MASIHKAH ADA “PERIH” DAN “PILU” DI TAHUN 2014?: Sebuah Perspektif
00.57
Setia
mendekati masa pergantian tahun, refleksi dan evaluasi sering dilakukan untuk
memberikan penilaian terhadap kehidupan yang pernah kita jalani. Terkhusus
untuk masyarakat indonesia akhir tahun kebanyakan dirayakan dengan
bersenang-senang sembari menyalakan kembang api atau banyak yang membunyikan
terompet untuk menyambut tahun baru yang “menyenangkan”.
Sikap
yang berbeda pasti dilakukan oleh kalangan terdidik atau mahasiswa, terlebih
mahasiswa muslim. Mereka pasti tidak pernah tenang “galau” disaat akhir tahun
tiba sebab yang mereka fikirkan adalah, bagaimana nasib masyarakat indonesia
tahun yang akan datang.dalam skala yang lebih luas, bagaimana nasib kaum muslim
di tahun yang akan datang.
Pemikiran-pemikiran
kegalauan wajar muncul, karena berpuluh-puluh tahun sejak deklarasi kemerdekaan
hingga saat ini Indonesia masih sangat menderita dengan sejuta masalah yang
sudah lelah kita harus terus menyebutnya berulang-ulang. Untuk tahun 2013 saja,
isu-isu korupsi (trias corruptica), perburuhan (outsourcing, UMR), SJSN, BBM, biaya sekolah, rumah sakit, kerusakan
moral, kondomisasi dsb masih tetap menjadi masalah yang berlarut-larut. Tahun
2014 yang akan menyambut juga akan berpotensi menimbulkan gejolak-gejolak baru,
konflik pemilu, para politikus-munafik akan keluar lagi dengan sejuta wajah,
terror spanduk dan baliho para politikus. Dalam konteks global, krisis global,
imperialisme (Irak, Afghanistan), diktatorisme di dunia Islam, revolusi dunia
Arab (suriah masih bergolak) semuanya masih menjadi pemandangan yang
menyedihkan. Jadi, tidak mungkin kelompok terdidik bisa bersenang-senang pada
saat melihat fakta-fakta tersebut.
Tulisan
ini tidak akan menjelaskan setiap problem yang menimpa masyarakat indonesia
atau kaum muslim secara detail, dan memang mustahil untuk menuliskannya dalam
catatan yang sangat ringkas. Karena itu, pembahasan kali ini saya akan fokuskan
pada kerangka berfikir sistemik dalam melihat masalah yang terjadi di Indonesia
dan dunia Islam pada umumnya.
Realitas sistemik dunia
kontemporer
Persoalan
yang terjadi di domestik sebuah negara sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari
dinamik politik yang terjadi secara internasional. Keduanya saling berjalin
kelindan dan saling berpengaruh. Namun, tidak semua negara yang politik
domestiknya bisa berpengaruh signifikan terhadap dinamik politik internasionalnya
kecuali yang memiliki kekuatan yang besar saja seperti, Amerika Serikat saat
ini. Kebanyakan negara saat ini hanya mengikuti arah gerak yang telah dibuat
oleh negara-negara penguasa dunia saat ini.
Saat
ini, sistem politik internasional, ada yang menganggap sebagai unipolar system yang Amerika Serikat
menjadi penguasa tunggal dan yang paling berpengaruh dalam menentukan wajah
hubungan antar negara[2]. Meskipun katanya, saat ini adalah masa jayanya
demokrasi dan hukum internasional namun, Amerika bisa tetap memilih untuk patuh
atau tidak pada prinsip-prinsip tersebut, contoh: invasi ke Iraq, Afghan, dan
keterlibatan di Libya, Yaman, dan Pakistan.
Kemudian,
kekuatan politik dan militer Amerika Serikat digunakan untuk menopang sistem
ekonomi politik global yaitu, kapitalisme. Ideologi ini telah menjadi ideologi
yang mengglobal dan menjadi kebanggaan bagi negara yang mengadopsinya. Jika
masih enggan mengadopsi maka negara itu akan dikucilkan atau bisa jadi
pemimpinnya di kudeta atau negaranya di invasi dengan banyak alasan.[3]
Ideologi ini yang menjadi acuan bagi Organisasi perdagangan dunia, WTO, Donatur
keuangan internasional, IMF, dan bank dunia. Indonesia dan mayoritas negara
muslim berada dalam lingkaran sistem ini. Sistem inilah yang mengakibatkan
terjadinya kerusakan besar bagi masyarakat dunia, khususnya di negeri-negeri
muslim.
Kasus Indonesia
Posisi
indonesia dalam politik internasional sebenarnya pernah sangat diperhitungkan
utamanya saat presiden Soekarno berkonsolidasi dengan pemimpin-pemimpin
nasional lain di negara-negara yang baru merdeka seperti, Mesir, Yugoslavia,
India dan Ghana untuk membentuk gerakan non-blok ditengah ketegangan dua kutub
ideologis Uni Soviet dan Amerika Serikat. Namun, gerakan non-blok tersebut tidak memiliki
kekuatan dalam menahan kekuatan imperialis kedua blok tersebut. Bahkan
pidato-pidato Soekarno yang berapi-api tidak bisa menahan dia untuk jatuh dari
kekuasaannya.
Setelah Soekarno jatuh sekitar tahun 1966, Soeharto, didukung oleh negara-negara barat, menjadi penguasa baru di era baru. Era ini adalah era keterbukaan indonesia terhadap blok negara kapitalis barat. Sejak saat itu hingga kini Indonesia menjadi sangat aktif dalam mengikuti ritme permainan dari kapitalisme global. Dengan keterlibatan aktif di organisasi-organisasi internasional seperti IMF, WTO (GATT), PBB, dan APEC dsb.Serta negara-negara maju membentuk forum untuk melancarkan utang luar negeri untuk Indonesia, IGGI, Intergovernmental grup on Indonesia, yang didalamnya adalah Bank Dunia, ADB, Asian development bank, Amerika, jepang Canada, Eropa dan Australia.
Keterlibatan Indonesia yang aktif di lembaga-lembaga ikon kapitalisme IMF
dan WTO dan hubngan yang mesra dengan negara-negara kapitalis global
mengarahkan Indonesia masuk dalam jebakan kapitalisme global. Fakta-fakta
tersebut bisa dilihat dalam kebijakan-kebijakan domestik Indonesia masa
sekarang ini. Seperti, liberalisasi pasar, privatisasi, deregulasi, pengurangan
subsidi, dan investasi asing langsung. Paket kebijakan liberalisasi tersebut
sesuai dengan agenda konsensus washington[4].
Indonesia
mengadopsi gaya dari konsensus washington sejak tahun 1967 pada saat masuknya
investasi dari perusahaan-perusaaan raksasa internasional dalam momentum pertemuan perwakilan
pemerintah indonesia dengan perusahaan-perusahaan raksasa dunia di Swiss untuk
merancang pembangunan ekonomi di indonesia dibidang pertambangan, industri,
kehutanan dsb yang disponsori oleh The time life corporation. Semua raksasa
industri tersebut diwakili oleh : General
Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American
Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper
Corporation, US Steel. Hasilnya, Freeport mendapatkan bukit dengan tembaga
di Papua. Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa
Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok
perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis
di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. (kwikkiangie.com,
2011).
Secara
keseluruhan aset-aset strategis negara yang dikuasai swasta sebagai berikut: Freeport
menguasai emas, tembaga dan hasil tambang lainnya sampai 80% lebih; tambang
minyak dan gas dikuasai asing dan swasta sampai 87%; hutan di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Papua dibagi-bagikan melalui Hak Pengelolaan Hutan
(HPH) kepada swasta sekitar 80%, sementara negara hanya memperoleh sekitar 20%,
yaitu dari iuran hasil hutan dan pajak; batubara, negara hanya memperoleh
sekitar 30%, sementara yang 70% dikuasai oleh pemegang konsesi yang kebanyakan
adalah perusahaan swasta dalam negeri dan asing.
Negara juga diharuskan untuk terus mencabut dan mengurangi
subsidi sebagai bentuk kepatuhan terhadap norma liberalisasi. Pada tahun 2014
subsidi energi turun dari Rp 299,8 triliun menjadi Rp 284,6 triliun, sementara
bantuan sosial turun dari Rp 82,4 menjadi Rp 55,8 triliun. Akibatnya, harga
migas dan listrik tiap tahun terus meningkat. Subsidi biaya pendidikan
juga terus dikurangi. (Hizbut-Tahrir.or.id,2013)
Kemudian agenda kapitalisme di
Indonesia juga mengilhami lahirnya banyak undang-undang di Indonesia UU
Penanaman Modal Asing , UU Minyak dan gas, UU Mineral dan batu bara dan UU Sumber Daya Alam, UU Sisdiknas dan UU
BHP dalam bidang pendidikan dan UU SJSN
dan BPJS di bidang kesehatan, UU pasar modal, uu perseroan terbatas, uu otonomi
daerah, uu kelistrikan, uu larangan praktek monopoli dan persaingan usaha
tidaksehat, uu tindak pidanan pencucian uang, uu perlindungan konsumen, uu
informasi dan transaksi elektronik, dan uu hak atas kekayaan intelektual, UU
ini dibuat dalam pengawasan dan keterlibatan lembaga-lembaga internasional
seperti IMF, USAID, WTO dan World Bank.
Kebijakan di Sektor migas
Pemerintah Indonesia untuk mengurangi
subsidi BBM yang hampir setiap tahun menjadi perdebatan juga sangat
dipengaruhi oleh visiliberalisme.
Terungkap dalam dokumen-dokumen lembaga internasional ternyata, kebijakan
pengurangan subsidi tersebut adalah untuk agenda liberalisasi migas bukan untuk kepentingan rakyat indonesia.
Seperti yang tertuang dalam Letter
of Intent (LoI). Di dalam Memorandum of Economic and Financial
Policies (LoI IMF, Jan. 2000) disebutkan: “pada sektor migas, Pemerintah
berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan
restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan
fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif
secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga
internasional”.
Liberalisasi migas itu juga menjadi
syarat (perintah) pemberian utang oleh Bank Dunia. Dokumen Indonesia
Country Assistance Strategy (World Bank, 2001) menyebutkan, “Utang-utang
untuk reformasi kebijakan merekomendasikan
sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik, belanja subsidi
khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi
tersebut jatuh ke tangan orang kaya.”
Untuk memastikan liberalisasi itu,
mereka mengawalnya sejak penyusunan rumusan UU. Dokumen program USAID, TITLE
AND NUMBER: Energy Sector Governance Strengthened, 497-013 (http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html),
menyebutkan: “tujuan strategis ini akan menguatkan pengaturan sektor energy
untuk membantu membuat sektor energy lebih efisien dan transparan. Dengan jalan
meminimalkan peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi,
mempromosikan keterlibatan sektor swasta…”. Juga disebutkan, “USAID helped
draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October
2000. The legislation will increase competition and efficiency by reducing the
role of the state-owned oil company in exploration and production… (USAID
telah membantu menyusun rancangan UU migas yang diajukan ke parlemen pada
Oktober 2000. UU itu akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan
mengurangi peran BUMN minyak dalam hal eksplorasi dan produksi …).
“Pada Tahun 2001 USAID berencana menyediakan
US$ 850 ribu (Rp 8.5 miliar) untuk mendukung sejumlah LSM dan Universitas dalam
mengembangkan program yang dapat meningkatkan kesadaran dan mendukung
keterlibatan pemerintah lokal dan publik pada isu-isu sektor energi termasuk
menghilangkan subsidi energi dan menghapus secara bertahap bensin bertimbal …”.
“The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in
2000. Complementing USAID efforts, the World Bank has conducted comprehensive
studies of the oil and gas sector, pricing policy… (ADB dan USAID bekerja
sama dalam menyusun UU Migas baru pada tahun 2000. Melengkapi upaya USAID itu,
Bank Dunia telah melakukan studi komprehensif sektor migas, kebijakan penentuan
harga …).
Refleksi
Ideologi global dan para
pengusungnya, baik negara maju maupaun lembaga internasional faktanya sangat
berpengaruh terhadap dinamika politik domestik di Indonesia. Lembaga-lembaga
seperti, legislatif dan eksekutif yang berfungsi untuk membuat undang-undang
dan implementasi undang-undang tidak bisa berdiri sendiri dalam menentukan
kebijakan-kebijakan untuk rakyat. Padahal Amerika, WTO, IMF dan World Bank
sudah diketahui trackrecord-nya
sebagai aktor dan agen imperialisme di negara berkembang. Tujuan mereka untuk
bermuka manis di depan negara berkembang dengan rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang mereka tawarkan sebenarnya
hanya untuk kepentingan kapitalisme global atau korporasi-korporasi
internasional.
Dampaknya jelas sangat terasa dalam
masyarakat. Pengurangan subsidi kesehatan dan pendidikan mencegah orang-orang
yang berpunya untuk bisa mengaksesnya. Privatisasi SDA strategis menjadikan
penguasaan SDA dinikmati oleh swasta, serta liberalisasi pasar, mematikan
pasar-pasar lokal. Semuanya berakhir pada peningkatan jumlah kemiskinan di
Indonesia dan negara-negara muslim lainnnya.
Berfikir secara terstruktur seperti
ini akan membantu kita juga untuk memahami bagaimana seharusnya sikap kita
menghadapi tahun politik 2014 nanti. Pertanyaan yang mesti muncul, adakah
partai politik peserta pemilu yang mengusung isu yang sifatnya “struktrual”
tadi?. Jawabannya pasti tidak ada, dan tidak pernah ada, karena sistem politik
yang ada hanya mengarahkan para politisi untuk meraih kekuasaan dengan jalan
singkat bukan dengan menawarkan solusi tapi, dengan uang, poster-poster,
janji-janji atau mereka menawarkan kemunafikan[5].
Oleh karena itu, disinilah
relevansi dari diskusi penegakan khilafah penting untuk digemakan. Agenda
penegakan khilafah adalah agenda global untuk menggeser sistem politik
internasional yang dikuasai Amerika dan kapitalisme menjadi milik kaum muslimin
dengan khilafah. Insya allah perubahan sistem internasional tersebut akan
mengarahkan dunia menjadi lebih maju lagi dan beradab dan Allah akan menjamin
berkah dan rahmatnya akan turun memenuhi bumi.
[1]disampaikan dalam diskusi akhir tahun kelompok kajian Islam Universitas Islam Indonesia
[2]Perang melawan terror yang menjadi kepentingan seluruh negara saat ini
awalnya adalah desain Amerika Serikat yang menggema setelah peristiwa 9/11
tahun 2001.
[3] Kajian mengenai ini bisa dibaca dalam buku John perkins. 2004.
Confession of an Economic Hit man,
[4] Istilah yang pertama kali digunakan oleh John Williamson untuk
menjelaskan program pemulihan krisis di Amerika latin tahun 1980an oleh IMF,
World Bank departemen keuangan Amerika Serikat.
[5]Ciri-ciri orang munafik yang diberitakan oleh rasul persis seperti
perilaku para politisi sekarang, berbicara dusta, janji yang diingkari, dan
amanah yang dikhianati.
0 komentar: