ILMUWAN MESTI BERPIHAK
00.42
Namun, menurut saya, yang harus berdiri di barisan terdepan untuk melakukan pengkajian tentang hal ini adalah para intelektual dan ilmuwan. Karena sebenarnya permasalahan-permasalahan yang ada lahir dari konsepsi-konsepsi yang telah dikaji dan diformulasikan oleh para ilmuwan tersebut, khususnya ilmuwan sosial, hingga berdampak seperti yang ada saat ini. Celakanya, kebanyakan para ilmuwan masih dihipnotis oleh jargon-jargon/doktrin netralitas dan objektifitas pengetahuan padahal konsep tersebut telah using dan telah banyak yang meninggalkannya. Tulisan ini akan mencoba untuk menghadirkan kembali sedikit perdebatan mengenai konsep keberfihakan dalam ilmu pengetahuan sosial dan penerapannya di Indonesia dan berusaha meyakinkan bahwa keberfihakan itu bukanlah sebuah cacat, cela atau aib bagi ilmuwan sosial.
Keberfihakan Ilmu Pengetahuan
Perdebatan yang paling menarik dalam studi pengetahuan sosial adalah mengenai keberfihakan ilmu pengetahuan. Perdebatan itu dicirikan oleh dua arus besar dalam bangunan epistimologi paradigma ilmu pengetahuan yakni, positivisme dan postpositivisme. Doktrin positivisme dalam memandang ilmu pengetahuan sosial menyamakan dengan pengetahuan science atau ilmu-ilmu alam yang kebenarannya bersifat universal, objektif dan bebas nilai. Sehingga ilmu sosial juga dianggap seperti itu, universal, objektif dan bebas nilai. Metodologi ini yang digunakan oleh barat hingga mapan sampai saat ini dan terus-menerus dipelajari dan dipraktekkan diseluruh dunia dalam berbagai penelitian dan pengajaran di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi, baik dalam sosiologi, antropologi, ilmu politik, dan ekonomi.
Sementara aliran postpositivisme hadir untuk mengkritik aliran positivistik dalam ilmu pengetahuan sosial. Aliran ini membongkar konsep-konsep epistimologi yang dibangun oleh positivistik tersebut, seperti universalitas, objektifitas dan kebebas nilaian ilmu pengetahuan sosial. Postpositivisme meyakini bahwa pengetahuan sosial tidak universal, tidak objektif dan tidak bebas nilai karena pada dasarnya proses perumusan pengetahuan melalui penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan tidak lepas dari konteks ruang dan waktu dimana mereka berada, begitupun nilai atau ideologi yang dianut oleh para ilmuwan. Cara pandang seperti ini diadopsi oleh berbagai mazhab dalam Postpostivisme seperti, mazhab Frankfurt, poststrukturalisme/postmodernisme, postcolonialisme, Gramscianisme dsb.
Aliran postpostivistik ini sebenarnya muncul karena melihat peradaban barat yang telah mapan dan dominan di barat maupun penerapannya di negara-negara non-barat/timur. Peradaban barat yang ditopang oleh kekuasaan dan pengetahuan tersebut ternyata tidak menjadikan negara-negara barat menjadi negara yang mengangkat harkat dan martabat manusia malah sebaliknya menghasilkan eksploitasi, dan ekspansi atau kolonialisasi di seluruh penjuru dunia. Karenanya, mereka mengkaji aspek-aspek nonmateril yang menjadikan peradaban barat mapan dan mereka akhirnya menemukan bahwa bangunan paradigma atau ideologi baratlah yang memang bermasalah.
