MASIHKAH ADA “PERIH” DAN “PILU” DI TAHUN 2014?: Sebuah Perspektif

Pendahuluan
Setia mendekati masa pergantian tahun, refleksi dan evaluasi sering dilakukan untuk memberikan penilaian terhadap kehidupan yang pernah kita jalani. Terkhusus untuk masyarakat indonesia akhir tahun kebanyakan dirayakan dengan bersenang-senang sembari menyalakan kembang api atau banyak yang membunyikan terompet untuk menyambut tahun baru yang “menyenangkan”.
Sikap yang berbeda pasti dilakukan oleh kalangan terdidik atau mahasiswa, terlebih mahasiswa muslim. Mereka pasti tidak pernah tenang “galau” disaat akhir tahun tiba sebab yang mereka fikirkan adalah, bagaimana nasib masyarakat indonesia tahun yang akan datang.dalam skala yang lebih luas, bagaimana nasib kaum muslim di tahun yang akan datang.
Pemikiran-pemikiran kegalauan wajar muncul, karena berpuluh-puluh tahun sejak deklarasi kemerdekaan hingga saat ini Indonesia masih sangat menderita dengan sejuta masalah yang sudah lelah kita harus terus menyebutnya berulang-ulang. Untuk tahun 2013 saja, isu-isu korupsi (trias corruptica), perburuhan (outsourcing, UMR), SJSN, BBM, biaya sekolah, rumah sakit, kerusakan moral, kondomisasi dsb masih tetap menjadi masalah yang berlarut-larut. Tahun 2014 yang akan menyambut juga akan berpotensi menimbulkan gejolak-gejolak baru, konflik pemilu, para politikus-munafik akan keluar lagi dengan sejuta wajah, terror spanduk dan baliho para politikus. Dalam konteks global, krisis global, imperialisme (Irak, Afghanistan), diktatorisme di dunia Islam, revolusi dunia Arab (suriah masih bergolak) semuanya masih menjadi pemandangan yang menyedihkan. Jadi, tidak mungkin kelompok terdidik bisa bersenang-senang pada saat melihat fakta-fakta tersebut.    
Tulisan ini tidak akan menjelaskan setiap problem yang menimpa masyarakat indonesia atau kaum muslim secara detail, dan memang mustahil untuk menuliskannya dalam catatan yang sangat ringkas. Karena itu, pembahasan kali ini saya akan fokuskan pada kerangka berfikir sistemik dalam melihat masalah yang terjadi di Indonesia dan dunia Islam pada umumnya.
Realitas sistemik dunia kontemporer
Persoalan yang terjadi di domestik sebuah negara sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari dinamik politik yang terjadi secara internasional. Keduanya saling berjalin kelindan dan saling berpengaruh. Namun, tidak semua negara yang politik domestiknya bisa berpengaruh signifikan  terhadap dinamik politik internasionalnya kecuali yang memiliki kekuatan yang besar saja seperti, Amerika Serikat saat ini. Kebanyakan negara saat ini hanya mengikuti arah gerak yang telah dibuat oleh negara-negara penguasa dunia saat ini.
Saat ini, sistem politik internasional, ada yang menganggap sebagai unipolar system yang Amerika Serikat menjadi penguasa tunggal dan yang paling berpengaruh dalam menentukan wajah hubungan antar negara[2].  Meskipun katanya, saat ini adalah masa jayanya demokrasi dan hukum internasional namun, Amerika bisa tetap memilih untuk patuh atau tidak pada prinsip-prinsip tersebut, contoh: invasi ke Iraq, Afghan, dan keterlibatan di Libya, Yaman, dan Pakistan.
Kemudian, kekuatan politik dan militer Amerika Serikat digunakan untuk menopang sistem ekonomi politik global yaitu, kapitalisme. Ideologi ini telah menjadi ideologi yang mengglobal dan menjadi kebanggaan bagi negara yang mengadopsinya. Jika masih enggan mengadopsi maka negara itu akan dikucilkan atau bisa jadi pemimpinnya di kudeta atau negaranya di invasi dengan banyak alasan.[3] Ideologi ini yang menjadi acuan bagi Organisasi perdagangan dunia, WTO, Donatur keuangan internasional, IMF, dan bank dunia. Indonesia dan mayoritas negara muslim berada dalam lingkaran sistem ini. Sistem inilah yang mengakibatkan terjadinya kerusakan besar bagi masyarakat dunia, khususnya di negeri-negeri muslim.
Kasus Indonesia
Posisi indonesia dalam politik internasional sebenarnya pernah sangat diperhitungkan utamanya saat presiden Soekarno berkonsolidasi dengan pemimpin-pemimpin nasional lain di negara-negara yang baru merdeka seperti, Mesir, Yugoslavia, India dan Ghana untuk membentuk gerakan non-blok ditengah ketegangan dua kutub ideologis Uni Soviet dan Amerika Serikat. Namun,  gerakan non-blok tersebut tidak memiliki kekuatan dalam menahan kekuatan imperialis kedua blok tersebut. Bahkan pidato-pidato Soekarno yang berapi-api tidak bisa menahan dia untuk jatuh dari kekuasaannya. 

Setelah Soekarno jatuh sekitar tahun 1966, Soeharto, didukung oleh negara-negara barat, menjadi penguasa baru di era baru. Era ini adalah era keterbukaan indonesia terhadap blok negara kapitalis barat. Sejak saat itu hingga kini Indonesia menjadi sangat aktif dalam mengikuti ritme permainan dari kapitalisme global. Dengan keterlibatan aktif di organisasi-organisasi internasional seperti IMF, WTO (GATT), PBB, dan APEC dsb.Serta negara-negara maju membentuk forum untuk melancarkan utang luar negeri untuk Indonesia, IGGI, Intergovernmental grup on Indonesia, yang didalamnya adalah Bank Dunia, ADB, Asian development bank, Amerika, jepang  Canada, Eropa dan Australia.

Keterlibatan Indonesia yang aktif di lembaga-lembaga ikon kapitalisme IMF dan WTO dan hubngan yang mesra dengan negara-negara kapitalis global mengarahkan Indonesia masuk dalam jebakan kapitalisme global. Fakta-fakta tersebut bisa dilihat dalam kebijakan-kebijakan domestik Indonesia masa sekarang ini. Seperti, liberalisasi pasar, privatisasi, deregulasi, pengurangan subsidi, dan investasi asing langsung. Paket kebijakan liberalisasi tersebut sesuai dengan agenda konsensus washington[4].
Indonesia mengadopsi gaya dari konsensus washington sejak tahun 1967 pada saat masuknya investasi dari perusahaan-perusaaan raksasa internasional dalam  momentum pertemuan perwakilan pemerintah indonesia dengan perusahaan-perusahaan raksasa dunia di Swiss untuk merancang pembangunan ekonomi di indonesia dibidang pertambangan, industri, kehutanan dsb yang disponsori oleh The time life corporation. Semua raksasa industri tersebut diwakili oleh : General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Hasilnya, Freeport mendapatkan bukit dengan tembaga di Papua. Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. (kwikkiangie.com, 2011).
Secara keseluruhan aset-aset strategis negara yang dikuasai swasta sebagai berikut: Freeport menguasai emas, tembaga dan hasil tambang lainnya sampai 80% lebih; tambang minyak dan gas dikuasai asing dan swasta sampai 87%; hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua dibagi-bagikan melalui Hak Pengelolaan Hutan (HPH) kepada swasta sekitar 80%, sementara negara hanya memperoleh sekitar 20%, yaitu dari iuran hasil hutan dan pajak; batubara, negara hanya memperoleh sekitar 30%, sementara yang 70% dikuasai oleh pemegang konsesi yang kebanyakan adalah perusahaan swasta dalam negeri dan asing.
Negara juga diharuskan untuk terus mencabut dan mengurangi subsidi sebagai bentuk kepatuhan terhadap norma liberalisasi. Pada tahun 2014 subsidi energi turun dari Rp 299,8 triliun menjadi Rp 284,6 triliun, sementara bantuan sosial turun dari Rp 82,4 menjadi Rp 55,8 triliun. Akibatnya, harga migas dan listrik  tiap tahun terus meningkat. Subsidi biaya pendidikan juga terus dikurangi. (Hizbut-Tahrir.or.id,2013)
Kemudian agenda kapitalisme di Indonesia juga mengilhami lahirnya banyak undang-undang di Indonesia UU Penanaman Modal Asing , UU Minyak dan gas, UU Mineral dan batu bara  dan UU Sumber Daya Alam, UU Sisdiknas dan UU BHP dalam bidang pendidikan dan  UU SJSN dan BPJS di bidang kesehatan, UU pasar modal, uu perseroan terbatas, uu otonomi daerah, uu kelistrikan, uu larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidaksehat, uu tindak pidanan pencucian uang, uu perlindungan konsumen, uu informasi dan transaksi elektronik, dan uu hak atas kekayaan intelektual, UU ini dibuat dalam pengawasan dan keterlibatan lembaga-lembaga internasional seperti IMF, USAID, WTO dan  World Bank.
Kebijakan di Sektor migas
Pemerintah Indonesia untuk mengurangi subsidi BBM yang hampir setiap tahun menjadi perdebatan juga sangat dipengaruhi  oleh visiliberalisme. Terungkap dalam dokumen-dokumen lembaga internasional ternyata, kebijakan pengurangan subsidi tersebut adalah untuk agenda liberalisasi migas  bukan untuk kepentingan rakyat indonesia. Seperti yang tertuang dalam  Letter of Intent (LoI). Di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000) disebutkan: “pada sektor migas, Pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional”.
Liberalisasi migas itu juga menjadi syarat (perintah) pemberian utang oleh Bank Dunia. Dokumen Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001) menyebutkan, “Utang-utang untuk reformasi kebijakan merekomendasikan  sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik, belanja subsidi khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya.”
Untuk memastikan liberalisasi itu, mereka mengawalnya sejak penyusunan rumusan UU. Dokumen program USAID, TITLE AND NUMBER: Energy Sector Governance Strengthened, 497-013 (http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html), menyebutkan: “tujuan strategis ini akan menguatkan pengaturan sektor energy untuk membantu membuat sektor energy lebih efisien dan transparan. Dengan jalan meminimalkan peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi, mempromosikan keterlibatan sektor swasta…”. Juga disebutkan, “USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000. The legislation will increase competition and efficiency by reducing the role of the state-owned oil company in exploration and production… (USAID telah membantu menyusun rancangan UU migas yang diajukan ke parlemen pada Oktober 2000. UU itu akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran BUMN minyak dalam hal eksplorasi dan produksi …).
“Pada Tahun 2001 USAID berencana menyediakan US$ 850 ribu (Rp 8.5 miliar) untuk mendukung sejumlah LSM dan Universitas dalam mengembangkan program yang dapat meningkatkan kesadaran dan mendukung keterlibatan pemerintah lokal dan publik pada isu-isu sektor energi termasuk menghilangkan subsidi energi dan menghapus secara bertahap bensin bertimbal …”. “The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000. Complementing USAID efforts, the World Bank has conducted comprehensive studies of the oil and gas sector, pricing policy… (ADB dan USAID bekerja sama dalam menyusun UU Migas baru pada tahun 2000. Melengkapi upaya USAID itu, Bank Dunia telah melakukan studi komprehensif sektor migas, kebijakan penentuan harga …).
Refleksi
Ideologi global dan para pengusungnya, baik negara maju maupaun lembaga internasional faktanya sangat berpengaruh terhadap dinamika politik domestik di Indonesia. Lembaga-lembaga seperti, legislatif dan eksekutif yang berfungsi untuk membuat undang-undang dan implementasi undang-undang tidak bisa berdiri sendiri dalam menentukan kebijakan-kebijakan untuk rakyat. Padahal Amerika, WTO, IMF dan World Bank sudah diketahui trackrecord-nya sebagai aktor dan agen imperialisme di negara berkembang. Tujuan mereka untuk bermuka manis di depan negara berkembang dengan rekomendasi-rekomendasi  kebijakan yang mereka tawarkan sebenarnya hanya untuk kepentingan kapitalisme global atau korporasi-korporasi internasional.
Dampaknya jelas sangat terasa dalam masyarakat. Pengurangan subsidi kesehatan dan pendidikan mencegah orang-orang yang berpunya untuk bisa mengaksesnya. Privatisasi SDA strategis menjadikan penguasaan SDA dinikmati oleh swasta, serta liberalisasi pasar, mematikan pasar-pasar lokal. Semuanya berakhir pada peningkatan jumlah kemiskinan di Indonesia dan negara-negara muslim lainnnya.
Berfikir secara terstruktur seperti ini akan membantu kita juga untuk memahami bagaimana seharusnya sikap kita menghadapi tahun politik 2014 nanti. Pertanyaan yang mesti muncul, adakah partai politik peserta pemilu yang mengusung isu yang sifatnya “struktrual” tadi?. Jawabannya pasti tidak ada, dan tidak pernah ada, karena sistem politik yang ada hanya mengarahkan para politisi untuk meraih kekuasaan dengan jalan singkat bukan dengan menawarkan solusi tapi, dengan uang, poster-poster, janji-janji atau mereka menawarkan kemunafikan[5].
Oleh karena itu, disinilah relevansi dari diskusi penegakan khilafah penting untuk digemakan. Agenda penegakan khilafah adalah agenda global untuk menggeser sistem politik internasional yang dikuasai Amerika dan kapitalisme menjadi milik kaum muslimin dengan khilafah. Insya allah perubahan sistem internasional tersebut akan mengarahkan dunia menjadi lebih maju lagi dan beradab dan Allah akan menjamin berkah dan rahmatnya akan turun memenuhi bumi.


[1]disampaikan dalam diskusi akhir tahun kelompok kajian Islam Universitas Islam Indonesia
[2]Perang melawan terror yang menjadi kepentingan seluruh negara saat ini awalnya adalah desain Amerika Serikat yang menggema setelah peristiwa 9/11 tahun 2001.
[3] Kajian mengenai ini bisa dibaca dalam buku John perkins. 2004. Confession of an Economic Hit man,
[4] Istilah yang pertama kali digunakan oleh John Williamson untuk menjelaskan program pemulihan krisis di Amerika latin tahun 1980an oleh IMF, World Bank departemen keuangan Amerika Serikat.
[5]Ciri-ciri orang munafik yang diberitakan oleh rasul persis seperti perilaku para politisi sekarang, berbicara dusta, janji yang diingkari, dan amanah yang dikhianati.