Ulama dalam tradisi Islam adalah sosok yang sangat penting dalam menjaga berjalannya penerapan syariat Islam di masyarakat atau di negara Islam. Ulama bisa berada di sisi masyarakat dan atau berada disisi penguasa. Peran ulama menjadi berubah saat terjadinya modernisasi politik di negara-negara bekas wilayah kekuasaan Usmani. Banyak ilmuwan yang menganggap bahwa peran ulama tergusur dan akhirnya menjadi subordinat dari penguasa atau bahkan menjadi legitimasi bagi kebijakan-kebijakan pemerintah. Tulisan ini mengkaji peran ulama dalam dinamika kerajaan Saudi dan hasilnya memperkuat argumentasi dari para ilmuwan yang pesimis tadi.Keyword: Ulama, Politik, Kerajaan Arab Saudi, legitimasi
A. Pendahuluan
Negara yang saat ini memiliki identitas Islam yang sangat kuat adalah Kerajaan Saudi Arabia. Sejak keruntuhan kekuasaan Islam yang berbasis di Turki tahun 1924, negara Saudi inilah yang masih tetap bertahan untuk menyematkan Islam sebagai dasar negara. Meskipun ada banyak perbedaan ketika membandingkan dinamika politik dalam kerajaan Saudi dan kekuasaan-kekuasaan Islam sebelumnya. Bahkan walaupun mengaku sebagai negara Islam ada banyak kelompok dari umat Islam yang tidak mengakui keabsahan kerajaan Saudi sebagai sebuah negara Islam salah satunya kelompok al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden
Ketika sebuah negara melandasi dirinya dengan Islam maka konsekuensinya secara otomatis akan mengarahkan kita untuk menelisik lebih jauh mengenai konstitusi negara tersebut dan sistem-sistem yang dibangun oleh negara itu baik itu sistem politik, ekonomi, pendidikan, hukum, kebijakan pendidikan dan luar negeri. Bagaimana semua sistem itu dibangun dari sudut pandang Islam. Salah satu unsur yang berperan penting dalam merumuskan sistem-sistem tersebut adalah para ulama. Dalam tradisi Islam, ulama telah diakui sebagai pemilik otoritas untuk menafsirkan dan membuat ijtihad-ijtihad baru dalam sebuah masyarakat. Ibnu Taymiyyah pernah menyatakan: “dua kelompok yang memiliki otoritas untuk memimpin kebaikan masyarakat: ulama untuk memutuskan persoalan hukum dan penguasa untuk menerapkan hukum. Masyarakat harus patuh terhadap penguasa”[1].
Kerajaan Arab Saudi sendiri jumlah ulama saat ini diperkirakan sekitar 20.000 orang[2]. Tahun 1971 kerajaan Saudi mendirikan sebuah lembaga untuk para ulama terkemuka sebagai wadah kordinasi antara pemerintah dan para ulama yang disebuh Hay`at kibaril ulama atau dewan ulama senior yang dipimpin oleh seorang mufti besar. Tulisan ini akan menguraikan secara deskriptif dinamika peran ulama dalam politik kerajaan Arab Saudi.
a. Ulama
Ulama adalah bentuk jamak dari Alim yang berarti seseorang yang memiliki ilmu. Dalam tradisi Islam ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu-ilmu keislaman. Berdasarkan atas keilmuwan yang dimilikinya sehingga ulama dianggap sebagai penjaga atau pewaris ajaran-ajaran Islam dan penjaga Islam itu sendiri. Otoritas sebagai penafsir dan penjaga syariat Islam ini menjadikan ulama berada di posisi yang tinggi dalam masyarakat. Dalam sebuah negara yang berasaskan Islam, para ulama menduduki berbagai posisi dalam masyarakat atau negara baik secara formal maupun informal seperti, sebagai mufti, Qadhi (hakim), Khatib (penceramah), Mudarris (guru, dosen)[3].
Secara historis ulama memiliki otoritas yang kuat dalam masyarakat karena menjadi penafsir dan penjaga sikap dan perilaku masyarakat serta menjadi tempat masyarakat bertanya tentang hukum/legalitas dalam perbuatan mereka. Hubungannya dengan pemerintah, Ulama biasanya menjadi penasehat bagi pemerintah, pemberi fatwa, pemegang otoritas dalam pendidikan dan kehakiman. Ulama juga berperan sebagai penghubung antara rakyat dan penguasa. Sering dimintai masukan oleh pemerintah dan terkadang pula ulama berada di fihak rakyat sebagai oposisi kepada pemerintah yang dianggap zalim dan menindas masyarakat. di Mesir, pada era pendudukan Inggris dan Perancis ulama menjadi bagian penggerak utama dari kelompok oposisi yang melawan penjajah. Posisi istimewa tersebut menjadi berkurang saat negara-negara Islam bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran barat mengenai modernisasi. Modernisasi struktur politik dan pemerintahan, pendidikan, kehakiman perlahan-lahan menggeser peran aktif ulama dalam bidang-bidang tersebut. Peran ulama akhirnya malah menjadi rubber stamp bagi pemerintahan [4].
Pengaruh modernisasi terhadap ulama diungkap juga oleh Noah Fieldman bahwa setelah berabad-abad ulama menjadi state balance of power, penyeimbang kekuataan eksekutif dan penjaga penerapan hukum Islam dalam kerajaan Usmani mereka akhirnya tersingkirkan dengan dibuatnya reformasi hukum pada abad 19 yang akhirnya mensubordinasi hukum syariah dan ulama tinggal menjadi alat legitimasi kekuasaan pemerintah. Fieldman menyimpulkan:
The core claim for continuity relies on a set of related observations. First, in the traditional Sunni constitutional order, the shari‘a was a transcendent, divine source of law interpreted exclusively by the scholars; but in the late Ottoman period, and in the constitutional orders that prevailed through most of the Sunni world after World War I, the shari‘a became instead a set of rules defined and applied by authority of the state. In many cases, the jurisdiction of the shari‘a shrank to encompass only matters of family law. Second, the scholars went from quasi-autonomous keepers of the law to, at best, dependent state functionaries. At worst, the scholars turned into purely religious figures irrelevant to adjudication or to governance more generally. Third, as a result of the first two changes, the scholars ceased to be necessary to legitimate the existing government[5].
Dalam konteks yang lebih kontemporer Gibreel Gibreel menuliskan hubungan antara ulama dan pemerintah di Timur Tengah sebagai dua hubungan yang interdependen. Menurut Gibreel, meskipun para ulama tidak menempati posisi legislatif dalam Negara-Negara Arab namun kekuasaan mereka ada pada dua jalan utama yaitu, mempengaruhi opini publik dan memberi legitimasi atau membangkang dari pemerintah. Poin yang pertama, opini publik, bisa dijadikan oleh Ulama untuk memobilisasi umat islam untuk mendukung atau menentang kebijakan pemerintah. Sementara poin kedua, posisi penting ulama membuka akses langsung untuk berinteraksi dengan pemerintah[6].
b. Histori Hubungan Ulama dan Pemerintah Saudi
Hubungan antara ulama dan penguasa di Arab Saudi secara historis telah terjalin sejak abad ke 18 di era Muhammad ibnu Abdul Wahhab dan Muhammad ibnu Saudi. Mereka berkoalisi untuk memperluas ajaran Abdul Wahhab yang kini dikenal dengan ajaran Wahhabi dan memperluas kekuasaan ibnu Saudi di Jazirah Arab saat itu[7]. Sejak saat itu, agenda-agenda politik Ibnu Saud mendapatkan dukungan relijius melalui fatwa-fatwa Abdul Wahhab. Simbiosis mutualisme antara kedua entitas, pemerintah dan ulama masih tetap berjalan meskipun dalam sejarahnya terjadi pasang surut dalam politik kerajaan Saudi. seperti pada peristiwa perang antara kekuasaan Saudi dan kekhalifahan Usmani tahun 1790an yang memenangkan turki usmani pada dan menghapuskan kekuasaan kerajaan Ibnu Saudi[8]. Kemudian kekuasaan Saudi bangkit lagi tahun 1824 setelah penerus kerajaan Saudi, Muhammad Ali merebut kembali kekuasaan di Riyadh yang telah diambil oleh kekuasaan Usmani dan kemudian mengkonsolidasi kekuasaan dan mengembalikan martabat mazhab wahhabi dan para ulamanya[9]. Namun, runtuh kembali tahun 1837 setelah diserang oleh Mesir. Dan bangkit kembali tahun 1843. Posisi ulama masih tetap menjadi pendukung setia dari Kerajaan Saudi. Dukungan tersebut tetap langgeng hingga berdirinya kerajaan Arab Saudi secara resmi tahun 1932.
Setelah terbentuknya kerajaan Saudi proses modernisasi struktur pemerintahan dan birokratisasi ulama terjadi menjadi hal yang tak terelakkan bagi pemerintah Saudi di masa Raja Faizal tahun 1950an. Modernisasi secara massif terjadi utamanya setelah Raja Saudi mengeluarkan 10 program reformasi dalam kekuasaan dinasti Saudi termasuk, merumuskan konstitusi baru, membentuk bandan konsultasi dan pemerintahan lokal. Setelah itu dibentuk berbagai kementerian, biro-biro dan agensia-agensi yang bertanggung jawab dalam hal perminyakan, urusan-urusan wilayah, pekerjaan dan perencanaan publik. Disamping itu, ulama juga dibirokratisasi melalui pembentukan agensi-agensi pemerintah yang berkaitan dengan penelitian agama, pendidikan perempuan, urusan masjid dan yayasan keagamaan. Reformasi ini, modernisasi dan birokratisasi menurut Yassini, berdampak pada berkurangnya peran ulama atau agama dalam ruang publik serta, birokratisasi ulama menjadikan ulama berada di dalam kontrol kuasa kerajaan Saudi[10]. Sejak reformasi tersebut peran ulama yang berada di kontrol kekuasaan membenarkan tesis dari Gibreel Gibreel mengenai peran ulama di Saudi sebagai pemberi legitimasi atas kebijakan-kebijakan pemerintah.
Tahun 1971 pemerintahan Saudi membentuk Dewan Ulama Senior berfungsi sebagai lembaga konsultatif antara pemerintah dengan ulama. Lembaga ini dipimpin oleh seorang mufti besar yang telah ditunjuk oleh pemerintah Saudi. Kedua lembaga ini melakukan pertemuan rutin setiap minggu. Dalam isu-isu tertentu pemerintah biasanya meminta persetujuan atau sanksi publik dari para ulama senior tersebut[11]. dalam perjalanannya, lembaga ini menjadi sarana konsolidasi publik kerajaan untuk mendukung aktifitas pemerintah. Menurut Madawi Rasheed, para ulama di Saudi, khususnya ulama senior, memiliki tiga mekanisme dalam mendukung konsolidasi politik pemerintah yaitu, Hijrah, Takfir dan Jihad. Konsep hijrah ini digunakan untuk membuat garis pemisah antara negara Islam Saudi dan negara lain. pada Pada abad 18 wilayah Saudi lah yang dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk berhijrah dibandingkan provinsi-provinsi lain dibawah kekuasaan Usmani yang sudah sesat[12].
Metode kedua untuk mengokohkan kedudukan stabilitas politik di Saudi adalah dengan melalui takfir atau penyesatan kepada orang-orang muslim yang berbeda dengan pendapat resmi yang dikeluarkan oleh para ulama Saudi baik dalam perkara aqidah dan ibadah ataupun sosial dan politik. Orang-orang atau kelompok yang telah disematkan label kafir atasnya maka, pemerintah wajib untuk mengajak orang tersebut bertaubat jika tidak maka, wajib atasnya untuk dibunuh atau diperangi. Sikap ini telah diperlihatkan oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab ketika mengkafirkan masyarakat Muslim dibawah kekuasaan Usmani yang kemudian menjadi justifikasi bagi kelompok Abdul Wahhab dan Ibnu Saud untuk memerangi mereka. Cara ketiga koalisi Saudi-Wahhabi untuk mengokohkan posisi politiknya adalah melalui Jihad atau memerangi orang-orang kafir. Praktek ini sering didengung-dengungkan oleh ulama Saudi utamanya pada masa-masa pembentukan dan ekspansi kekuasaan Saudi.[13]
Ketiga poin tersebut menurut Rasheed, meski mengatasnamakan terminology Islam namun kosong dari makna Islam karena telah berubah menjadi senjata politik (political weapon) untuk mengkonsolidasikan kerajaan dan ulama sebagai penjaga moralnya. [14]
Sebenarnya tidak semua ulama di Saudi menjadi pendukung setia pemerintahan Saudi. ulama yang dimaksud hanyalah yang tergabung dalam Dewan Ulama Senior dan Mufti. Ada banyak ulama independent, dikampus, atau imam yang memiliki pandangan berbeda dengan ulama Senior dan bahkan sering mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah namun, mereka biasanya diintimidasi, ditangkapi atau dipenjara begitupun juga nasib kelompok-kelompok oposisi yang lain.
c. Beberapa Kasus
Terdapat beberapa kasus yang memperlihatkan pentingnya peran ulama senior di Arab Saudi dalam mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah. Diantaranya, kasus pendudukan masjidil haram oleh kelompok salafi tahun 1979. Peristiwa perang teluk 1990 dan munculnya kritik dari para tokoh dan ulama di internal Saudi di era perang teluk atau pasca perang teluk.
1. Pengepungan Masjidil Haram 1979
Tahun 1979 kelompok oposisi yang mengatas namakan diri sebagai al-Jama`a al-Salafiyyah al-Muhtasib dipimpin oleh Juhayman al-Utaybi bersama Muhammad ibn Abdullah al-Qahtani mengepung masjidil haram di Makkah selama tiga minggu dan menyandera sekitar 130 orang yang sedang beribadah. Gerakan ini muncul sebagai respon terhadap kebijakan modernisasi pemerintah Saudi seperti pengadopsian teknologi baru di Saudi. Pada pernyatan sikap yang disampaikan pada saat penyanderaan masjid, kelompok ini menyerukan untuk menghapus pengaruh budaya barat dan memutus hubungan kepada negara-negara barat yang telah mengeksploitasi negara Saudi. Para ulama juga dianggap gagal untuk mengoreksi kebijakan-kebijakan pemerintah yang menentang Islam oleh karenanya, menurut mereka, kerajaan Monarki Saudi harus dijatuhkan dan diganti dengan pemerintahan Islam yang benar dan lurus[15]. Ulama juga dianggap telah dibeli oleh Penguasa Saudi untuk mendukung kerajaan. Syekh Abdul Aziz bin Baz, mufti besar Saudi, dianggap sebagai alat manipulasi keluarga kerajaan yang korup[16]. Sebagai pemimpin gerakan Salafiyyah, Juhayman menolak pendapat para ulama Wahhabi yang mengharamkan menjatuhkan pemerintah yang sah selama belum kufur dan melarang pelaksanaan ajaran Islam. Juhayman menganggap tidak ada negeri Islam yang betul-betul menjalankan pemerintahan Islam sebenar-benarnya karena telah mengadopsi sistem-sistem pemerintahan asing. Kelompok ini akhirnya bisa ditumpas setelah Saudi mendapatkan bantuan dari 100.000 tentara Pakistan dan bantuan intelijen dari pemerintah Perancis, Amerika dan Jerman. Juhayman dieksekusi mati dan al-Qahtani meninggal dalam peperangan.
Yang penting dalam peristiwa ini adalah, tindakan keras pemerintah terhadap para “pemberontak” baru diambil setelah raja Khalid meminta fatwa dari dewan ulama senior dan fatwa tersebut keluar dan mendukung untuk bertindak tegas pada kelompok salafi tersebut . Dalam fatwa yang diputuskan tahun 1979 tertulis:
“…..On Tuesday, His Majesty King Khalid ibn 'Abd al-'Aziz al-Sa'ud called us, the undersigned, and we met in his majesty's office in al-Ma'dhar. He informed us that at dawn that day…. We told him that it is incumbent to call on them to surrender and lay down their arms. If they did, their surrender would be accepted and they would be imprisoned until their case was considered according to the Sharia. If they refused, all measures would be taken to seize them and to kill those who were not arrested or had not surrendered”[17].
2. Perang Teluk 1990
Pada saat terjadinya Invasi Irak terhadap Kuwait, Raja Fahd merasa khawatir bahwa ekspansi Irak akan berlanjut ke Saudi setelah Kuwait ditaklukkan. Raja Fahd juga khawatir untuk meminta bantuan dari Amerika Serikat karena akan menjatuhkan citranya sebagai Khadimul Haramain (penjaga dua kota suci) jika memanggil tentara kafir untuk datang ke Arab Saudi. Bahkan saat pertama kali AS menawarkan bantuan keamanan ke Saudi para ulama dan masyarakat domestik menolak rencana tersebut. Setelah diskusi yang panjang akhirnya mufti besar yang saat itu dipegang oleh Abdul Aziz bin Baz dan para ulama dalam dewan senior ulama bersepakat untuk mendukung kebijakan pemerintah dengan syarat-syarat yang ketat bagi pasukan asing tersebut seperti, harus menghormati tradisi kerajaan, harus segera meninggalkan Saudi jika tidak dibutuhkan lagi dan harus tunduk pada polisi agama atau Komite amar ma`ruf nahi munkar. Berikut kutipan singkat fatwa dewan ulama senior:
“ Dengan segala kemungkinan, Dewan ulama senior mendukung tindakan yang diambil oleh pemerintah, semoga Allah menganugerahinya kesuksesan; mempersiapkan kekuatan yang dilengkapi dengan perlengkapan yang bisa menggentarkan dan menimbulkan rasa takut bagi siapa saja yang ingin menyerang negeri Ini. kewajiban ini dituntut oleh kondisi tertentu dan menjadi tak terelakkan karena situasi yang sangat menyakitkan tersebut. Dasar hukum dan fakta menuntut bahwa yang memegang urusan kaum muslimin harus mencari bantuan kepada yang lain yang mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini telah diperintahkan dalam quran dan sunnah agar bersiap siaga sebelum terlambat”[18].
Fatwa ini menjadi pendukung kebijakan pemerintah Saudi untuk memberikan kebebasan kepada militer Amerika Serikat untuk membuat pangkalan militer di wilayah kerajaan. Kebijakan pemerintah Saudi yang didukung oleh fatwa ulama menimbulkan kemarahan di kalangan kelompok mujahidin al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden. Kemarahan ini menjadi sebab dari deklarasi Kecaman dan Tokoh-tokoh Islam perang al-Qaeda terhadap Amerika dan kerajaan Saudi tahun 1996 untuk mengusir Pendudukan Amerika di dua kota suci.[19] Kritik juga muncul dari banyak tokoh-tokoh ulama yang menganggap Arab Saudi telah menguasai rumah Islam. para tokoh tersebut mengingatkan dengan mengirim surat ke Dewan Ulama Senior dan Institusi fatwa dan penelitian bahwa musuh yang lebih besar bukan Saddam tapi Amerika dan negara barat[20].
3. The age of petitions
Setelah Perang Teluk berlangsung, tahun 1991 terjadi kegoncangan ekonomi di internal kerajaan Saudi sebagai dampak dari Perang Teluk dan mengakibatkan munculnya ketidakpuasan terhadap pemerintah. Legitimasi penguasa dihadapan sebagian ulama juga berkurang akibat aliansi Saudi dan Amerika Serikat dalam Perang Teluk.
Pada saat yang sama, di kubu kelompok islam muncul petisi yang ditujukan ke pemerintah, Khitab al-Mathalib, yang ditandatangani sekitar 52 petinggi ulama terhadap pemerintah Saudi yang berisi tuntutan-tuntutan kepada pemerintah untuk lebih taat pada aturan syariah seperti, bidang kehakiman, angkatan bersenjatan, ekonomi, sosial dan administrasi publik. Juga, meminta pemerintah untuk mencabut kebijakan pembatasan terhadap para ulama, khatib dan ilmuwan. Surat tuntutan tersebut juga disebarkan ke publik baik domestik dan internasional. Tiga tokoh yang paling populer melakukan penyebaran opini publik pembangkangan terhadap pemerintah adalah Safar Hawali, Salman al-Awdah, dan `Aidh al-Qarni. Kaset-kaset ceramah mereka beredar di publik yang berisi kritik atas kebijakan-kebijakan pemerintah. Safar Hawali dan Salman al-Awdah dikenal sebagai syekh sahwa Islamiyyah (kebangkitan) simbol yang disematkan bagi ulama para pejuang kebangkitan Islam (revivalis Islam) di Saudi.
Kemudian tahun 1992, Mudhakkirat al-Nasihah (memorandum of advice) yang ditandatangani oleh 100 ulama dikirim ke Mufti abdul Aziz bin Baz sebagai nasehat kepada pemerintah untuk menerapkan Islam secara lebih utuh. Dan pemberian kebebasan politik bagi para ulama, sarjana, dan guru untuk menulis dan mencetak tulisan serta berceramah. Pemberian kebebasan bagi ulama untuk berpartisipasi dalam setiap aktifitas pemerintahan untuk memastikan penerapan syariah Islam; revisi kurikulum universitas, menghentikan nepotisme, sensor terhadap produk-produk asing dsb[21].
Akibat tekanan-tekanan dari kalangan oposisi Islam dan opini yang gencar yang dibentuk di masyarakat pemerintah Saudi meminta dewan ulama senior mengeluarkan fatwa mengecam para oposisi sebagai provokator pemecah kerajaan, melanggar aturan dengan melakukan kritik publik yang lebih menonjolkan kekurangan kerajaan dibandingkan kebaikan-kebaikannya. Dewan juga mengecam ulama oposisi yang melanggar etika nasehat-menasehati seperti yang telah dituntunkan oleh Islam. Sejak tahun 1992 hingga tahun 1994 pemerintah sibuk melakukan stabiliasi opini publik dan mengawasi, mengintimidasi dan menahan kalangan oposisi, mayoritas dari kalangan islamis, Syekh Safar Hawali dan Syekh Salman al-Awdah ditahan tahun 1994 dan dilarang oleh fatwa mufti besar, Syekh bin Baz, untuk mengajar, mengadakan pertemuan dan merekam ceramah. [22] Tokoh-tokoh Sahwa Islamiyyah dibebaskan oleh rezim pada tahun 1999.
4. Kontraterorisme dan Arab Spring
Peristiwa teror yang menimpa Amerika Serikat tahun 2001 juga menimpa kerajaan Arab Saudi. sejak tahun 1995 telah terjadi serangan teror di Arab Saudi. Osama bin Laden dianggap sebagai aktor utama di balik serangan tersebut. Serangan teror yang terjadi secara massif di Saudi dimulai tahun 2003 oleh kelompok al-Qaeda di Jazirah Arab yang dipimpin oleh Yusuf al-Uyayri [23]. Serangan teror tersebut diarahkan pada fasilitas-fasilitas asing, warga-warga asing, fihak keamanan dan pemerintahan Saudi, pengeboman konsulat Amerika, ledakan bom mobil, penembakan mati pekerja asing [24]. Tahun 2008 al-Qaeda di Saudi berhasil diberantas, pemimpin-pemimpinnya berhasil ditembak mati, Yusuf al-Uyayri, Turki al-Dandani dan Ahmad al-Dukhayy. [25] Sekitar 9.000 orang telah ditahan atas tuduhan terindikasi terlibat dalam gerakan teror dalam operasi kontraterorisme antara tahun 2003-2007 [26].
Kesuksesan program-program kontraterorisme yang dibuat oleh pemerintah Saudi juga tak lepas dari dukungan dewan ulama senior dan mufti. Fatwa menjadi alat untuk mengontrol opini publik mengenai ketidakabsahan tindakan teror dan sesatnya para pelaku teror tersebut sehingga tindakan-tindakan pemerintah mendapatkan legalitas secara religius untuk memberantas terorisme.
Sejak peristiwa 9/11 tahun 2001 mufti dan dewan ulama senior telah mengeluarkan fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat mengenai respon ulama terhadap aktifitas terorisme. Dewan Senior Ulama telah mengeluarkan fatwa mengenai respon terhadap terorisme sebanyak dua kali yaitu pada tahun 2003 dan tahun 2010. Fatwa pertama dikeluarkan tanggal 11 Februari 2003 sebagai respon terhadap serangan massif yang dilakukan oleh al-Qaeda di internal negara Saudi. Fatwa tersebut menyatakan bahwa penumpahan darah orang-orang yang tak berdosa, pengeboman bangunan dan kapal laut, penghancuran instalasi publik dan privat adalah tindakan kriminal dan bertentangan dengan Islam. dan mengharuskan bagi yang memiliki pemahaman dan ideologi yang menyimpang untuk bertanggung jawab atas tindakan kriminalnya tersebut. Fatwa tersebut juga memberikan dukungan yang besar bagi otoritas pemerintah Saudi untuk mengusir atau membasi terorisme sampai ke akar-akarnya, dan mengajak bagi semua masyarakat untuk bekerjasama dengan pemerintah untuk melawan terorisme dan memperingatkan untuk tidak menyediakan dukungan, perlindungan bagi para teroris dan jaringannya. Serta, dewan ulama senior mengecam segala fatwa yang menjustifikasi segala aksi teror terhadap kaum Muslim sebagai tindakan jihad. Siapa saja mengeluarkan fatwa tersebut, menurut Dewan Senior, maka harus dibawa ke pengadilan atau dihukum[27].
Kemudian Dewan ulama senior tahun 2010 mengeluarkan fatwa lagi mengenai pendanaan untuk terrorisme, Fatwa on terror financing, May 7, 2010. Fatwa tersebut menyatakan bahwa membantu pendanaan terror, insepsi, membantu, atau mencoba untuk melakukan tindak terrorisme atau apa bentuk atau dimensinya yang berkaitan dengan itu dilarang oleh syariah bisa dikenai hukuman kriminal. Termasuk juga, proses mengumpulkan dan menyediakan dana, atau berpartisipasi dalam berbagai bentuk termasuk finansial dan non-finansial ases tanpa memandang asalnya legal atau illegal[28].
Kebijakan kontraterrorisme pemerintah Saudi yang didukung oleh para ulama memperoleh banyak kritik dari para tokoh dan ulama seperti, Dr. Sa`id al- Zu`air, Professor di Universitas Imam Muhammad dan Imam di Masjid Riyadh. al-Zu`air yang pernah dipenjara tahun 1995 kemudian bebas tahun 2003 ditangkap kembali oleh pemerintah Saudi tahun 2007 setelah dianggap menyatakan dukungannya terhadap aksi teror di Riyadh serta mengkritik kebijakan kontraterorisme pemerintah Saudi dalam sebuah wawancara dengan TV Al-Jazeera[29]. Kemudian, Syekh Ali al-Khudhair, Syekh Ahmed al-Khalidi dan Syekh Nasser al-Fahad adalah tiga ulama yang menolak kebijakan kontraterorisme pemerintah. Tahun 2003, ketika pemerintah merilis 19 buronan terroris, ketiga ulama tersebut membuat pernyataan bersama yang menolak pengumuman pemerintah tersebut dan memfatwakan melarang setiap orang untuk membantu pemerintah mencari 19 orang tersebut baik melalui poster, melaporkan keberadaan, atau berusaha untuk mencari mereka. Para ulama itu beralasan bahwa pemerintah Saudi mengeluarkan data tersebut dibawah dukungan program war on terror pemerintah Amerika Serikat sehingga mendukung pemerintah Saudi sama saja dengan mendukung Amerika Serikat. Setelah mengeluarkan pernyataan tersebut, ketiga ulama ini akhirnya ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah Saudi. [30]
Sejak tahun 2003 hingga masa revolusi Dunia Arab, Banyak tokoh-tokoh, ilmuwan dan ulama yang ditangkapi oleh pemerintah dengan alasan-alasan kontraterrrorisme. Mereka itu secara umum menentang berbagai kebijakan pemerintah Saudi baik dalam kontraterrorisme, penentangan terhadap kerjasama Saudi dan Amerika ataupun tuntutan reformasi terhadap pemerintah Arab Saudi. Mereka itu antara lain, Dr. Sa’ud Mukhtar al-Hashimi, Dr. Musa al-Qarni and Dr. Suleiman al-Rushoodi, Ali al-Demaini, Dr. Matrouk al-Faleh, Dr. Abdullah al-Hamed, Syekh Khalid al-Rashed dan Dr. Bisher Fahad al-Bisher.
5. Arab Spring di Kerajaan Saudi
Revolusi Dunia Arab tahun 2011 yang berawal dari Tunisia kemudian menjalar ke Mesir, Libya, Bahrain, Yaman dan negara-negara lainnya di Timur Tengah juga berdampak pada kerajaan Arab Saudi. Tuntutan-tuntutan reformasi juga menjadi marak pada tahun 2011 tersebut dari aktifis-aktifis pro-reformasi yang menuntut reformasi konstitusional, dialog nasional, pengadaan pemilu dan memberikan hak partisipasi politik bagi wanita. Serta mengkritik birokrasi pemerintah yang tidak efisien, fanatisme beragama, dan kesenjangan sosial antara negara dan rakyat. Mereka yang terlibat antara lain dalam kalangan aktifis, akademisi, pebisnis dan ulama. [31]
Untuk merespon permasalahan munculnya protes secara internal di negara Saudi, Pemerintah Saudi membuat beberapa kebijakan untuk menghentikan aksi-aksi dan mengembalikan stabilititas diantaranya. Tindakan keras bagi para demonstran, penambahan bantuan sosial bagi masyarakat, dan menjanjikan pemberian hak perempuan dalam politik[32].
Pada saat gencarnya seruan-seruan untuk melakukan demonstrasi di Saudi, pada 6 Maret 2011, dewan ulama senior mengeluarkan fatwa yang menentang protes-protes yang dilakukan oleh masyarakat. Isi fatwa tersebut menyatakan dukungan terhadap keamanan dan stabilitas di dalam kerajaan Arab Saudi yang merupakan kepimpinan yang sah, diakui dalam Islam dan telah diridhoi oleh Allah Swt karena keteguhan penguasa untuk menjaga Islam dan dua kota suci. oleh karena itu, tidak ada yang mampu untuk memecah belahnya dari kelompok manapun, bahkan kelompok-kelompok asing[33].
Dewan ulama senior menyerukan kepada semua masyarakat untuk menjaga keutuhan dan kesatuan dalam masyarakat dan bersama-sama menentang segala yang bertentangan dengan hal tersebut seperti, ketidakadilan, penindasan, dan kebencian terhadap kebenaran. Ulama senior mengajak untuk saling nasehat-menasehati, saling memahami dan bekerjasama dalam kebenaran dan kesalehan dan mencegah dalam kejahatan dan kebencian. Dan selama penguasa Saudi masih berlandaskan al-Quran dan Sunnah maka wajib ditaati dan tidak boleh melakukan demonstrasi untuk menuntut perbaikan karena bisa menimbulkan kerusuhan dan perpecahan umat. Sikap ini, menurut fatwa tersebut, adalah bentuk dari ketaatan terhadap mazhab/tradisi para pendahulu/ salafus sholeh dan para pengikut mereka dari dulu hingga sekarang. Fatwa ini kemudian diperintahkan untuk dicetak sebanyak 1,5 juta kopi untuk disebarkan ke masjid-masjid dan masyarakat, juga disebarkan lewat media-media online[34]. Media-media lokal juga memuat fatwa tersebut untuk memperkuat dukungan terhadap penyebaran fatwa tersebut.
Dampak dari fatwa-fatwa yang dibuat oleh ulama tersebut mendeligitimasi segala demonstrasi yang dibuat oleh masyarakat Saudi. Dan memberikan legitimasi kepada pemerintah untuk bertindak sesukanya untuk mengendalikan suasana baik represi, penahanan ataupun pembunuhan. Laporan Komisi HAM Islam (Commission of Islamic Human Right) tahun 2011, menuliskan sekitar 5.000 tambahan tahanan politik di penjara-penjara Saudi yang dikutip dari data pemerintah. Sementara yang dicatat oleh para pengacara/pakar hukum dan aktifis HAM sekitar 7.000 orang tahanan politik yang menambah jumlah tahanan menjadi sekitar 30.000 orang di negara tersebut. [35] Sementara yang tewas karena ditembak oleh pihak keamanan sejak tahun 2011 hingga 2012 sebanyak 22 orang yang mayoritasnya adalah anak-anak muda dibawah usia 20 tahun[36].
Sikap dari dewan ulama senior, mufti dan pemerintah banyak dikritik oleh tokoh-tokoh dan ulama non pemerintah. Diantaranya adalah figure ulama sahwa islamiyyah Syekh Dr. Salman al-Awdah. Di tengah-tengah terjadinya protes di Saudi Arabia, dia membuat surat terbuka kepada pemerintah melalui Twitternya yang diikuti oleh 2,4 juta followers. Disitu ia menggambarkan suasana stagnan yang menurut dia disebabkan oleh kurangnya perumahan, masalah pengangguran, kemiskinan, korupsi, sistem pendidikan dan kesehatan yang buruk, nasib buruk tahanan dan ketiadaan prospek reformasi politik. Al-Awdah memperingatkan, jika revolusi ditindas, aksi demonstrasi akan berubah menjadi aksi bersenjata, dan jika para aktifis demonstran diabaikan maka mereka akan meluas dan menyebar. Penyelesaiannya adalah keputusan bijaksana dan tepat pada waktunya untuk menghindari percikan kerusuhan[37].
Tokoh-tokoh ulama lain yang juga ikut mengkritisi pemerintah dan tidak ikut menentang para demonstran adalah Seperti, Syekh Sulaiman al-Duwaish, yang menggunakan youtube untuk mengkritisi pemerintah yang dianggap tidak Islami dan korup. Problem ini menurutnya, menjadi pemicu dari meningkatnya pembangkangan dan kerusuhan secara meluas di Masyarakat Saudi. al-Duwaish akhirnya ditahan oleh pemerintah bulan juni 2011. Ulama yang lain, Dr. Yusuf al-Ahmad, terkenal dengan fatwa kontroversialnya yang mengharamkan perempuan untuk bekerja sebagai pilot pesawat dan seruannya untuk membangun kembali masjid al-Haram di Makkah dengan konsep laki-laki dan perempuan terpisah. Dia mengunggah video ceramahnya di youtube yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah, menuntut keadilan bagi para tahanan politik, dan mengecam penahanan massal yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para demonstran laki-laki ataupun perempuan. Setelah tiga videonya diunggah di youtube, akhirnya dia ditahan tanggal 8 Juli 2011[38].
Kesimpulan
Dalam kasus-kasus yang terjadi sejak tahun 1979 hingga Arab Spring 2011. Ulama memperlihatkan peran yang sangat penting dalam memberikan dukungan terhadap penguasa Saudi dalam kebijakan-kebijakan yang akan dibuat. Ulama Senior bertugas membuat fatwa yang fatwa itu berfungsi melegitimasi setiap kebijakan Saudi dan menstabilkan opini publik serta menyingkirkan suara-suara yang bertentangan dengan fatwa ulama senior.
Pada masa perang teluk dan setelahnya, banyak ulama non-pemerintah yang mengkritisi sikap kerajaan Saudi yang bekerjasama dengan negara kafir barat dan mengkritisi buruknya penerapan Islam di Saudi. Namun, kritik tersebut tidak merubah sikap pemerintah dan mufti atau ulama terhadap kebijakan yang telah dibuat. Bahkan para tokoh yang kritis tersebut ditangkapi dan diintimidasi atas tuduhan melanggar syariah dengan mengkritisi pemerintah terang-terangan.
Politik fatwa juga diterapkan dalam kasus-kasus terakhir, kontraterorisme dan Revolusi dunia arab. Setelah keluarnya fatwa ulama mengenai kontraterorisme. Pemerintah gampang saja menuduh dan menangkap siapa saja yang dianggap teroris dan mendukung aktifitas terorisme. Banyak tokoh yang ditangkap hanya karena mengkritisi kebijakan pemerintah Saudi dalam kontraterorisme. Disisi lain, ribuan orang ditangkap hanya karena diperkirakan terlibat dalam terorisme atau memiliki pemikiran radikal. Pada peristiwa revolusi dunia arab. Fatwa ulama memberikan kekuatan bagi pemerintah untuk menangkap atau bahkan membunuh para demonstran.
Kasus-kasus yang pernah terjadi dalam kerajaan Saudi memperlihatkan peran besar ulama dalam setiap kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun, peran ulama tersebut tidak langsung dalam merumuskan kebijakan yang diambil. Ulama hanya menjadi pendukung setiap kebijakan pemerintah dengan fatwa yang dibuatnya. Posisi ulama ini sangat rentan dimanipulasi atau diperalat oleh pemerintah. Terbukti, banyak kebijakan-kebijakan Saudi yang didukung oleh ulama dikritik oleh tokoh-tokoh ulama sendiri di internal kerajaan Saudi.
Disampaikan di Jakarta International Islamic Conference of Muslim Intellectuals, Wisma Makara, Universitas Indonesia Sabtu, 14 Desember 2013
[1] James Wynbrandt.2004. A Brief History of Saudi Arabia. New York: Facts On File, Inc, hal:120
[2] Sherifa Zuhur. 2011. Saudi Arabia. California: ABC-CLIO, hal: 189
[3] Alejandra Galindo Marines .2001. The relationship between the ulama and the government in the contemporary Saudi Arabian Kingdom: an interdependent relationship?, Durham theses, Durham University, Hal: 2-3
[4] Meir Hatina. 2010. ʿUlamaʾ , Politics, and the Public Sphere An Egyptian Perspective. Salt Lake City: The University of Utah Press, hal: 5
[5] Noah Feldman. 2008. The fall and rise of the Islamic state.New Jersey: Princeton University Press, 41 William Street, hal: 81
[6] Gibreel Gibreel. 2001. The Ulema: Middle Eastern Power Brokers. Middle East Quarterly.
Volume VIII: Number 4, http://www.meforum.org/105/the-ulema-middle-eastern-power-brokers, diakses 13/11/13
[7] Anthony B. Toth. 2008. Saudi Arabia. Microsoft® Student 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation,.
[8] David Commins. 2006. The Wahhabi Mission and Saudi Arabia. London: I.B.Tauris & Co Ltd, Hal: 42
[9] Ibid, hal: 45
[10] Ibid, hal: 106
[11] Global Security. Council of Senior Ulama. http://www.globalsecurity.org/military/world/gulf/sa-ulama.htm, 13/11/2013
[12] Madawi Rasheed. 2007. Contesting the Saudi State: Islamic Voices from a New Generation. New York: Cambridge University Press, Hal: 34-37
[13] Ibid, hal: 37-42
[14] ibid, Hal: 45
[16] Joseph A. Kechichian. 1986. The Role of the Ulama in the Politics of an Islamic State: The Case of Saudi Arabia. International Journal of Middle East Studies, Vol. 18, No. 1, Hal 59
[17] Ibid, hal 66-67
[18] Charles Kurzman. Pro-U.S. Fatwas. Global Middle East Policy, Vol. X, No. 3, Fall 2003, Hal: 157
[19] David Commins, op.cit,Hal: 187-188
[20] James Wynbrand, Hal: 256
[21]R. Hrair Dekmejian. 1994. The Rise of Political Islamism in Saudi Arabia. Middle East Journal, Vol. 48, No. 4,Hal: 633-634
[22] James Wynbrandt, op.cit, Hal: 263
[23] Thomas Hegghammer. 2010. Jihad in Saudi Arabia: Violence and Pan-Islamism since 1979. Cambridge: Cambridge University Press, hal: 200
[24] James Wynbrandt, op.cit, Hal: 283
[25] Thomas Hegghammer, op.cit, hal: 202
[26] Amnesty International. 2011. Saudi Arabia Repression in the Name of Security. London: Amnesty Internasional, hal: 18
[27] Saudi Press Agency.2003. 17th August 2003 - Statement by Senior Ulema Commission condemns terrorism. www.saudinf.com/display_news.php?id=910 diakses 13/11/2013
[28]Saudi Embassy. 2010. Council of Senior Ulema Fatwa on terror-financing. (http://www.saudiembassy.net/announcement/announcement05071001.aspx). diakses 13/11/2013
[29] Steven Stalinsky. 2011. American-Yemeni Al-Qaeda Cleric Anwar Al-Awlaki Highlights the Role and Importance of Media Jihad, Praises Al-Jazeera TV Journalists and WikiLeaks. Inquiry & Analysis Series Report No. 677, http://www.memri.org/report/en/print5096.htm , diakses 15/11/2013
[30] Ihrc . 2011. Saudi Arabia’s Political Prisoners: Towards a Third Decade of Silence 1990, 2000, 2010. Wembley: Islamic Human Rights Commission, hal: 6
[31] Ahmed Al Omran. Saudi Arabia: A new mobilisation, dalam ECFR. 2014. What does The gulf think about the arab Awakening?. London: European Council on Foreign Relations (ECFR), hal: 6-7
[32]Devin Entrikin, Amy Grinsfelder, dkk. 2011. The Arab Spring in the Arabian Peninsula. http://saudirevolt.files.wordpress.com/2011/12/saudi-group-final-paper.pdf,diakses 13/11/2013, hal:25
[33] Asharq al-Awsat. 2011. A fatwa from the Council of Senior Scholars in the Kingdom of Saudi Arabia warning against mass demonstrations Fatwa. http://islamopediaonline.org/fatwa/fatwa-council-senior-scholars-kingdom-saudi-arabia-warning-against-mass-demonstrations, Diakses 13/11/2013
[34] The Guardian. 2011. Saudi Arabia prints 1.5m copies of religious edict banning protests.. http://www.guardian.co.uk/world/2011/mar/29/saudi-arabia-edict-banning-protests. diakses 13/11/2012
[35] Ihrc . 2011. Saudi Arabia’s Political Prisoners: Towards a Third Decade of Silence 1990, 2000, 2010. Wembley: Islamic Human Rights Commission, hal: 11
[36]______,2011–13 Saudi Arabian protests. http://en.wikipedia.org/wiki/2011%E2%80%9313_Saudi_Arabian_protests#cite_note ThReut_LaessingDeported-170 diakses 13/11/2013
[37] Inilah. 2013. Ulama Arab Saudi keluarkan peringatan langka soal reformasi. http://m.inilah.com/read/detail/1947868/ulama-arab-saudi-resah-akibat-kebijakan-raja.diakses 13/11/2013
[38] IHRC . opcit. Hal: 10
Assalamu'alaikum Hasbi..
Semoga kita sentiasa dalam Lindungan dan Rahmat Allah.. (amin..
Ini di email kita bisa lebih luas sharing..
Ttg Islam, Khilafah dan Ke Depan..
KHILAFAH
Ana sebetulnya mendukung Khilafah..
DUlu sembunyi sembunyi
Karena Ayah Ana tidak Suka
Ana dan Ayah lain Pemikiran
Terkadang Kontra
Dan Ana Terkadang Pro
Tapi Ana Berusaha
Untuk Menjadi Anak yg Baik
baginya.
KHILAFAH ITU DICICIL
MUNGKIN SEKALIGUS TIDAK BISA
KITA BISA MEMANFAATKAN TEMAN KITA PKS
DALAM KHIALAFAH NEGARA INI ADALAH SEBUAH PROVINSI
SEPERTI GUBERNUR MESIR (MUADZ) GUBERNUR MADINAH (ALI) DLL
DI ZAMAN RASULILLAH (SAW)
LALU BEBERAPA DAERAH DIPILIH LANGSUNG BUPATINYA (GUBERNURNYA-Indonesia)
DAN BUPATI MEMILIH CAMAT (KABUPATEN-Indonesia)
DISINI MENGHEMAT BIAYA PEMILU
TIDAK BOROS
DAN ISLAM SEBAGAI SYARIATNYA
HIJAB SEBAGAI PAKAINNYA
PERSAUDARAN SEBAGAI ASAS SOSIALNYA (MASYARAKAT)
dll
18.21
Kalau Indonesia dikatakan telah memproklamasikan kemerdekaan tahun 1945 dan lepas dari dominasi Jepang dan Belanda namun, substansi dari penjajahan itu secara riil masih sangat terasa di Indonesia. Contoh yang sangat nyata adalah penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia masih didominasi swasta atau asing. Pemerintah juga masih tetap istiqomah mengikuti negara-negara kapitalis dan lembaga-lembaga Internasional dalam kebijakan perdagangan, layanan-layanan sosial, keuangan, pendidikan dan kesehatan. Dampak yang dihasilkanpun sama, kesengsaraan dan penderitaan masyarakat terjadi secara massif. Salah satu sumber masalahnya adalah hadirnya para ilmuwan yang tidak sadar telah menjadi agen dari negara kolonial barat atau Amerika. Dengan berkedok bantuan-bantuan pembangunan, pendidikan dsb, sedikit demi sedikit, negara kolonial mengisi otak-otak anak bangsa untuk menjadi agen aktif untuk menyerahkan negaranya kepada kolonial tersebut.
Strategi politik AS untuk memenangkan idenya
terhadap Indonesia merupakan bentuk dari politik pengetahuan. Tampakan luarnya
hanya sekedar program-program pendidikan dan penelitian, tapi kepentingannya
adalah untuk menghegemoni / menjajah dengan ideologi yang diajarkan. tulisan ini akan membahas mengenai proses
berjalannya politik pengetahuan yang dijalankan oleh AS di Indonesia.
Program Pendidikan Amerika tuk Anak Negeri
Sejak Indonesia
merdeka dan dipimpin oleh Soekarno, sebenarnya ada keinginan untuk betul-betul
melepaskan diri dari semua unsur kolonialisme. Hal itu tercermin dari sikap
tegas Soekarno terhadap Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya namun, yang
menjadi kendala adalah semangat Soekarno tidak menjadikan Soekarno bisa lepas
dari ketergantungan terhadap bantuan-bantuan negara lain baik dari kutub
Sosialisme Sovyet maupun Kapitalisme Amerika Serikat saat itu. Pada saat yang
sama Amerika Serikat diam-diam telah membuat program untuk menjerat Indonesia
dalam dominasi Amerika Serikat.
Salah satu yang
menjadi sasaran Amerika Serikat untuk menjalankan strateginya adalah proyek
pengembangan pendidikan di Indonesia dengan membantu pembenahan kurikulum di
kampus-kampus dan memberikan program beasiswa bagi para mahasiswa dan dosen
untuk belajar ke beberapa universitas di Amerika Serikat. Beberapa Lembaga
donor yang aktif untuk proyek pengembangan pendidikan di Indonesia adalah Ford Foundation yang dipimpin oleh Paul
Hoffmen dan Rockefeller Foundation yang dipimpin oleh Dean Rusk .
Untuk menjalankan
program modernisasi di Indonesia, Ford Foundation yang dipimpin oleh Hoffmen
bekerjasama dengan
universitas-universitas terbaik Amerika seperti, MIT, Massachusette
Institute of Tecnology, Universitas Cornell, Berkeley, dan Harvard yang secara tidak langsung bekerja dibawah
perintah Amerika untuk menciptakan para elit pembaharu , modernizing elit dari Indonesia (Ransom, 2006: 31). MIT dan Cornell bertugas untuk membuat
hubungan, mengumpulkan data dan mendidik
tenaga ahli. sementara Universitas Berkeley bertugas mengkader tokoh- tokoh
Indonesia yang akan memegang peranan dalam pemerintahan untuk kemudian
mempraktekkan segala ilmu yang telah
didapatkan dari Universitas-universitas tersebut (Ransom, 2006: 36). Di antara banyak orang-orang Indonesia yang
dibawa kampus-kampus tersebut antara lain Selo Sumardjan, Widjojo Nitisastro,
Emil Salim, Subroto, Ali Wardhana, Moh. Sadli, Miriam Budiardjo dan Barli
Halim.
Di Indonesia
sendiri, Universitas Indonesia menjadi tujuan untuk pengembangan pendidikan
yang berdasarkan atas metode barat. Tahun 1951 presiden Ford, Paul Hoffman
mengirim team dari berkeley yang dipimpin oleh Michael Harris ke Indonesia
untuk membuatkan program-program baru bagi Sumitro Djojohadikusumo di Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia setelah
Soekarno mengusir professor professor Belanda dari kampus tersebut. Serta
untuk membantu para akademisi di kampus tersebut untuk melanjutkan
pendidikannya di Universitas-Universitas di Amerika. (Ransom, 2006: 38).
Secara keseluruhan
biaya yang dihabiskan oleh Ford Foundation dan Rockefeller Foundation
untuk membiayai berbagai program di
Indonesia adalah sekitar 20 juta dollar AS. Harga ini menurut Howard Jones,
Dubes AS untuk Indonesia tahun 1958-1965, adalah harga yang dibayar untuk “perjuangan jangka
panjang untuk otak Indonesia” (Simpson, 2010: 27).
Salah seorang
anggota Team Berkeley Bruce Glassburner setelah menyelesaikan tugasnya di
Indonesia tahun 1962 mengatakan, “Team Berkeley telah melaksanakan tugasnya
dengan baik. “Jaga semuanya. Kita sudah memulainya .... dan dengan uang bantuan
Ford Foundation, kita berhasil mendidik sekitar 40 ahli ekonomi”. Apa yang
didapat Universitas dari itu? “Yaa, uang dan kepuasan telah melaksanakan tugas
dengan baik” (Ransom, 2006:41).
Untuk semakin
memperkuat strateginya, Amerika Serikat melalui Team Berkeley juga ikut serta membina angkatan darat dengan
mengisi program-program pendidikan di Sekolah Komando Angkatan Darat, SESKOAD,
Bandung. Setelah Team itu kembali ke Amerika, yang melanjutkan program tersebut
adalah para akademisi lulusan Amerika, Muhammad Sadli, Widjojo Nitisastro, dkk
dari Fakultas Ekonomi. Disamping sebagai tempat pelatihan, SESKOAD juga menjadi
tempat konsolidasi politik angkatan darat dan para akademisi untuk
menghancurkan komunisme di Indonesia dan mengkritik segala kebijakan Soekarno
yang prokomunis.
Puncak dari segala
strategi yang telah dibangun tersebut adalah setelah peristiwa Gerakan 30
September PKI tahun 1965, Soekarno jatuh dari kekuasaanya tahun 1966 dan Soeharto, seorang panglima komando
angkatan darat mengambil alih kekuasaan. Terlepas dari banyaknya versi siapa
yang menjadi dalang dibalik peristiwa berdarah tersebut, tapi setelah kejadian
itu yang paling diuntungkan adalah Amerika Serikat. Peristiwa itu membalikkan
keberfihakan politik Indonesia dari pro nasionalis komunis kubu Soekarno
menjadi totaliter kapitalistik, kubu Soeharto, angkatan darat dan
akademisi-akademisi didikan Amerika.
Setelah pengambil
alihan kekuasaan Soeharto tahun 1966, Indonesia tiba-tiba menjadi negara yang
mengikut metode liberal-kapitalisme dalam menyelesaikan segala masalah ekonomi
yang ditinggalkan oleh Soekarno dan untuk membangun Indonesia. Hal itu semakin
mantap karena Soeharto dikelilingi oleh didikan Amerika dan militer yang
mendukungnya seperti, Sumitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, Emil Salim,
Subroto, Ali Wardhana, Moh. Sadli, Barli Halim
Peristiwa besar
yang menandai suksesnya strategi kapitalisme Amerika Serikat di Indonesia yang
terjadi pada masa Soeharto adalah dilaksanakannya sebuah konferensi istimewa di
Jenewa Swiss tahun 1967 yang disponsori oleh
The Time-Life Corporation. Acara ini dihadiri oleh para kapitalis dunia
seperti David Rockefeller, General Motors, Imperial Chemical Industries,
British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear,
The International Paper Corporation dan US Steel. Mereka disana bertemu dengan
perwakilan dari Indonesia untuk secara khusus membahas mengenai pengambilalihan
Indonesia.
Selama tiga hari
pertemuan, perwakilan-perwakilan korporasi internasional itu mendikte
perwakilan pemerintah untuk membuat infrastruktur hukum untuk berinvestasi di
Indonesia. setelah pertemuan tersebut, perusahaan Freeport mendapatkan bukit (mountain)
dengan tembaga di Papua Barat. Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua
Barat. Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok
perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis
di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Setelah itu para ekonom itu membawa
Indonesia tergantung pada utang luar negeri baik kepada (IGGI) kelompok
negara-negara pengutang bagi Indonesia, IMF dan World Bank (kwikkiangie.com,
2013)
Inilah alasannya,
sehingga David Ransom menjuluki para ekonom tersebut sebagai Mafia Berkeley.
Mafia Berkeley menjadi julukan bagi para ilmuwan yang memiki mazhab yang sama
mengenai liberalisme ekonomi atau fundamentalisme pasar. sejak zaman Soeharto
hingga sekarang kelompok ini masih tetap ada dalam lingkaran kekuasaan yang
mengarahkan pemerintah untuk tetap setia pada korporasi internasional, lembaga
donor internasional dan berbagai kebijakan liberalisasi.
Rujukan:
Ransom, David.
2006. Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal Di Indonesia. Jakarta Selatan:
Koalisi Anti Utang (KAU)
Simpson, Bradley R.
2010. Economics with Guns: Amerika Serikat, CIA da Munculnya pembangunan
Otoriter Rezim Orde Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Gie, Kwik Kian. Tt.
Proses Terjajahnya kembali Indonesia sejak tahun 1967 (Bagian 1).
Kwikkiangie.com, diakses 06/05/2013¬
“The
problem has also become very difficult because we are no longer sure of the
norms to transmit; because we no longer know what the correct use of freedom
is, what is the correct way to live, what is morally correct and what instead
is inadmissible”. (Pope Benedictus XVI)
Telah
berak-rak buku yang telah tertuliskan tentang kehancuran peradaban barat.
Peradaban yang menjadi proyektor ajarana-ajaran liberalisme ini tinggal
menunggu waktu untuk musnah. Krisis demi krisis silih berganti. Krisis ekonomi,
moral, demografi dsb. Padahal ketiga hal ini penting dalam membangun sebuah
peradaban. Hal ini justru terjadi bukan karena kesalahan dari para penjaga
peradaban tersebut, Politisi, agamawan, media dsb. Tapi karena memang sejak
lahir konsep liberalism sebagai basis dari peradabannya yang bermasalah
sehingga saat ia diterapkan akhirnya menjadi semakin bermasalah.
Krisis
Demografi
Menurut
sebuah hasil penelitian bahwa sebuah kebudayaan bisa bertahan hingga diatas 25
tahun jika rata-rata jumlah kelahiran di wilayah tersebut adalah 2,11 persen.
Dan jika hanya 1,9 atau 1,3 persen maka bisa dikatakan mustahil kebudayaan
tersebut bisa bertahan. Melihat Eropa Saat ini, tingkat kelahirannya sangat
memperihatinkan. Tingkat kelahiran 31 negara di bawah Uni Eropa hanya sekitar
1,38 persen. 1,8 di perancis, 1,6 di Inggris, 1,4 Yunani, 1,3 Jerman, 1,2
italia, dan 1,1 Spanyol. Hal ini tentunya sangat menghawatirkan bagi barat itu
sendiri. saya kira kita patut untuk menyimak sedikit keluh kesah dari paus
benedict XIV seperti yang ditulis oleh Joseph A. D'Agostino, wakil presiden
Population Research Institute, “Before these families with their children,
before these families in which the generations hold hands and the future is
present, the problem of Europe, which it seems no longer wants to have
children, penetrated my soul. To foreigners this Europe seems to be tired,
indeed, it seems to be wishing to take its leave of history,”. Periode
sebelumnya, menurut sang Paus, Keluarga-keluarga masih bersama dengan anak-anak
mereka dan kemudian berpegangan tangan untuk melanjutkan masa depan peradaban
dan saat ini masyarakat Eropa tampaknya sudah tidak berminat lagi untuk
memiliki keturunan dan kita mesti merebut kembali sejarah yang hilang itu.
Penyebab
Bermula
dari pembangkangan atas otoritas gereja akhirnya Eropa memulai kehidupannya
dengan kebebasan atas individu (liberalism). Kebebasan tanpa norma agama
sebagai aturan positifnya dan kebebasan dengan interpretasi mereka sendiri dan
dijaga dengan institusi demokratis. Ternyata kebebasan tersebut akhirnya
menjadi boomerang bagi masyarakat itu sendiri. kebebasan idealnya menjadi
sarana untuk meraih kesejahteraan dan kenyamanan hidup bersama nyatanya
menghasilkan budaya individualistis, budaya bersenang-senang (hedonism) dsb, seks
bebas dan bahkan atas nama kebebasan atau persamaan akan Hak Asasi Manusia,
perkawinan sesama jenis telah dibolehkan menurut Paus “The anti-human nature of
same-sex “marriage”. Paham feminisme juga mengajak para ibu rumah tangga untuk
memberontak dan keluar dari rumah dan menjadi bagian dari produksi. Paus
benedictus XVI, “dalam masyarakat modern, karena pengaruh feminisme sehingga
produktifitas dalam bidang ekonomi lebih dibutuhkan sebagai sebuah lifestyle
dalam masyarakat level kelas menengah daripada menghasilkan generasi penerus
peradaban hingga tidak ada waktu lagi untuk menghasilkan keturunan.”
Populasi
Islam di Eropa
Belum
reda kegelisahan di Eropa karena krisis demografi, Populasi muslim semakin
meningkat tajam. Secara demografi masyarakat Eropa memang minus tapi jumlah
populasi tidak berkurang bahkan bertambah. Tapi, imigran-imigran muslimlah yang
menjadi penambahnya. Sumber daya manusia di negara-negara barat yang
pertumbuhan ekonominya sangat tinggi tentu sangat disukai oleh penduduk negeri-negeri
muslim yang kebanyakan miskin dan dekat dengan Eropa seperti Turki atau Maroko.
Ketika
rata-rata kelahiran di perancis adalah 1,8 maka imigran muslim di perancis
rata-rata 8,1 dan diperkirakan tahun 2027 satu dari lima penduduk perancis
adalah Islam dan hanya dalam waktu 39 tahun perancis menjadi negara Islam.
begitupun di Inggris, Jerman, Belanda, dan Rusia dan negara-negara eropa
lainnya. hal ini juga diakui oleh German Federal Statistic Office, kejatuhan
populasi jerman tidak bisa lagi dihentikan. Putaran Spiral yang terus menerus
menurun tidak bisa diputar keatas lagi dan Jerman akan menjadi negara Islam
tahun 2050.
Selain
Imigran, masyarakat barat yang sudah bosan dengan kehidupannya juga sudah
banyak yang beralih menjadi Muslim setiap harinya dan semakin menambah jumlah
umat islam di Eropa.
Sebagai
orang muslim semestinya kita bercermin pada kondis yang ada pada masyarakat
barat saat ini yang tinggal menunggu kehancurannya karena keyakinan atau
pandangan hidup yang mereka anut sendiri dan perlahan-lahan mereka kembali ke
Islam sebagai fitrahnya. Sementara masyarakat Islam saat ini terkhusus
Indonesia masih menganggap barat dan segala produk budayanya sebagai hal yang
superior. Anak-anak muda mengadopsi pergaulan bebasnya, Faham-faham liberal, sekuler,
Demokrasi, HAM, feminisme dsb. padahal islam dan segala produknya adalah diatas
segalanya.
Kemudian
Paus Benedictus memberikan Solusi, “what can save it but a profound
spiritual renewal? Given the risible self-destruction of Europe’s moribund
Protestant churches, can any force other than the Catholic Church provide this
renewal for Europe? Or perhaps Europe’s fast-growing high-fertility Muslim
population will provide its own spiritual reformation for the continent”.
هوالذي ارسل رسوله با
الهدي و دين الحق ليظهره علي الدين كله ولو كره المشركون
“Dialah
yang telah mengutus rasulnya dengan petunjuk dan din yang benar untuk
menjadikannya superior atas semua keyakinan walaupun orang-orang musyrik
membencinya” (At-Taubah: 33)
Penulis : Ahmad Mansyur Suryanegara
Penerbit : Salamadani Pustaka Semesta
Tebal : 578 Hal, xxx
Ahmad Mansyur Suryanegara:
“Bila Sejarawan Mulai membisu,hilanglah kebesaran masa depan generasi bangsa”
E.F.E Douwes Dekker Danoedirjo Setiabudi:
“Jika
tidak karena sikap dan semangat perjuangan para ulama, sudah lama
patriotism di kalangan bangsa kita mengalami kemusnahan”.
Membaca buku-buku sejarah
Indonesia khususnya dalam mata pelajaran yang diajarkan dalam
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi maka, kita akan menyaksikan sebuah
penyembunyian fakta-fakta sejarah yang seharusnya diketahui oleh
generasi muda negara Indonesia ini. hal ini semakin diperparah oleh
historiografi yang dibuat oleh orde baru dimana sejarah dibuat untuk
kepentingan kekuasaan saat itu.
Peran
ulama dan umat islam dalam pembentukan Indonesia menjadi salah satu hal
yang tertutupi. Perjuangan para santri dan ulama bersama rakyat melawan
penjajahan colonial, portugis, inggris, belanda jarang diungkap,
berbagai perayaan hari-hari besar nasional dirayakan berdasarkan atas
dasar fakta-fakta yang sebenarnya manipulatif. Hari kebangkitan
nasional tanggal 20 mei 1908 yang dirayakan setiap tahun berdasar pada
hari lahirnya boedi Utomo. Padahal boedi utama adalah organisasi kejawen
(jawa, Madura) dan pro belanda, orang-orangnya adalah pegawai belanda
dan sama sekali tidak mencita-citakan persatuan dan kemerdekaan
Indonesia juga organisasi ini sangat anti pada islam dan bahkan pernah
menghina rasulullah SAW. Sementara tahun 1905, berdiri sarikat dagang
islam yang berdiri pertama kalinya sebagai wadah perjuangan melawan
belanda dan menuntut kemerdekaan Indonesia. Bahasa yang digunakan bahasa
melayu dan keanggotaannya seluruh Indonesia.
Hari pendidikan nasional yang
diperingati tiap tanggal 2 mei tiap tahunnya juga adalah ketetapan yang
sangat politis dan subjektif. Hari kebangkitan nasional diperingati
berdasar atas hari lahir Ki Hajar Dewantaram pendiri taman siswa, 1922
M. padahal 10 tahun sebelumnya 1912 KH. Ahmad Dahlan telah merintis
pendirian pendidikan untuk pribumi saat itu.
Apakah ada deislamisasi sejarah
di Indonesia?. Hal inilah yang kemudian coba untuk diangkat dan
didiskusikan kembali oleh Ahmad Mansyur Suryanegara dalam bukunya API
SEJARAH. buku ini telah membuka diskursus baru dalam proses penulisan
sejarah Indonesia. Penulisan sejarah Indonesia yang sekuler dan anti
islam menjadikan Indonesia yang mayoritas islam tidak bisa belajar
tentang semangat kemerdekaan yang telah terbangun hampir seabad lalu.
Buku yang ditulis oleh sejarawan
muslim ini betul-betul merangkai dan merinci periodisasi sejarah
Indonesia secara komprehensif dan gamblang dan menunjukkan dimana posisi
dimana umat islam dalam setiap periode itu. ternyata umat islam
memiliki sumbangsih besar dan sangat nyata dalam proses kemerdekaan
Indonesia, persatuan wilayah-wilayah nusantara, penggunaan bahasa melayu
sebagai bahasa Indonesia, perkembangan pendidikan di Indonesia dsb.
Ahad, 15 Maret 2014, Diskusi bersama aktifis Gerakan Mahasiswa Pembebasan se Sulawesi dengan tema Ulama dalam Politik Saudi Arabia. diskusi ini diadakan di Masjid At-Taqwa, Perumahan Bumi Tamalanrea Permai. Makassar. Diskusi dimulai pagi pukul 07.00-10.00. Dalam diskusi saya menjadi pembicara tunggal. Diskusi ini sebenarnya diadakan untuk mengisi tsaqafah teman-teman dari provinsi lain yang sedang menginap di masjid At-Taqwa setelah mengikut acara KMIS, Kongres Mahasiswa Islam Sulawesi hari Sabtu 14 Maret 2014.
Pendahuluan
Setia
mendekati masa pergantian tahun, refleksi dan evaluasi sering dilakukan untuk
memberikan penilaian terhadap kehidupan yang pernah kita jalani. Terkhusus
untuk masyarakat indonesia akhir tahun kebanyakan dirayakan dengan
bersenang-senang sembari menyalakan kembang api atau banyak yang membunyikan
terompet untuk menyambut tahun baru yang “menyenangkan”.
Sikap
yang berbeda pasti dilakukan oleh kalangan terdidik atau mahasiswa, terlebih
mahasiswa muslim. Mereka pasti tidak pernah tenang “galau” disaat akhir tahun
tiba sebab yang mereka fikirkan adalah, bagaimana nasib masyarakat indonesia
tahun yang akan datang.dalam skala yang lebih luas, bagaimana nasib kaum muslim
di tahun yang akan datang.
Pemikiran-pemikiran
kegalauan wajar muncul, karena berpuluh-puluh tahun sejak deklarasi kemerdekaan
hingga saat ini Indonesia masih sangat menderita dengan sejuta masalah yang
sudah lelah kita harus terus menyebutnya berulang-ulang. Untuk tahun 2013 saja,
isu-isu korupsi (trias corruptica), perburuhan (outsourcing, UMR), SJSN, BBM, biaya sekolah, rumah sakit, kerusakan
moral, kondomisasi dsb masih tetap menjadi masalah yang berlarut-larut. Tahun
2014 yang akan menyambut juga akan berpotensi menimbulkan gejolak-gejolak baru,
konflik pemilu, para politikus-munafik akan keluar lagi dengan sejuta wajah,
terror spanduk dan baliho para politikus. Dalam konteks global, krisis global,
imperialisme (Irak, Afghanistan), diktatorisme di dunia Islam, revolusi dunia
Arab (suriah masih bergolak) semuanya masih menjadi pemandangan yang
menyedihkan. Jadi, tidak mungkin kelompok terdidik bisa bersenang-senang pada
saat melihat fakta-fakta tersebut.
Tulisan
ini tidak akan menjelaskan setiap problem yang menimpa masyarakat indonesia
atau kaum muslim secara detail, dan memang mustahil untuk menuliskannya dalam
catatan yang sangat ringkas. Karena itu, pembahasan kali ini saya akan fokuskan
pada kerangka berfikir sistemik dalam melihat masalah yang terjadi di Indonesia
dan dunia Islam pada umumnya.
Realitas sistemik dunia
kontemporer
Persoalan
yang terjadi di domestik sebuah negara sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari
dinamik politik yang terjadi secara internasional. Keduanya saling berjalin
kelindan dan saling berpengaruh. Namun, tidak semua negara yang politik
domestiknya bisa berpengaruh signifikan terhadap dinamik politik internasionalnya
kecuali yang memiliki kekuatan yang besar saja seperti, Amerika Serikat saat
ini. Kebanyakan negara saat ini hanya mengikuti arah gerak yang telah dibuat
oleh negara-negara penguasa dunia saat ini.
Saat
ini, sistem politik internasional, ada yang menganggap sebagai unipolar system yang Amerika Serikat
menjadi penguasa tunggal dan yang paling berpengaruh dalam menentukan wajah
hubungan antar negara[2]. Meskipun katanya, saat ini adalah masa jayanya
demokrasi dan hukum internasional namun, Amerika bisa tetap memilih untuk patuh
atau tidak pada prinsip-prinsip tersebut, contoh: invasi ke Iraq, Afghan, dan
keterlibatan di Libya, Yaman, dan Pakistan.
Kemudian,
kekuatan politik dan militer Amerika Serikat digunakan untuk menopang sistem
ekonomi politik global yaitu, kapitalisme. Ideologi ini telah menjadi ideologi
yang mengglobal dan menjadi kebanggaan bagi negara yang mengadopsinya. Jika
masih enggan mengadopsi maka negara itu akan dikucilkan atau bisa jadi
pemimpinnya di kudeta atau negaranya di invasi dengan banyak alasan.[3]
Ideologi ini yang menjadi acuan bagi Organisasi perdagangan dunia, WTO, Donatur
keuangan internasional, IMF, dan bank dunia. Indonesia dan mayoritas negara
muslim berada dalam lingkaran sistem ini. Sistem inilah yang mengakibatkan
terjadinya kerusakan besar bagi masyarakat dunia, khususnya di negeri-negeri
muslim.
Kasus Indonesia
Posisi
indonesia dalam politik internasional sebenarnya pernah sangat diperhitungkan
utamanya saat presiden Soekarno berkonsolidasi dengan pemimpin-pemimpin
nasional lain di negara-negara yang baru merdeka seperti, Mesir, Yugoslavia,
India dan Ghana untuk membentuk gerakan non-blok ditengah ketegangan dua kutub
ideologis Uni Soviet dan Amerika Serikat. Namun, gerakan non-blok tersebut tidak memiliki
kekuatan dalam menahan kekuatan imperialis kedua blok tersebut. Bahkan
pidato-pidato Soekarno yang berapi-api tidak bisa menahan dia untuk jatuh dari
kekuasaannya.
Setelah Soekarno jatuh sekitar tahun 1966, Soeharto, didukung oleh negara-negara barat, menjadi penguasa baru di era baru. Era ini adalah era keterbukaan indonesia terhadap blok negara kapitalis barat. Sejak saat itu hingga kini Indonesia menjadi sangat aktif dalam mengikuti ritme permainan dari kapitalisme global. Dengan keterlibatan aktif di organisasi-organisasi internasional seperti IMF, WTO (GATT), PBB, dan APEC dsb.Serta negara-negara maju membentuk forum untuk melancarkan utang luar negeri untuk Indonesia, IGGI, Intergovernmental grup on Indonesia, yang didalamnya adalah Bank Dunia, ADB, Asian development bank, Amerika, jepang Canada, Eropa dan Australia.
Keterlibatan Indonesia yang aktif di lembaga-lembaga ikon kapitalisme IMF
dan WTO dan hubngan yang mesra dengan negara-negara kapitalis global
mengarahkan Indonesia masuk dalam jebakan kapitalisme global. Fakta-fakta
tersebut bisa dilihat dalam kebijakan-kebijakan domestik Indonesia masa
sekarang ini. Seperti, liberalisasi pasar, privatisasi, deregulasi, pengurangan
subsidi, dan investasi asing langsung. Paket kebijakan liberalisasi tersebut
sesuai dengan agenda konsensus washington[4].
Indonesia
mengadopsi gaya dari konsensus washington sejak tahun 1967 pada saat masuknya
investasi dari perusahaan-perusaaan raksasa internasional dalam momentum pertemuan perwakilan
pemerintah indonesia dengan perusahaan-perusahaan raksasa dunia di Swiss untuk
merancang pembangunan ekonomi di indonesia dibidang pertambangan, industri,
kehutanan dsb yang disponsori oleh The time life corporation. Semua raksasa
industri tersebut diwakili oleh : General
Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American
Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper
Corporation, US Steel. Hasilnya, Freeport mendapatkan bukit dengan tembaga
di Papua. Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa
Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok
perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis
di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. (kwikkiangie.com,
2011).
Secara
keseluruhan aset-aset strategis negara yang dikuasai swasta sebagai berikut: Freeport
menguasai emas, tembaga dan hasil tambang lainnya sampai 80% lebih; tambang
minyak dan gas dikuasai asing dan swasta sampai 87%; hutan di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Papua dibagi-bagikan melalui Hak Pengelolaan Hutan
(HPH) kepada swasta sekitar 80%, sementara negara hanya memperoleh sekitar 20%,
yaitu dari iuran hasil hutan dan pajak; batubara, negara hanya memperoleh
sekitar 30%, sementara yang 70% dikuasai oleh pemegang konsesi yang kebanyakan
adalah perusahaan swasta dalam negeri dan asing.
Negara juga diharuskan untuk terus mencabut dan mengurangi
subsidi sebagai bentuk kepatuhan terhadap norma liberalisasi. Pada tahun 2014
subsidi energi turun dari Rp 299,8 triliun menjadi Rp 284,6 triliun, sementara
bantuan sosial turun dari Rp 82,4 menjadi Rp 55,8 triliun. Akibatnya, harga
migas dan listrik tiap tahun terus meningkat. Subsidi biaya pendidikan
juga terus dikurangi. (Hizbut-Tahrir.or.id,2013)
Kemudian agenda kapitalisme di
Indonesia juga mengilhami lahirnya banyak undang-undang di Indonesia UU
Penanaman Modal Asing , UU Minyak dan gas, UU Mineral dan batu bara dan UU Sumber Daya Alam, UU Sisdiknas dan UU
BHP dalam bidang pendidikan dan UU SJSN
dan BPJS di bidang kesehatan, UU pasar modal, uu perseroan terbatas, uu otonomi
daerah, uu kelistrikan, uu larangan praktek monopoli dan persaingan usaha
tidaksehat, uu tindak pidanan pencucian uang, uu perlindungan konsumen, uu
informasi dan transaksi elektronik, dan uu hak atas kekayaan intelektual, UU
ini dibuat dalam pengawasan dan keterlibatan lembaga-lembaga internasional
seperti IMF, USAID, WTO dan World Bank.
Kebijakan di Sektor migas
Pemerintah Indonesia untuk mengurangi
subsidi BBM yang hampir setiap tahun menjadi perdebatan juga sangat
dipengaruhi oleh visiliberalisme.
Terungkap dalam dokumen-dokumen lembaga internasional ternyata, kebijakan
pengurangan subsidi tersebut adalah untuk agenda liberalisasi migas bukan untuk kepentingan rakyat indonesia.
Seperti yang tertuang dalam Letter
of Intent (LoI). Di dalam Memorandum of Economic and Financial
Policies (LoI IMF, Jan. 2000) disebutkan: “pada sektor migas, Pemerintah
berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan
restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan
fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif
secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga
internasional”.
Liberalisasi migas itu juga menjadi
syarat (perintah) pemberian utang oleh Bank Dunia. Dokumen Indonesia
Country Assistance Strategy (World Bank, 2001) menyebutkan, “Utang-utang
untuk reformasi kebijakan merekomendasikan
sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik, belanja subsidi
khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi
tersebut jatuh ke tangan orang kaya.”
Untuk memastikan liberalisasi itu,
mereka mengawalnya sejak penyusunan rumusan UU. Dokumen program USAID, TITLE
AND NUMBER: Energy Sector Governance Strengthened, 497-013 (http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html),
menyebutkan: “tujuan strategis ini akan menguatkan pengaturan sektor energy
untuk membantu membuat sektor energy lebih efisien dan transparan. Dengan jalan
meminimalkan peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi,
mempromosikan keterlibatan sektor swasta…”. Juga disebutkan, “USAID helped
draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October
2000. The legislation will increase competition and efficiency by reducing the
role of the state-owned oil company in exploration and production… (USAID
telah membantu menyusun rancangan UU migas yang diajukan ke parlemen pada
Oktober 2000. UU itu akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan
mengurangi peran BUMN minyak dalam hal eksplorasi dan produksi …).
“Pada Tahun 2001 USAID berencana menyediakan
US$ 850 ribu (Rp 8.5 miliar) untuk mendukung sejumlah LSM dan Universitas dalam
mengembangkan program yang dapat meningkatkan kesadaran dan mendukung
keterlibatan pemerintah lokal dan publik pada isu-isu sektor energi termasuk
menghilangkan subsidi energi dan menghapus secara bertahap bensin bertimbal …”.
“The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in
2000. Complementing USAID efforts, the World Bank has conducted comprehensive
studies of the oil and gas sector, pricing policy… (ADB dan USAID bekerja
sama dalam menyusun UU Migas baru pada tahun 2000. Melengkapi upaya USAID itu,
Bank Dunia telah melakukan studi komprehensif sektor migas, kebijakan penentuan
harga …).
Refleksi
Ideologi global dan para
pengusungnya, baik negara maju maupaun lembaga internasional faktanya sangat
berpengaruh terhadap dinamika politik domestik di Indonesia. Lembaga-lembaga
seperti, legislatif dan eksekutif yang berfungsi untuk membuat undang-undang
dan implementasi undang-undang tidak bisa berdiri sendiri dalam menentukan
kebijakan-kebijakan untuk rakyat. Padahal Amerika, WTO, IMF dan World Bank
sudah diketahui trackrecord-nya
sebagai aktor dan agen imperialisme di negara berkembang. Tujuan mereka untuk
bermuka manis di depan negara berkembang dengan rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang mereka tawarkan sebenarnya
hanya untuk kepentingan kapitalisme global atau korporasi-korporasi
internasional.
Dampaknya jelas sangat terasa dalam
masyarakat. Pengurangan subsidi kesehatan dan pendidikan mencegah orang-orang
yang berpunya untuk bisa mengaksesnya. Privatisasi SDA strategis menjadikan
penguasaan SDA dinikmati oleh swasta, serta liberalisasi pasar, mematikan
pasar-pasar lokal. Semuanya berakhir pada peningkatan jumlah kemiskinan di
Indonesia dan negara-negara muslim lainnnya.
Berfikir secara terstruktur seperti
ini akan membantu kita juga untuk memahami bagaimana seharusnya sikap kita
menghadapi tahun politik 2014 nanti. Pertanyaan yang mesti muncul, adakah
partai politik peserta pemilu yang mengusung isu yang sifatnya “struktrual”
tadi?. Jawabannya pasti tidak ada, dan tidak pernah ada, karena sistem politik
yang ada hanya mengarahkan para politisi untuk meraih kekuasaan dengan jalan
singkat bukan dengan menawarkan solusi tapi, dengan uang, poster-poster,
janji-janji atau mereka menawarkan kemunafikan[5].
Oleh karena itu, disinilah
relevansi dari diskusi penegakan khilafah penting untuk digemakan. Agenda
penegakan khilafah adalah agenda global untuk menggeser sistem politik
internasional yang dikuasai Amerika dan kapitalisme menjadi milik kaum muslimin
dengan khilafah. Insya allah perubahan sistem internasional tersebut akan
mengarahkan dunia menjadi lebih maju lagi dan beradab dan Allah akan menjamin
berkah dan rahmatnya akan turun memenuhi bumi.
[1]disampaikan dalam diskusi akhir tahun kelompok kajian Islam Universitas Islam Indonesia
[2]Perang melawan terror yang menjadi kepentingan seluruh negara saat ini
awalnya adalah desain Amerika Serikat yang menggema setelah peristiwa 9/11
tahun 2001.
[3] Kajian mengenai ini bisa dibaca dalam buku John perkins. 2004.
Confession of an Economic Hit man,
[4] Istilah yang pertama kali digunakan oleh John Williamson untuk
menjelaskan program pemulihan krisis di Amerika latin tahun 1980an oleh IMF,
World Bank departemen keuangan Amerika Serikat.
[5]Ciri-ciri orang munafik yang diberitakan oleh rasul persis seperti
perilaku para politisi sekarang, berbicara dusta, janji yang diingkari, dan
amanah yang dikhianati.
Langganan:
Postingan (Atom)
1 komentar: