unsur kolonialisme. Hal itu tercermin dari sikap tegas Soekarno terhadap Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya namun, yang menjadi kendala adalah semangat Soekarno tidak menjadikan Soekarno bisa lepas dari ketergantungan terhadap bantuan-bantuan negara lain baik dari kutub Sosialisme Sovyet maupun Kapitalisme Amerika Serikat saat itu. Pada saat yang sama Amerika Serikat diam-diam telah membuat program untuk menjerat Indonesia dalam dominasi Amerika Serikat.
Salah satu yang menjadi sasaran Amerika Serikat untuk menjalankan strateginya adalah proyek pengembangan pendidikan di Indonesia dengan membantu pembenahan kurikulum di kampus-kampus dan memberikan program beasiswa bagi para mahasiswa dan dosen untuk belajar ke beberapa universitas di Amerika Serikat. Beberapa Lembaga donor yang aktif untuk proyek pengembangan pendidikan di Indonesia adalah  Ford Foundation yang dipimpin oleh Paul Hoffmen dan Rockefeller Foundation yang dipimpin oleh Dean Rusk . 
Untuk menjalankan program modernisasi di Indonesia, Ford Foundation yang dipimpin oleh Hoffmen bekerjasama dengan  universitas-universitas terbaik Amerika seperti, MIT, Massachusette Institute of Tecnology, Universitas Cornell, Berkeley, dan Harvard  yang secara tidak langsung bekerja dibawah perintah Amerika untuk menciptakan para elit pembaharu , modernizing elit  dari Indonesia (Ransom, 2006: 31).   MIT dan Cornell bertugas untuk membuat hubungan, mengumpulkan  data dan mendidik tenaga ahli. sementara Universitas Berkeley bertugas mengkader tokoh- tokoh Indonesia yang akan memegang peranan dalam pemerintahan untuk kemudian mempraktekkan segala ilmu  yang telah didapatkan dari Universitas-universitas tersebut (Ransom, 2006: 36). Di  antara banyak orang-orang Indonesia yang dibawa kampus-kampus tersebut antara lain Selo Sumardjan, Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Subroto, Ali Wardhana, Moh. Sadli, Miriam Budiardjo dan Barli Halim.
Di Indonesia sendiri, Universitas Indonesia menjadi tujuan untuk pengembangan pendidikan yang berdasarkan atas metode barat. Tahun 1951 presiden Ford, Paul Hoffman mengirim team dari berkeley yang dipimpin oleh Michael Harris ke Indonesia untuk membuatkan program-program baru bagi Sumitro Djojohadikusumo di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia  setelah Soekarno mengusir professor ­ professor Belanda dari kampus tersebut. Serta untuk membantu para akademisi di kampus tersebut untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas-Universitas di Amerika. (Ransom, 2006: 38).
Secara keseluruhan biaya yang dihabiskan oleh Ford Foundation dan Rockefeller Foundation untuk  membiayai berbagai program di Indonesia adalah sekitar 20 juta dollar AS. Harga ini menurut Howard Jones, Dubes AS untuk Indonesia tahun 1958-1965, adalah  harga yang dibayar untuk “perjuangan jangka panjang untuk otak Indonesia” (Simpson, 2010: 27).
Salah seorang anggota Team Berkeley Bruce Glassburner setelah menyelesaikan tugasnya di Indonesia tahun 1962 mengatakan, “Team Berkeley telah melaksanakan tugasnya dengan baik. “Jaga semuanya. Kita sudah memulainya .... dan dengan uang bantuan Ford Foundation, kita berhasil mendidik sekitar 40 ahli ekonomi”. Apa yang didapat Universitas dari itu? “Yaa, uang dan kepuasan telah melaksanakan tugas dengan baik” (Ransom, 2006:41). 
Untuk semakin memperkuat strateginya, Amerika Serikat melalui Team Berkeley  juga ikut serta membina angkatan darat dengan mengisi program-program pendidikan di Sekolah Komando Angkatan Darat, SESKOAD, Bandung. Setelah Team itu kembali ke Amerika, yang melanjutkan program tersebut adalah para akademisi lulusan Amerika, Muhammad Sadli, Widjojo Nitisastro, dkk dari Fakultas Ekonomi. Disamping sebagai tempat pelatihan, SESKOAD juga menjadi tempat konsolidasi politik angkatan darat dan para akademisi untuk menghancurkan komunisme di Indonesia dan mengkritik segala kebijakan Soekarno yang prokomunis.
Puncak dari segala strategi yang telah dibangun tersebut adalah setelah peristiwa Gerakan 30 September PKI tahun 1965, Soekarno jatuh dari kekuasaanya tahun 1966  dan Soeharto, seorang panglima komando angkatan darat mengambil alih kekuasaan. Terlepas dari banyaknya versi siapa yang menjadi dalang dibalik peristiwa berdarah tersebut, tapi setelah kejadian itu yang paling diuntungkan adalah Amerika Serikat. Peristiwa itu membalikkan keberfihakan politik Indonesia dari pro nasionalis komunis kubu Soekarno menjadi totaliter kapitalistik, kubu Soeharto, angkatan darat dan akademisi-akademisi didikan Amerika. 
Setelah pengambil alihan kekuasaan Soeharto tahun 1966, Indonesia tiba-tiba menjadi negara yang mengikut metode liberal-kapitalisme dalam menyelesaikan segala masalah ekonomi yang ditinggalkan oleh Soekarno dan untuk membangun Indonesia. Hal itu semakin mantap karena Soeharto dikelilingi oleh didikan Amerika dan militer yang mendukungnya seperti, Sumitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Subroto, Ali Wardhana, Moh. Sadli, Barli Halim
Peristiwa besar yang menandai suksesnya strategi kapitalisme Amerika Serikat di Indonesia yang terjadi pada masa Soeharto adalah dilaksanakannya sebuah konferensi istimewa di Jenewa Swiss tahun 1967 yang disponsori oleh  The Time-Life Corporation. Acara ini dihadiri oleh para kapitalis dunia seperti David Rockefeller, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation dan US Steel. Mereka disana bertemu dengan perwakilan dari Indonesia untuk secara khusus membahas mengenai pengambilalihan Indonesia.
Selama tiga hari pertemuan, perwakilan-perwakilan korporasi internasional itu mendikte perwakilan pemerintah untuk membuat infrastruktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia.  setelah pertemuan tersebut,  perusahaan Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat. Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Setelah itu para ekonom itu membawa Indonesia tergantung pada utang luar negeri baik kepada (IGGI) kelompok negara-negara pengutang bagi Indonesia, IMF dan World Bank (kwikkiangie.com, 2013)  
Inilah alasannya, sehingga David Ransom menjuluki para ekonom tersebut sebagai Mafia Berkeley. Mafia Berkeley menjadi julukan bagi para ilmuwan yang memiki mazhab yang sama mengenai liberalisme ekonomi atau fundamentalisme pasar. sejak zaman Soeharto hingga sekarang kelompok ini masih tetap ada dalam lingkaran kekuasaan yang mengarahkan pemerintah untuk tetap setia pada korporasi internasional, lembaga donor internasional dan berbagai kebijakan liberalisasi.
Rujukan:
Ransom, David. 2006. Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal Di Indonesia. Jakarta Selatan: Koalisi Anti Utang (KAU)
Simpson, Bradley R. 2010. Economics with Guns: Amerika Serikat, CIA da Munculnya pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Gie, Kwik Kian. Tt. Proses Terjajahnya kembali Indonesia sejak tahun 1967 (Bagian 1). Kwikkiangie.com, diakses 06/05/2013¬