Usaha-usaha dominasi melalui pengetahuan oleh barat terhadap timur telah ditulis dengan baik oleh Edward Said, dalam masterpiecenya Orientalisme (1979). Said menggambarkan bagaimana negara-negara kolonial saat merambah dunia timur juga mengikutsertakan para ilmuwan mereka. Ilmuwan tersebut selanjutnya melakukan penelitian-penelitian terhadap dunia timur, agamanya, budayanya, politik, bahasa dan sejarahnya. Namun, penelitian tersebut berangkat dari asumsi bahwa timur itu lebih inferior daripada barat sehingga intervensi barat dibutuhkan untuk mengangkat harkat dan martabat orang timur menjadi maju menjadi seperti negara-negara barat. Argumen objektifitas pengetahuan yang ditawarkan oleh barat dibantah oleh Said bahwa sebenarnya misi para orientalis ke dunia timur sebenarnya sangat kental dengan misi politik yakni untuk mempertahankan dominasi para kolonial dengan meyakinkan dunia timur bahwa mereka berhak dijajah, diformat dan didesain sesuai dengan keinginan barat.
Berfihak Bukan Tabu
Dalam dunia ilmu pengetahuan dan riset kata-kata keberfihakan bukanlah menjadi sebuah hal yang asing untuk diangkat dan didiskusikan. Ilmuwan barat yang mendengung-dengungkan netralitas pengetahuan sudah dibantah sendiri oleh ilmuwan-ilmuwan didikan barat juga. Dan memang faktanya, dalam proses konstruksi pengetahuan itu ideologi ilmuwan sangatlah berperan penting.
Era perang dingin merupakan sejarah yang menjelaskan secara telanjang bagaimana pertarungan ide itu terjadi. Amerika dan Sovyet tidak hanya memamerkan kekuatan militernya yang tak tertandingi. Tapi juga menyebarkan jalan hidup menuju kesejahteraan dan kedamaian (ideologi). Sovyet dengan konsepsi yang dibangunnya menyebarkan Komunisme untuk mencapai cita-cita luhur tersebut begitupun Amerika menawarkan kehidupan liberal untuk mencapai cita-cita tertinggi manusia.
Indonesia menjadi sebuah laboratorium yang menarik untuk menarik gambaran dari pertarungan dominasi pengetahuan tersebut. Bradley Simpson, dalam buku hasil penelitiannya (The Economist with Gun, 2005) menggambarkan secara terang bagaimana koar-koar Soekarno untuk melawan neokolonialisme dengan cita-cita NASAKOM dilawan sendiri oleh tokoh-tokoh ilmuwan yang di Indonesia. Para ilmuwan ini adalah hasil dari kerja keras Amerika Serikat dan lembaga-lembaga donor seperti Ford dan Rockefeller Foundation yang mengirim mereka ke sekolah-sekolah unggulan di Amerika sejak tahun 50-an. Hasil didikan tersebut ikut serta dalam proses penghapusan legitimasi Soekarno di mata rakyat Indonesia yang kemudian disingkirkan dari kursi kepresidennya. Kemudian, setelah itu pendidikan Indonesia diarahkan berkiblat ke kurikulum barat, copy paste 100 %. Kalau mau bukti, silahkan buka semua buku-buku referensi dan bahan ajar dalam sekolah dan universitas di Indonesia saat ini baik ilmu Ekonomi, Politik, Sosiologi, Antropologi dan Ilmu Hukum. Sistem pendidikan ini yang terus melahirkan para pengabdi terhadap kepentingan-kepentingan barat/kapitalisme di Indonesia.
Pelajaran tuk Aktifis Muslim
Disaat kaum postpositivist meragukan rasionalitas kebenaran yang dihasilkan oleh peradaban barat maka, apalagi kita sebagai orang muslim pasti akan mengambil sikap yang lebih dari mereka karena meyakini bahwa sumber kebenaran hanya dari Allah. Dominasi logika rasional barat ternyata ditentang oleh ilmuwan-ilmuwan barat sendiri karena universalisasi pemikiran barat hanya berdampak buruk bagi seluruh manusia bahkan bagi barat sendiri. Sementara kita kaum muslim telah menyadari bahwa apapun produk akal dari manusia itu relative dan terbatas dan disitulah manusia butuh tuntunan wahyu dari tuhan untuk bisa menjalankan aktifitas di dunia dengan sebaik-baiknya.
0 komentar: